Sagala terkejut bukan main saat tetangga depan rumah datang menemuinya dan memintanya untuk menikah dengan putri mereka secepatnya. Permintaan itu bukan tanpa alasan.
Sagala mendadak pusing. Pasalnya, putri tetangga depan rumah adalah bocil manja yang baru lulus SMA. Gadis cerewet yang sering mengganggunya.
Ikuti kisah mereka ya. Ketika abang adek jadi suami istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F.A queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nasehat Untuk Sagala
Annisa melangkah gontai memasuki rumahnya. Hatinya terasa berat, seakan ada beban yang terus menekan dadanya. Dari rumah Sagala, ia langsung menuju kamar neneknya, ruangan yang masih terasa begitu hangat dengan kenangan. Begitu pintu terbuka, air matanya langsung jatuh tanpa bisa ditahan.
“Nek…” suaranya bergetar saat melangkah ke dalam.
Ia duduk di samping ranjang nenek, jemarinya meraba selimut tua yang masih tertata rapi. Seolah neneknya masih ada di sana, tersenyum dan mengelus kepalanya seperti dulu. Kenangan itu terlalu menyakitkan. Isakannya pecah, tubuhnya bergetar dalam kesedihan yang mendalam.
Tak lama, suara ketukan di pintu terdengar, lalu ibu dan ayahnya masuk. Wajah mereka penuh kekhawatiran saat melihat Annisa tergugu di ranjang nenek.
“Nisa…” Ibu duduk di sampingnya, mengelus punggung putrinya dengan lembut. “Jangan seperti ini terus, Sayang. Nenek pasti nggak mau lihat kamu sedih begini.”
“Ibu benar, Nisa,” timpal ayahnya dengan suara dalam yang menenangkan. “Kita semua kehilangan. Tapi kita harus kuat, harus ikhlas.”
Alih-alih tenang, tangisan Annisa malah semakin menjadi. Ia menunduk, memeluk selimut nenek erat-erat.
Ibu dan ayahnya saling pandang, tak tahu harus berkata apa. Mereka tahu, tidak ada kata-kata yang bisa langsung menyembuhkan rasa kehilangan itu.
Ibu menarik Annisa ke dalam pelukannya, membiarkan putrinya menangis sepuasnya di bahunya.
“Nggak apa-apa, Sayang. Nggak apa-apa."
Suasana hening, hanya diisi oleh suara tangis Annisa yang sesekali tersendat. Kesedihan itu memang butuh waktu.
Setelah Nisa dirasa cukup tenang, ibunya mengajak Nisa untuk sarapan.
Annisa mengangguk kecil. Ia tahu tubuhnya butuh makanan, tapi rasanya tidak ada yang benar-benar ingin ia makan. Dengan langkah pelan, ia mengikuti ibunya ke meja makan. Ayahnya sudah duduk di sana, menatapnya dengan senyum tipis.
“Kamu harus makan, Nisa. Biar nggak sakit,” kata ayahnya, menyodorkan piring berisi nasi dan lauk kesukaannya.
Annisa duduk dan mulai menyendok sedikit makanan. Nasi terasa hambar di mulutnya, lauk yang biasanya ia suka kini tak punya rasa. Setiap suapan terasa berat, seolah tubuhnya menolak.
Ibu dan ayah saling berpandangan, sadar bahwa putri mereka masih dalam duka.
“Kalau nggak bisa habisin, makan sedikit aja, Nak,” ujar Ibu lembut.
Annisa mengangguk, berusaha memasukkan beberapa suap lagi ke dalam mulutnya sebelum akhirnya meletakkan sendok.
“Maaf, Bu, Yah… Nisa nggak bisa makan banyak…” katanya pelan.
Ibu tersenyum tipis, tangannya mengusap tangan Annisa dengan penuh kasih. “Nggak apa-apa, Sayang. Yang penting kamu makan.”
Sementara itu di rumah Sagala. Pagi ini, Sagala harus kembali ke Ibu Kota.
"Gal, nanti pamit dulu sama Bu Hanifah dan Pak Suprap. Jangan lupa kalau mereka udah jadi mertuamu," ucap Bu Yuni di sela sarapan mereka.
Pak Karta tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Masih kayak mimpi tau-tau Sagala udah nikah. Sama Nisa lagi. Besanan sama Pak Suprap depan rumah," komentarnya.
Sagala menghembuskan nafasnya panjang. "Apalagi aku," tambahnya.
Bu Yuni menatap putranya, "Alhamdulillah akhirnya kamu nikah juga," ucapnya. Pasalnya beliau sudah lelah menasehati Sagala untuk segera menikah. Usia Sagala tidak muda lagi. Terbilang tua malah untuk jadi bujang.
"Iya, Alhamdulillah," sahut Pak Karta."Kita semua sudah tahu latar belakang Nisa dan keluarganya jadi tenang dan senang."
"Iya, Pak," sahut Bu Yuni. "Ternyata besan kita ada didepan rumah."
Sagala segera menyelesaikan sarapannya. Pun juga dengan kedua orangtuanya. Setelah itu mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Mereka ingin membahas tentang pernikahan putra mereka.
Ayah Sagala sudah duduk lebih dulu dengan ekspresi tenang sementara ibunya terlihat sedikit lebih serius. Begitu Sagala duduk, ibunya langsung membuka pembicaraan.
"Gal, sekali lagi ibu ingatkan jika kamu sekarang sudah menikah," ucapnya lembut tapi tegas. "Dan itu bukan hal kecil. Kami ingin kamu benar-benar paham tanggung jawabmu."
Sagala mengangguk pelan. "Iya, saya paham, Bu."
Ayahnya ikut bersuara. "Menikah bukan hanya tentang ijab qobul di depan penghulu, Nak. Meskipun kalian menikah siri saat ini tapi itu tetap soal komitmen. Apapun alasan kamu dan Annisa menikah, sekarang kamu udah sah menjadi suaminya. Jangan sampai kamu mengabaikannya."
Sagala menatap ayahnya, lalu ibunya. Ia tahu mereka benar. Pernikahannya dengan Annisa bukan sesuatu yang terjadi karena cinta yang tumbuh bertahun-tahun, tapi kenyataan tetaplah kenyataan.
Ibunya menatapnya lebih dalam. "Ibu tahu mungkin ini bukan yang kamu rencanakan. Tapi mungkin saja ini sudah takdir yang diatas."
Sagala terdiam sejenak. Ia memang belum banyak bicara dengan Annisa setelah pernikahan mereka, apalagi setelah neneknya meninggal.
"Kamu siap menjalani semua ini dengan baik, 'kan, Gal?" tanya ayahnya, suaranya penuh ketegasan tapi juga harapan.
Sagala menghela napas, lalu mengangguk mantap. "Aku akan berusaha jalani dengan baik, Pak, Bu."
Ibunya akhirnya tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan kekhawatiran. "Itulah yang Ibu harapkan, Gal. Ibu juga ingin kamu bahagia, bukan hanya sebatas menikah karena terpaksa."
Setelah pembicaraan itu, suasana sedikit lebih ringan. Namun, Sagala tahu kata-kata mereka bukan sekadar nasihat biasa. Itu adalah pengingat bahwa kini hidupnya bukan hanya tentang dirinya sendiri. Ada Annisa di dalamnya. Dan cepat atau lambat, ia harus menghadapi kenyataan itu sepenuhnya.
🌱🌱🌱
Catatan Penulis.
Terima kasih yang sudah baca. Ikuti terus ya 😗
masak gak ngerti sich
yg dimauin Nisa itu cuma dirimu