"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Dilema
...0o0__0o0...
...Di kamar itu, suasana terasa menekan. Keheningan di antara Nesya dan Langit begitu pekat, seakan dinding pun enggan bersuara setelah kejadian di kamar Jingga....
...“Nesya, bukankah kamu istri pertama ?” tanya Langit dengan suara yang tegas namun sarat kekecewaan....
...Nesya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan mata berkaca-kaca. “Aku akan menjadi satu-satunya istri Abi… setelah satu tahun nanti.”...
...“Jawab pertanyaan aku, Nesya.” Langit menekankan lagi, menatap lurus padanya. “Bukankah kamu istri pertama ?”...
...“Benar, Abi,” jawab Nesya lirih....
...Langit berbalik menghadapnya, menatap wajah istrinya yang kini basah oleh air mata. ...
...“Kalau kamu sadar itu, kenapa kamu tidak bisa memberi contoh baik untuk madumu ? Keputusan ini kamu sendiri yang buat, Nesya. Tapi sekarang, kamu jalani dengan egois.”...
...Nesya mendongak, suaranya pecah. “Abi… aku tidak ikhlas kalau Abi menyentuh Jingga dengan cinta. Kalau bukan demi seorang anak, sampai mati pun aku tak akan rela berbagi suami.” Ia lalu memeluk tubuh Langit erat-erat, seolah ingin mengikatnya....
...Kalimat itu membuat dada Langit bergetar. Beberapa waktu belakangan, perasaannya pada istri keduanya sulit ia definisikan. Ada rasa yang tak seharusnya tumbuh, tapi semakin hari semakin kuat....
...“Nesya… kata tidak ikhlas itu sudah terlambat. Semua sudah terjadi, kamu harus terima konsekuensinya. Bukankah aku sudah melarang mu berkali-kali ? Tapi kamu yang kukuh memaksa aku menikahi Jingga.”...
...“Aku tidak menyesali keputusan itu, Abi. Yang aku mau sekarang… Jingga harus segera hamil, lalu ceraikan dia setelah itu.”...
...Langit tercekat. Kata “cerai” menusuk hatinya. Baru sebentar berjarak dari Jingga, ia sudah ingin kembali menemuinya. Bagaimana mungkin ia mampu menceraikan gadis itu ?...
...“Abi, kumohon… jangan jatuh cinta padanya. Dia bukan wanita baik-baik.” Suara Nesya melemah, penuh iba....
...Nesya menangkup wajah suaminya dengan kedua tangan, memaksa Langit menatap matanya. “Ingat, Abi, seberapa besar cinta kita selama ini. Jangan biarkan semua pupus hanya karena kehadiran istri kontrak itu.”...
...Langit menunduk, enggan mendengar kata istri kontrak di sematkan untuk Jingga. Hatinya menolak keras....
...Namun Nesya tak menyerah. Ia menarik wajah suaminya lagi, bibir mereka bersentuhan....
...Ada hasrat bergejolak dalam diri Langit, tapi bukan untuk Nesya. Bayangan Jingga memenuhi benaknya. Seketika rasa bersalah melanda....
...“Astaghfirullah…” desisnya, memalingkan wajah....
...“Kenapa, Abi ? Apa sekarang Abi sudah tidak ingin menyentuh ku ? Padahal dulu… Abi tak bisa jauh dari ku,” Nesya menuduh dengan tangisan....
...Langit memejamkan mata, terjebak rasa bersalah. Ia ingin jujur, tapi tak sanggup menyakiti hati istri pertamanya....
...“Nesya… bukan begitu. Ini masih pagi, sebentar lagi kita harus ke rumah sakit. Aku juga harus antar Jingga kuliah.”...
...“Dulu Abi rela meninggalkan apa pun, hanya untuk bersama ku.” Tangis Nesya makin menjadi....
...Langit memeluk tubuhnya. Namun di dalam hati, hanya satu nama yang berulang-ulang terucap. ...
...Jingga....
...Hingga akhirnya, untuk menutupi gejolak hatinya sendiri, Langit meraih bibir Nesya, melumatnya dengan rakus. Tapi bayangan wajah yang hadir di pikirannya tetaplah Jingga—istri kecilnya....
...Langit menutup matanya rapat-rapat, seolah ingin menyingkirkan wajah Jingga dari pikirannya. Namun sejak semalam, rasa yang ia pendam terus menguasai dirinya. Tubuhnya menegang, hasrat itu mendesak, membuatnya tak bisa lagi menahan diri....
...Nesya merasakan perubahan itu. Ia semakin erat memeluk tubuh suaminya, seakan menemukan kembali kasih yang sempat hilang. ...
...“Abi… jangan jauhi aku lagi,” bisiknya parau di sela tangis....
...Langit tak menjawab. Ia menunduk, mencium bibir Nesya dengan rakus, kali ini tanpa jeda. Tangan-tangannya mulai menyusuri tubuh istri pertamanya, mencari pelampiasan dari gejolak yang sedari semalam ia bendung....
