Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara. Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17
Hujan belum juga reda. Suaranya beradu di atap seng, menimbulkan irama yang membuat siapa pun enggan melangkah keluar. Senja berdiri di dekat pintu kaca, menatap derasnya air yang jatuh seperti tirai tebal.
Tangannya menggenggam kantong belanja yang kini terasa berat bukan karena isinya, melainkan oleh sesuatu yang menekan di dadanya. Tatapannya tanpa sadar berpindah pada Syifa, yang tertawa kecil saat Zein menurunkan tubuhnya ke lantai dan memainkan bonekanya sambil menginjak injak genangan kecil air hujan.
Zein tersenyum lebar, senyum yang hanya muncul dari seorang ayah yang mencoba mengisi kekosongan tanpa banyak kata. Sesekali ia mengusap kepala putrinya, lalu berdiri sambil menepuk celana yang sedikit basah karena cipratan air yang di hentakan kaki kecil Syifa.
Zein menoleh dan memandangi Senja yang berdiri tak jauh.
“Kayaknya hujannya nggak bakal berhenti dalam waktu dekat,” katanya sambil menatap ke arah luar. “Mobilku di depan. Mau bareng?”
Senja menoleh. Tatapan Zein hangat tapi tak memaksa. Ia menimbang sejenak, memandangi hujan yang semakin deras. “Ah, nggak usah, Mas. Aku bisa nunggu reda dulu,” ujarnya pelan.
Saat yang bersamaan datang seorang pria dengan memakai jas hujan kemudian menyerahkan jaket dan payung kepada Zein.
“Tapi kalau nunggu reda bisa sampai malam,” sahut Zein sambil berjongkok memakaikan jaket kecil ke tubuh Syifa. “Kalau sungkan, duduk di belakang aja. Aku nggak bakal ganggu.”
Senja terdiam. Ada nada lembut dalam suaranya, bukan rayuan, hanya ketulusan yang sulit ditolak. Ia menarik napas panjang, lalu mengangguk perlahan. “Ya sudah, makasih, Mas.”
Zein membuka payung, menuntun Syifa yang tertawa kecil saat angin menerpa rambutnya. Ia menoleh, memastikan Senja mengikuti di belakang.”Sini, biar gak kehujanan!”
Begitu mereka keluar, udara dingin menyergap. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi sabun bayi dari tubuh Syifa. Senja melangkah di bawah payung yang sama, menjaga jarak namun cukup dekat hingga bisa mendengar desah napas kecil dari anak itu.
Di parkiran, Zein membuka pintu belakang mobil. “Ayo masuk,” ujarnya pada Senja.
“Ifa mau duduk sini,” tunjuk gadis kecil itu sambil mengangkat kaki kecilnya untuk naik ke mobil.
“Gak usah, Ifa sama ayah aja,” cegah Zein sambil mencoba menggendong putrinya.
“Ah biarin saja, Mas. Biar aku yang pangku saja.”
“Gak usah, Ja,” tolak Zein halus. “Dia kalau suka dengan seseorang ya gitu, mau deketin orangnya. Tapi kalau ntar sudah dekat, malah dicariin terus. Ntar repot kalau dia suka beneran sama kamu."
Senja kembali canggung. Satu sisi dia kasihan dengan gadis kecil penurut itu, tapi satu sisi di juga gak mau Syifa dekat dengannya. Dia kemudian meletakkan kantong belanja di pangkuannya. Dari kaca, ia melihat bayangan Zein yang menunduk untuk menyalakan mesin mobil, sementara Syifa di kursi depan memeluk bonekanya erat-erat sambil mengucapkan kata-kata yang kurang jelas
Begitu mobil melaju pelan menembus hujan, lampu-lampu jalan memantul di kaca basah, menciptakan bayangan yang berkilau. Di dalam mobil, hanya ada suara wiper yang menggesek kaca dan tawa kecil Syifa.
Sesekali Zein melirik lewat kaca spion, sekadar memastikan Senja nyaman. Dan di saat yang sama, Senja memalingkan wajah ke luar jendela, menyembunyikan sesuatu yang hangat di sudut matanya, rasa iba yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang tak ia pahami sepenuhnya.
“Syifa sepertinya dekat sama, Mas?” tanya Senja.
“Iya, kadang ikut ke kantor juga, pas lagi rewel.”
“Memangnya gak ada pengasuhnya, Mas?” tanya Senja lagi.
“Gak ada, paling juga sama neneknya, saya pernah menyewa jasa pengasuh, saat itu Syifa deket banget sama babysitternya. Sampai gak mau lepas gitu, dan saat pengasuhnya itu berhenti karena menikah, dia jadi sedih dan merasa kehilangan sampai drop dan harus dirawat. Sudah beberapa kali seperti itu, makanya saya gak mau sewa jasa babysitter lagi. Kasihan sama dia.”
Senja semakin sedih mendengar penuturan Zein, apalagi melihat gadis kecil yang tampak kesepian itu.
“Kenapa gak coba cari pengganti mamanya, Mas?”
“Belum nemuin yang cocok,” Jawab Zein singkat.
“Memangnya yang cocok menurut mas bagaimana?” tanya Senja menyelidiki. Namun ia buru buru menutup mulutnya karena keceplosan
Zein melirik spion sambil tersenyum guna melirik reaksi Senja. “Aku gak muluk muluk sih, yang penting cantik, nyenengin, dan sayang sama anak ku. ‘
“Gak mau cari yang Sholehah?”
Zein tersenyum kecil. “Itu nantinya tugas saya yang akan menjadikan wanita sholehah,'’ jawabannya spontan.
Senja mengangguk mulai timbul rasa kagum pada pria itu.
