Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Sesampainya di Paris, Karan dan Helena turun dari pesawat dengan wajah penuh semangat.
Udara Paris yang sejuk bercampur aroma khas roti dari cafe sekitar bandara langsung menyambut mereka.
"Mau beli roti?" tanya Karan.
Helena menganggukkan kepalanya dan menggandeng tangan suaminya.
Mereka berdua masuk kedalam cafe dan Helena segera memesan dua croissant dan dua minuman hangat.
"pas de café," ucap Helena yang tidak mau mereka menyuguhkan kopi
Setelah memesan pelayan meminta mereka untuk duduk.
Karan tersenyum tipis saat melihat istrinya yang sangat bahagia.
Helena duduk di kursi dekat jendela, matanya berbinar melihat pemandangan jalanan Paris yang sibuk namun indah.
Bangunan-bangunan bergaya klasik, orang-orang lalu lalang dengan syal melilit leher, dan aroma roti panggang yang menyeruak dari dapur membuat suasana terasa begitu romantis.
Karan duduk di hadapannya, masih menggenggam tangan Helena di atas meja.
Ia menatap wajah istrinya yang tak henti-hentinya tersenyum.
“Hel, aku baru lihat kamu sebahagia ini. Rasanya semua sakit dan lelah kemarin langsung terbayar,” ucap Karan dengan suara hangat.
Helena menggenggam tangan suaminya sambil tersenyum tipis.
"Mas, terima kasih sudah mengajakku kesini. Aku sudah lama ingin ke Paris. Dan ini seperti mimpi, Mas." ucap Helena.
Disaat mereka sedang mengobrol tiba-tiba pelayan datang menaruh pesanan mereka.
"Sayang, ini bukan mimpi. Dan mulai sekarang aku akan membahas kamu." ucap Karan sambil menyeruput jus jeruknya.
Helena menggigit croissant hangatnya perlahan, lapisan luar yang renyah berpadu dengan isian cokelat lembut di dalamnya membuat matanya berbinar dan menggelengkan kepalanya sangking enaknya.
“Mas, enak banget croissant ini. Sampai-sampai aku pengen bungkus puluhan buat dibawa pulang,” ucapnya sambil tertawa kecil.
Karan ikut tersenyum, memperhatikan wajah istrinya yang begitu menikmati setiap gigitan.
“Kalau kamu mau, kita bisa mampir lagi nanti. Atau tiap pagi sarapan croissant di sini,” balasnya sambil menyeruput minumannya.
Helena menggeleng, masih dengan senyum manis di bibir.
“Enggak usah, Mas. Yang penting aku udah ngerasain langsung di Paris. Itu aja udah cukup.”
Mereka berdua melanjutkan sarapan dengan tenang, diselingi candaan ringan dan tatapan penuh cinta.
Sesekali Karan menyeka remah croissant di sudut bibir Helena, membuat wajah istrinya memerah malu.
Setelah selesai, Helena meneguk sisa minumannya dan meraih tangan Karan.
“Mas, ayo kita ke hotel. Aku pengen lihat kamar kita, terus istirahat sebentar sebelum jalan-jalan lagi,” ucapnya penuh semangat.
Karan mengangguk, lalu membayar pesanan mereka.
“Baiklah, Sayang. Kita ke hotel dulu. Aku juga pengen lihat wajah kamu pas pertama kali buka balkon kamar dan ngelihat pemandangan Paris.”
Helena tertawa kecil, lalu menggandeng lengan suaminya.“Duh, Mas ini romantis banget. Aku jadi makin nggak sabar.”
Mereka pun keluar dari cafe, menelusuri trotoar Paris dengan langkah ringan.
Suasana kota penuh kehidupan, bunyi klakson mobil dan gesekan sepeda di jalan berpadu dengan aroma roti panggang yang masih tercium dari toko-toko.
Tak lama kemudian, sebuah taksi mengantar mereka menuju hotel yang sudah dipesan Dion sebelumnya.
Saat tiba, Helena terpukau melihat bangunan hotel bergaya klasik dengan pintu kaca besar dan lampu gantung mewah yang menyambut di lobi.
“Mas, ini indah banget. Kayak masuk ke dunia lain,” ucapnya takjub.
Karan tersenyum sambil menarik koper mereka masuk kedalam lobby hotel.
“Baru loby saja kamu sudah terpukau. Tunggu sampai lihat kamar kita, Hel.”
Helena menggenggam tangan Karan lebih erat dan mereka masuk kedalam lift.
Begitu pintu kamar terbuka, Helena langsung terdiam.
Matanya membesar, bibirnya sedikit terbuka tanpa sadar.
“Masya Allah…” bisiknya lirih, langkah kakinya melambat seolah tak percaya dengan pemandangan di depan matanya.
