Namanya Diandra Ayu Lestari, seorang perempuan yang begitu mencintai dan mempercayai suaminya sepenuh hati. Baginya, cinta adalah pondasi rumah tangga, dan persahabatan adalah keluarga kedua. Ia memiliki seorang sahabat yang sudah seperti saudara sendiri, tempat berbagi rahasia, tawa, dan air mata. Namun, sebaik apa pun ia menjaga, kenyataannya tetap sama, orang lain bukanlah darah daging.
Hidupnya runtuh ketika ia dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai, suaminya, dan sahabat yang selama ini ia anggap saudara.
Di tengah keterpurukannya ia bertemu ayah tunggal yang mampu membuatnya bangkit perlahan-lahan.
Apakah Diandra siap membuka lembaran baru, atau masa lalunya akan terus menghantui langkahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa harus sahabatku?
Dia nggak pernah anggap kamu sahabat Diandra, dia anggap kamu saingannya
Ucapan itu silih berganti berputar di kepalanya, menambah rumitnya pikiran yang sudah kusut sejak awal. Ingatan-ingatan kecil tentang beberapa kejadian muncul begitu saja di benak Diandra. Jam tangan suaminya di kamar Olivia, perjalanan bisnis dan selalu sibuk di kantor.
Belum lagi Olivia tiba-tiba sudah menikah setelah perjalanan bisnis ke Bali, di mana Grace melihat Ramon menikah dan menganggap mereka telah berpisah.
Ia menolak percaya tetapi kebetulan-kebetulan kecil yang ia temukan sangatlah nyata. Belum lagi pengeluaran Ramon tentang uang yang ia pertanyakan dan rumah baru Olivia. Terlalu kebetulan untuk tidak dicurigai.
"Tidak, aku tidak boleh berburuk sangka. Mungkin saja Grace salah mengenali." Diandra mengelengkan kepalanya.
Alih-alih pulang ke rumah, dia melajukan mobil hitam miliknya menuju apartemen sang sahabat tanpa pemberitahuan. Dia berjalan pelan menuju unit apartemen Olivia.
Kening Diandra mengerut mendapati pintu apartemen tidak tertutup rapat dan melihat sepatu seorang pria di dalam sana.
"Sepertinya suami Via sudah pulang, bukan saatnya untuk mengganggu mereka," gumamnya.
Namun, ketika dia hendak pergi, ia kembali berbalik untuk memastikan sepatu pria itu akibat ucapan Grace kembali menodai pikirannya. Dibukanya pintu perlahan-lahan demi memastikan semuanya.
Darah Diandra mendidih, sekujur tubuhnya terasa panas diiringi jantung berdetak hebat ketika tahu siapa pemilik sepatu itu. Dia melangkah semakin dalam, sampai mendengar suara tawa manja Olivia.
***
Terlalu banyak kasus yang harus di urus, Gerald tidak kunjung beranjak dari kursi kebesarannya meski matahari sudah tenggelam. Dia masih berjibaku dengan layar laptop di temani oleh asisten pribadinya.
Kesabaran Gerald mulai di uji ketika deringan ponsel terus terdengar tiada henti padahal ia sudah menolaknya berulang kali.
"Kirimkan uang padanya!" perintah Gerald tanpa menoleh.
"Sudah Pak, tapi sepertinya bukan itu yang dia inginkan," jawab Hansen, melihat bukan hanya ponsel Gerald yang dihantui, ponselnya pun sama.
Gerald mendengus dan segera menjawab panggilan dari adiknya.
"Kenapa lagi Grace, apa uang bulanan yang kakak berikan habiskan nggak sampai target?"
"Ih bukan itu kak, mentang-mentang jadi donatur suka seenaknya. Aku tuh mau ngasih kabar gembira."
"Apa?"
"Aku menemukan Ayumu."
"Ayu siapa?"
"Ih masa kak Jovin lupa sama Ayu teman aku. Itu loh tetangga kita dulu, kakak kan dulu suka sama dia."
Gerald terkekeh kecil mendengar ucapan adiknya di seberang telepon. "Dek, dek itukan cuma cinta monyet. Dan sepertinya kebalik, dia yang suka sama kakak."
"Tapikan fotonya masih ada di dompet kakak. Pokoknya aku mau Ayu jadi istri kakak."
"Dasar bocil!"
Gerald memutuskan sambungan telepon begitu saja. Sejak dulu adiknya tidak pernah berubah. Selalu ingin dia dan temannya itu menikah dan baru diam ketika tahu temannya sudah menikah.
"Kamu tahu Grace sudah pulang?" tanya Gerald pada asistennya.
"Iya Pak, sekarang ada di rumah bersama Bian."
"Kenapa tidak bilang sejak tadi." Gerald beranjak dari duduknya, mengambil jas yang sejak tadi tersampir pada kursi. "Selesaikan semuanya sebelum kamu pulang," lanjutnya dan berlalu.
"Untung bos dan aku ada maunya," gumam Hansen dengan bibir sengaja dimanyunkan.