Di waktu yang bersamaan, mereka tiba di rumah. Mobil berhenti di bahu jalan.
"Masuk dulu,” ajak Senja.
“Lain kali aja, ya hujan.”
“Oh iya, makasih ya Mas,” ucap Senja sambil membuka pintu mobil.”Dadh Ifa!” ujarnya sambil melambaikan tangan.
Gadis itu sangat antusias membalas lambaian tangan Senja. Setelah menutup pintu, ia menepi karena Zein akan memutar mobilnya.
Sekali lagi Senja melambaikan tangannya ke arah Ifa saat mobil itu akan melintas. Matanya terus mengekori mobil hitam tersebut. Namun dari kejauhan ia melihat mobil lainnya tiba, dan itu adalah mobil Saka.
Segera ia berjalan menuju pintu, baru saja merogoh kunci pintu cadangan suara mesin mobil berhenti di belakangnya.
Tangan senja gemetar tiba-tiba, jujur ia khawatir jika Saka menuduhnya selingkuh dengan Zein. Saking gemetarnya ia kesulitan memutar kunci.
Saka keluar dari mobil dengan suara pintu terbanting keras. Hingga membuatnya terlonjak kaget. Jika bisanya dia akan di saja, kali ini dia memilih protes.
“Mas! Ngagetin saja!” marahnya.
Saka yang berdiri di sampingnya menatap Senja sinis. Namun seperti biasa, ia tak bicara apa pun jika tak di tanya.
Bruk ..lagi lagi pintu itu terbanting saat di buka, kali ini Senja kembali bersuara. “Mas kenapa,sih? Pakai banting pintu segala, random amat kayak cewek lagi PMS aja,” ujarnya sambil menutup pintu dengan pelan.
Sementara Saka sudah menjauh darinya, menuju kamarnya. Tanpa bicara sepatah katakan pun.
Senja mengedikkan kedua bahunya pelan. “Mas Saka kenapa, sih? Dia cemburu apa ya lihat aku diantar sama mas Zein, tapi bukannya itu yang dia inginkan.” gumamnya kemudian ia kembali ke kamarnya.
Malam itu seperti biasa, Senja kembali ditinggal sendiri, oleh Saka. Kesepian terasa melingkupi perasaannya dimana ia masak sendiri, makan pun sendiri. Tiba-tiba dia teringat dengan Syifa, pandangan kosong saat membayangkan betapa pedihnya kesepian karena di tinggal orang tersayang.
"Ya, Allah, aku saja yang sudah dewasa terkadang rindu sosok ibu, apa lagi Syifa yang masih kecil," Desahnya. "Semoga saja, Syifa dapat pengganti ibu yang baik untuknya.
****
Saka keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi. Aroma teh seketika menyeruak di indra penciumannya.
Pandangannya tertuju pada meja makan. Di sana, dua cangkir teh hangat mengepulkan uap, tampak menggoda di udara pagi yang sejuk sisa hujan semalam
Tanpa berpikir panjang, Saka menghampiri meja itu. Ia menarik salah satu kursi dan duduk, lalu mengambil salah satu cangkir. “Lumayan,” gumamnya lirih sebelum menyeruput pelan. Rasa manis dan hangatnya membuat tubuhnya sedikit rileks. Ia meneguk lagi, menikmati ketenangan sejenak.
Namun baru beberapa tegukan, suara klik terdengar, pintu kamar Senja terbuka.
“Mas, kamu minum tehnya?” suara lembut Senja terdengar dari balik pintu.
Saka sontak terkejut, tersedak kecil hingga batuk-batuk. Ia buru-buru menaruh cangkir itu dan berdeham, mencoba menutupi kepanikannya. “Ehem… memangnya kenapa?” tanyanya, mencoba terlihat tenang meski jelas ada kegugupan di wajahnya.
Senja melangkah keluar dengan senyum tipis di bibirnya. Rambutnya tergerai rapi, wajahnya segar dengan sedikit polesan bedak. “Kamu nggak takut apa, Mas, minum teh buatan aku?” ucapnya pelan, nada suaranya setengah menggoda. “Mas Zein aja baru secangkir minum teh aku, langsung beliin aku handphone baru.”
Senja tersenyum penuh arti sambil menunjukkan ponsel barunya.
Seketika wajah Saka memerah antara malu, tersinggung, dan cemburu yang tidak bisa ia kendalikan. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam ke arah Senja.
“Lagian…” katanya menahan nada suara agar tetap datar, “ngapain juga kamu bikin dua cangkir teh? Di rumah ini kan cuma kita berdua.”
Senja mengangkat alis santai, lalu menatapnya sambil mengulum senyum kecil. “Aku memang biasa bikin dua cangkir teh, Mas dan minum kedua duanya."
Saka terdiam sejenak, tapi amarah kecil di dadanya tak bisa ditahan. Ia meletakkan cangkir itu dengan sedikit keras hingga terdengar bunyi duk! di atas meja.
“Ya sudah, minum saja tehnya” katanya ketus, berdiri sambil merapikan jasnya. “Kalau mau ikut kerja, cepat sedikit. Aku bisa telat!”
Senja menatapnya tenang, bibirnya masih menyimpan senyum tipis penuh makna. Dalam hatinya, ia tahu untuk pertama kalinya, Saka mulai terganggu. Dan entah kenapa, itu terasa seperti kemenangan kecil yang manis.
ku rasa jauh di banding kan senja
paling jg bobrok Kaya sampah
lah ini suami gemblung dulu nyuruh dekat sekarang malah kepanasan pakai ngecam pula
pls Thor bikin dia yg mati kutu Ding jangan senja
tapi jarang sih yg kaya gitu banyaknya gampang luluh cuma bilang i love you