Kamar itu luas, berdesain klasik dengan sentuhan modern.
Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu kristal yang berkilauan.
Balkon besar terbuka dengan tirai putih yang melambai lembut diterpa angin Paris.
Dari sana, Menara Eiffel tampak menjulang anggun, berkilau diterpa sinar matahari sore.
Helena berjalan masuk pelan, jemarinya menyusuri meja kayu berukir, lalu berhenti di sisi ranjang besar dengan seprai putih lembut yang disusun rapi.
“Mas, ini indah sekali. Aku seperti sedang mimpi." ucapnya dengan suara bergetar, matanya masih terpana.
Karan tersenyum hangat melihat ekspresi istrinya.
Ia meletakkan koper di sudut kamar, lalu mendekat dan merangkul bahu Helena.
“Bukan mimpi, Hel. Ini nyata. Kamu memang pantas dapat yang terbaik,” balasnya lembut.
Helena menoleh, hendak membalas, tapi pandangannya tertuju pada sesuatu di sudut ruangan.
Sebuah jacuzzi putih elegan dengan lilin aromaterapi tersusun di sekelilingnya, sudah dihiasi kelopak bunga mawar merah yang terapung di permukaan air hangat.
Helena langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“Astaga… Mas, ada jacuzzi! Ya Allah, romantis banget…”
Ia berlari kecil mendekat, matanya berbinar seperti anak kecil mendapat mainan baru.
Tangannya menyentuh pinggiran jacuzzi, lalu menoleh ke arah suaminya dengan senyum lebar.
“Mas, aku nggak nyangka sama sekali. Kamu sengaja ya nyiapin ini semua?”
Karan hanya tertawa kecil, mendekat sambil mengusap lembut kepala istrinya.
“Biar kamu bahagia. Aku suka lihat kamu tersenyum kayak gini.”
Helena langsung memeluk Karan erat-erat, dadanya bergetar karena terlalu bahagia.
“Terima kasih, Mas. Aku benar-benar bersyukur punya kamu…”
Karan membalas pelukan itu, membisikkan lembut di telinganya
“Aku juga, Hel. Paris ini indah, tapi kamu yang paling indah di mataku.”
Helena tersipu, wajahnya memerah. Ia pun akhirnya melepaskan pelukan dan berjalan ke balkon, membuka tirai lebar-lebar.
Angin Paris menerpa wajahnya, dan dari sana pemandangan Menara Eiffel tampak jelas.
“Mas, ayo ke sini! Lihat… Eiffel dari sini indah banget!” serunya penuh semangat.
Karan melangkah menghampiri, lalu berdiri di samping istrinya.
Mereka berdua terdiam beberapa detik, menikmati pemandangan romantis itu bersama.
“Mas, aku nggak akan pernah lupa momen ini seumur hidupku.”
Karan memeluk tubuh istrinya dari belakang sambil mencium leher Helena.
"M-mas..."
Karan membuka pakaian istrinya dan mengajaknya.
Helena terkejut saat Karan menariknya perlahan, lalu menggandeng tangannya menuju jacuzzi yang sudah dipenuhi kelopak mawar merah.
“Mas, yakin mau sekarang?” bisiknya pelan dengan wajah memerah.
Karan tersenyum hangat sambil mengusap pipi istrinya.
“Hel, kamu udah capek setelah perjalanan jauh. Air hangat ini bisa bikin tubuh kamu rileks. Anggap aja hadiah kecil dariku.”
Helena menggigit bibir bawahnya, menunduk malu, tapi matanya berkilau penuh bahagia. Ia mengangguk pelan.
Tak lama kemudian, Karan membantu Helena masuk ke jacuzzi dengan hati-hati.
Uap hangat langsung menyelimuti tubuh mereka, kelopak mawar terapung indah di permukaan air.
“Ya Allah, Mas. Airnya hangat, wangi bunga dan aku merasa seperti putri raja,” ucap Helena sambil memejamkan mata, menikmati setiap sensasi yang menenangkan.
Karan duduk di sampingnya, tangannya merangkul bahu istrinya.
“Bukan putri raja. Kamu ratuku, Hel.”
Helena menoleh, menatap wajah suaminya dari jarak dekat.
Senyum tipis terbit di bibirnya, lalu ia menyandarkan kepala di dada Karan.
“Mas, aku bener-bener bahagia. Seandainya waktu bisa berhenti, aku mau momen ini selamanya ” bisik Helena
“Kalau aku bisa, aku bakal hentikan waktu hanya untuk kita berdua.” ucap Karan sama mendekatkan bibirnya ke bibir istrinya.
Helena membalas ciuman yang diberikan oleh suaminya.