Kesibukan kota di malam hari membuat beberapa jalan di landa kemacetan, terutama jalan yang sedang Gerald lalui saat ini.
Sesekali pria itu mendengus mendengar suara klakson dari berbagai sisi. Ia heran pada pengendara kenapa harus susah-susah membunyikan klakson di tengah kemacetan, padahal semua orang pasti ingin melaju jika bisa.
Terhanyut dalam lamunan, pikiran Gerald tertuju pada perempuan yang sedang adiknya bicarakan. Anak tetangga yang naksir padanya dan sering bekunjung ke rumah untuk menemuinya. Saat itu Gerald duduk di bangku SMP kelas satu, sedangkan teman adiknya duduk di sekolah dasar kelas 2.
"Mungkinkah wajahnya masih sama seperti dulu?" gumam Gerald.
Sedangkan perempuan yang berusaha Gerald terka-terka wajahnya secantik apa sedang dilanda luka yang bahkan tidak pernah terbayangkan olehnya hanya dengan mendengar pembicaraan dua orang yang sangat dia kenali.
Air matanya terjatuh membasahi pipi seiring langkah kaki mendekat pada sumber suara.
"Sayang jangan nakal ih, kan sudah dapat jatah di kantor."
"Rasanya tidak puas jika itu bersamamu, Sayang."
"Mas Ramon geli."
Suara tawa itu begitu menyakitkan untuk Diandra, terlebih saat nama suaminya disebut oleh sahabatnya sendiri.
Tubuhnya bergetar, tulang-tulangnya seolah rapuh dan tidak punya kekuatan untuk mendorong pintu kamar yang tidak sepenuhnya rapat. Ia juga takut melihat hal menjijikkan di dalam sana.
"Aku harus menyaksikan sendiri bukan hanya menerka-nerka," gumam Diandra menguatkan hati.
Wanita itu menarik napas dalam-dalam dan mendorong pintu perlahan hingga dapat melihat sepasang manusia berada di atas ranjang dengan selimut menutupi setengah tubuh mereka berdua.
"Hebat, setelah menuduhku selingkuh dan membuat pikiranku berantakan, mas malah bersenang-senang dengan sahabatku sendiri!"
Diandra tersenyum melihat betapa gelagapannya Ramon turun dari ranjang hanya mengenakan boxer, sedangkan Olivia membungkus tubuhnya dengan selimut.
"Sayang."
"Jangan menyentuhku!" Diandra menepis tangan Ramon bahkan sebelum menyentuh dirinya.
"Diandra, mas bisa jelaskan semuanya."
"Nggak perlu, aku nggak kaget kalau mendapati kamu tiba-tiba selingkuh sebab penyakit itu memang susah dihilangkan, terlebih aku tidak bisa hamil dan tuntunan mama. Tapi kamu tahu? Aku nggak menyangka bahwa kamu tega main dibelakang dengan sahabatku sendiri!"
"Diandra dengarkan mas dulu."
"Mas tidak ada niatan untuk selingkuh, tapi sahabatmu terus menggoda mas."
"Mas minta maaf karena selalu menuduhmu."
Ramon terus mengikuti Diandra sampai keluar kamar tetapi wanita itu tidak ada niatan untuk berhenti apalagi mendengarkan penjelasan suaminya.
Hatinya bagai dihantam ribuan pisau, sakitnya tidak bisa didefinisikan, yang pasti sakit itu mengerogoti jiwanya. Ia hilang keseimbangan di dalam lift, jatuh terduduk pada lantai yang kotor. Air matanya menetes tanpa bisa terucap satu katapun dari mulutnya.
Saat pintu lift terbuka dia menjadi sorotan beberapa pengunjung, ada pula yang menghampiri dan mengulurkan tangan padanya.
"Ibu baik-baik saja? Ayo saya bantu berdiri," ujar staf yang menghampirinya. Mungkin bukan peduli tapi keberadaanya menganggu pengunjung lain.
Diandra berjalan sempoyongan keluar dari gedung terkutuk tersebut. Terus berjalan hingga sampai di pinggir jalan, melupakan mobilnya sebab terlalu kacau.
"Kenapa harus sahabatku mas?" lirihnya dengan tatapan kosong. Terus melangkah tanpa peduli sekitar padahal sudah sampai di jalan raya.
"Mbak awas!" teriak pejalan kaki tetapi Diandra hiraukan begitu saja.
"Mbak!"
Citt
Suara ban mobil berdecit memekakkan telinga sebab berusaha menghindari Diandra namun musibah tidak terlekkan. Wanita itu jatuh ke aspal dan menyebabkan kemacetan cukup parah.
"Dasar gila, harusnya kalau mau bunuh diri jangan jalan, bikin macet saja."
.
.
.
.
.
lanjut tz kak...
diandra smga proses cerainya brjlan lncar,, ayo donk gerald move on dngan msalalu,, agar kamu bisa memnangkan proses klaien kamu...
ni manusia oon apa terlalu pintar ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