...Namun, di balik setiap sentuhan, ada rasa bersalah yang kian mencekik. Bayangan wajah cantik Jingga terus saja menghantui pikirannya. Semakin ia merapat pada Nesya, semakin jelas wajah itu muncul. Seolah-olah ia sedang menyentuh orang yang berbeda....
...“Aku milikmu, Abi… hanya milikmu,” ucap Nesya di antara dekap yang semakin dalam....
...Langit menggertakkan rahangnya, berusaha mengusir rasa bersalah itu. "Astaghfirullah… kenapa aku seperti ini ?" batinnya bergemuruh. ...
...Langit tahu, tubuhnya sedang bersama Nesya, tapi hatinya—hatinya tak bisa di bohongi....
...Pelukan mereka kian erat, ciuman semakin dalam, hingga kamar itu di penuhi desahan yang bercampur antara cinta lama yang mencoba hidup kembali dan luka batin yang tak bisa di sembuhkan....
...Namun di tengah gairah yang menguasai, batin Langit terus berteriak satu nama....
...Jingga....
...Hasrat yang semalam tertahan kini meledak tanpa bisa Langit kendalikan lagi. Pelukan Nesya menjadi tempat pelampiasan-nya, meski di relung hatinya ada penolakan yang terus berbisik....
...Tubuh mereka menyatu, Nafas demi nafas beradu panas. Nesya merintih, merasa cintanya kembali di genggam. Ia percaya bahwa suaminya masih sepenuhnya miliknya....
...“Abi… jangan lepaskan aku lagi…,” ucapnya di antara desahan....
...Langit menggenggam pinggang istrinya lebih erat, tapi di kepalanya wajah Jingga semakin jelas. Setiap helaan napas yang ia rasakan dari Nesya, setiap sentuhan kulit yang menyentuhnya, justru menghadirkan bayangan lembut istri mudanya....
...Ia merasa bersalah....
...Ia merasa berdosa....
...Namun tubuhnya tak mampu lagi menolak....
...Hingga akhirnya, mereka sama-sama mencapai puncak hasrat. Nesya terisak, kali ini bukan karena sedih, melainkan karena lega—merasa ikatan cintanya dengan Langit kembali erat....
...Sementara Langit terbaring kaku, dadanya naik turun cepat, matanya menatap langit-langit kamar. Tidak ada rasa lega di wajahnya, hanya ada perasaan hampa yang menusuk....
...Ia menoleh ke samping, melihat Nesya yang tersenyum puas meski masih berlinang air mata. “Abi… akhirnya aku bisa merasakan peluhmu lagi.”...
...Langit hanya bisa mengangguk kecil. Tapi dalam hati, ia berteriak lirih, "Ya Allah… kenapa setiap aku bersama Nesya, justru bayangan Jingga yang hadir ?"...
...Langit meraih tangan istrinya, menggenggamnya erat—bukan karena cinta yang penuh, melainkan karena rasa tanggung jawab dan usahanya untuk tidak menyakiti perempuan yang lebih dulu menjadi pendamping hidupnya....
...Namun batinnya tahu, satu kebenaran yang tak bisa Langit pungkiri. Ia sudah jatuh… pada Jingga....
...0o0__0o0...
...Pagi itu, ruang makan keluarga Alfaruq di penuhi aroma sup ayam hangat. Namun Jingga hanya duduk gelisah, menunduk sambil melirik jam dinding berkali-kali. ...
...Jarum panjang sudah hampir menyentuh angka delapan, sementara pintu kamar Langit dan Nesya masih tertutup rapat....
...“Kenapa kamu tidak makan, nak ?” suara lembut Ummi Ais memecah keheningan....
...Jingga tersentak, lalu memaksa senyum. “Nggak selera, Ummi. Takut telat kuliah.”...
...Ummi Ais menatapnya penuh iba. Ia tahu apa yang membuat menantunya resah, tapi memilih tidak ikut campur....
...Jingga menggenggam ponselnya erat. Setelah ragu beberapa saat, akhirnya ia memberanikan diri menekan nama lama di daftar kontak. ...
...“Assalamualaikum, Bal… kamu lagi di mana ?”...
...“Waalaikumussalam, Jingga ? Aku lagi otw kampus. Ada apa ?” jawab suara pria di seberang, hangat sekaligus terkejut....
...Jingga menelan ludah. “Kamu bisa jemput aku ? Aku takut telat.”...
...“Baik, tunggu aku di depan. Lima menit lagi sampai.”...
...Jingga menarik napas panjang. Hatinya teriris, tapi ia tak punya pilihan. Ia lalu berdiri dan menghampiri Ummi Ais. ...
...Dengan suara bergetar, ia berkata pelan, “Ummi… aku pamit kuliah. Kak Langit… mungkin sibuk. Tadi aku sudah minta tolong teman untuk jemput.”...
...Ummi Ais menatapnya lama. “Hati-hati di jalan, nak. Jangan pikirkan yang lain dulu, fokus saja pada kuliah mu.” Ia mengelus lembut pundak Jingga, memberi kekuatan....
...“Terima kasih, Ummi. Assalamualaikum.” Jingga menunduk, menahan air mata, lalu melangkah keluar....
...Ummi Aisyah tersenyum lembut, "Walaikumsalam."...
...Tak lama kemudian, sebuah mobil putih berhenti di depan gerbang rumah besar itu. Dari dalam, seorang lelaki turun dengan rapi, Ikbal. Senyumnya tenang, sopan, tidak berlebihan....
...“Assalamualaikum,” ucapnya sambil membuka pintu penumpang. “Ayo, Jingga. Duduk di belakang, biar lebih nyaman.”...
...Jingga sempat tertegun melihat sikap mantannya yang masih menjaga jarak dan adab. “Waalaikumussalam… makasih, Bal.”...
...Jingga masuk ke dalam mobil, duduk di bangku belakang, lalu menunduk sepanjang waktu. Ikbal masuk lewat pintu sopir, lalu menyalakan mesin. Mobil itu perlahan meninggalkan halaman....
...Dan tepat saat itu, pintu kamar Langit terbuka. Ia keluar dengan wajah letih, rambut acak, sementara Nesya masih menggandeng lengannya erat-erat....
...Langit segera melangkah ke ruang makan, tapi kursi di sudut sudah kosong. “Jingga mana, Ummi ?” tanyanya terburu-buru....
...Ummi Ais menatapnya dengan tatapan kecewa. “Dia sudah pergi. Di jemput temannya.”...
...Langit tersentak. Ia berlari ke teras, namun hanya sempat melihat punggung mobil putih yang semakin menjauh di tikungan jalan....
...Tangannya mengepal, hatinya berteriak....
..."Ya Allah… aku yang berjanji akan mengantarnya. Tapi justru dia pergi bersama orang lain…"...
...0o0__0o0...
...Mobil putih itu melaju tenang di jalan utama. Di dalam kabin, suasana hening, hanya suara mesin yang terdengar. ...
...Jingga duduk di bangku belakang, menatap keluar jendela, menyembunyikan rasa sesak di dadanya....
...Ikbal sempat melirik lewat kaca spion, lalu tersenyum tipis. “Sudah lama banget kita nggak ngobrol. Rasanya aneh ya, tiba-tiba aku jemput kamu lagi.”...
...Jingga tersenyum kaku. “Iya, Bal. Aku… sebenarnya nggak enak. Makasih ya, sudah mau repot-repot jemput aku.”...
...“Ah, jangan ngomong begitu. Aku justru senang bisa nolong kamu. Tapi, kalau boleh jujur…” Ikbal menahan napas sejenak, pandangannya masih lurus ke jalan. “Aku nggak nyangka kamu bakal hubungi aku lagi.”...
...Jingga menunduk, jari-jarinya menggenggam erat tas di pangkuan. “Aku terpaksa, Bal. Kalau bukan karena takut terlambat, aku nggak akan merepotkan mu.”...
...Ada jeda sejenak. Kata “Terpaksa” itu menusuk ke telinga Ikbal, mengingatkannya bahwa status Jingga kini berbeda. Meski begitu, ia masih berusaha menjaga sikap....
...“Aku ngerti. Kamu tidak perlu sungkan. Kita masih bisa berteman baik tanpa menengok ke belakang."...
...Jingga menoleh sekilas, tatapannya melembut. “Terima kasih… kamu masih bisa jaga sikap.”...
...Ikbal tersenyum kecil, tapi dalam hatinya ada perasaan lain yang sulit di jelaskan. Kehadiran Jingga di kursi belakang mobilnya membangkitkan banyak kenangan lama....
...0o0__0o0...
...Sementara itu, di rumah besar keluarga Alfaruq, Langit berdiri kaku di depan teras, matanya tak lepas dari arah jalan. Mobil putih yang membawa Jingga sudah lenyap dari pandangan....
...Langit meremas rambutnya frustrasi. Dadanya bergemuruh, rasa panik bercampur cemburu menyatu. “Astaghfirullah… kenapa aku biarkan ini terjadi ?”...
...Tanpa pikir panjang, ia meraih kunci mobil yang tergantung di dinding ruang tamu....
...“Abi, mau ke mana ?” tanya Nesya cemas, berusaha menahan lengannya....
...Langit menepis halus, suaranya dingin tapi tegas. “Aku harus kejar Jingga. Dia pergi dengan orang lain.”...
...Nesya terbelalak. “Abi! Dia cuma—”...
...Namun kalimat itu terputus karena Langit sudah melangkah cepat keluar. Mobilnya melaju kencang, meninggalkan rumah besar itu....
...Di balik kemudi, napas Langit memburu. Matanya fokus mencari jejak mobil putih yang tadi membawa pergi perempuan yang kini begitu kuat menguasai hatinya....
...“Ya Allah… lindungi istri kecil ku. Jangan biarkan aku kehilangan Jingga,” gumamnya lirih, sementara pedal gas di injak lebih dalam....
...0o0__0o0...
baca cerita poli²an tuh suka bikin gemes tp mau gk dibaca penasaran bgt 😂