NovelToon NovelToon
Cinta Mulia

Cinta Mulia

Status: tamat
Genre:Kehidupan di Kantor / Pernikahan Kilat / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama / Berondong / Tamat
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Serena Muna

Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketika Tawa Liar Menjadi Sebuah Pertanda Buruk

Alarm segera berbunyi di seluruh bangsal. Kepanikan menjalar cepat di antara perawat malam. Mereka tahu siapa pasien yang hilang, dan mereka tahu betapa berbahayanya wanita itu.

Kepala Perawat Maya segera berlari ke ruang isolasi Bu Hanim, wajahnya pucat pasi. Ia melihat bekas kerusakan di kawat jendela.

"Bagaimana mungkin?! Dia diisolasi dan dibius!" seru Kepala Perawat Maya.

Dokter penjaga malam, Dokter Bima, tiba dengan tergesa-gesa. Ia memeriksa kondisi ruangan.

"Dia pasti menggunakan sesuatu yang tajam untuk mengikis kawat di sudut itu, dan setelah obat penenang mereda, dia cukup kuat untuk memanjat keluar," jelas Dokter Bima, memeriksa bekas gesekan di dinding. "Lihat ini, dia melompat dari lantai dua. Dia pasti punya adrenalin yang luar biasa."

Di tengah kekacauan itu, mereka menemukan sebuah coretan di dinding, ditulis dengan sesuatu yang tajam—mungkin kuku atau pecahan plastik yang ia sembunyikan. Coretan itu adalah nama: MULIA.

"Dia pasti melarikan diri untuk membalas dendam," kata Dokter Bima. "Hubungi polisi dan keluarga Ikhsan segera! Ini situasi darurat!"

Bu Hanim tidak merasakan dinginnya malam. Tubuhnya ditutupi kegilaan dan tujuan yang membakar. Ia mengenakan gaun rumah sakit yang kotor, berlari di antara pepohonan di halaman belakang rumah sakit jiwa. Pikirannya tidak lagi kabur; ia kini fokus, fokus yang dingin dan mengerikan, hanya pada satu nama.

Ia berhasil melompat dari ketinggian dua lantai. Rasa sakit di kakinya tidak ia hiraukan; rasa sakit itu hanyalah pemanis dari dendam yang sebentar lagi akan ia tuntaskan.

Ketika berhasil mencapai jalan raya yang sepi, Bu Hanim berhenti. Ia mendongak ke langit yang gelap, dan untuk pertama kalinya sejak penangkapannya, ia tertawa membahana.

Tawa itu keras, melengking, dan brutal. Tawa yang didorong oleh kemenangan kecil pelarian, dan janji pembalasan yang besar.

"Aku bebas! Aku bebas!" seru Bu Hanim. "Kamu pikir kamu bisa mengurungku, Mulia? Kamu pikir penjara bisa menghentikanku?"

Ia berbalik, menatap cahaya redup rumah sakit jiwa di belakangnya. "Aku bukan gila! Aku adalah keadilan! Keadilan bagi kehormatanku! Keadilan bagi Dinda!"

****

Bu Hanim mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan kembali semua kebencian yang ia kumpulkan selama diisolasi. Tujuannya kini satu: menghancurkan Mulia dan membalas dendam.

"Aku akan memberimu pernikahan yang berdarah, Mulia! Aku akan membuatmu menyesal telah mengambil suamiku, mengambil anakku, dan mengambil kehormatanku!" teriak Bu Hanim, meskipun tidak ada siapa pun di sana selain malam yang gelap.

Ia berjalan ke pinggir jalan, mengangkat tangannya ke langit.

"Dengar ini, Mulia! Aku akan membunuh Ikhsan! Aku akan membuatmu melihatnya mati di hadapanmu! Aku akan membalas dendam dengan cara yang sadis! Cara yang akan membuat kamu memohon untuk mati!"

Bu Hanim berhasil menghentikan sebuah truk pengangkut sayuran. Dengan tatapan mata gila, ia mengancam pengemudi, memaksanya membawanya menuju Jakarta.

Di ruang perawat Cendana, Dokter Bima menutup telepon, wajahnya cemas.

"Polisi sedang melacak. Tapi kita harus memberi tahu keluarga Ikhsan secepatnya. Dia melarikan diri, dan tujuannya hanya satu. Dia ingin mengganggu pernikahan mereka."

"Bagaimana dengan Dinda, Dokter?" tanya Kepala Perawat Maya.

"Dinda harus dijaga lebih ketat. Bu Hanim mungkin akan mencoba menghubunginya atau menggunakannya. Tapi fokus utama Bu Hanim sekarang adalah Mulia," jawab Dokter Bima, mengambil kunci mobilnya. "Saya harus ke Jakarta. Wanita itu tidak akan berhenti sampai dia melihat darah."

Di tengah malam yang dingin, ancaman itu telah menjadi hidup, bebas, dan bergerak cepat. Bu Hanim, yang kini sepenuhnya diperbudak oleh dendamnya, adalah teror berjalan. Mulia dan Ikhsan, yang seharusnya sedang menikmati awal kehidupan baru mereka, kini dihadapkan pada mimpi buruk terburuk mereka yang menjadi kenyataan.

****

Pagi itu, rumah baru yang seharusnya menjadi lambang kedamaian bagi Mulia dan Ikhsan diselimuti oleh kegelapan yang pekat. Badai hebat tidak kunjung berhenti sejak semalam. Angin kencang menderu-deru di luar, hujan badai menghantam jendela kaca besar dengan brutal. Sesekali, kilat menyambar dengan cahaya putih yang mematikan, menerangi ruang tamu yang luas dan mewah.

Suara gemuruh petir seolah menjadi latar musik yang menyesakkan, seakan-akan alam raya turut meratapi nasib buruk yang telah mereka lalui.

Mulia berdiri di depan jendela, tangannya memeluk diri sendiri. Ia mengenakan piyama sutra, tetapi ia merasa kedinginan sampai ke tulang. Suasana hati Mulia menjadi tak karuan. Bukan hanya karena cuaca; ia merasa ada sesuatu yang jauh lebih gelap dan jahat sedang mendekat.

Sejak subuh, ia dihantui oleh suara tawa membahana Bu Hanim dari mimpinya, tawa yang brutal dan dingin. Firasat buruk itu begitu kuat, begitu nyata, hingga membuat perutnya mual.

"Lia, kamu belum tidur lagi?"

****

Ikhsan muncul dari dapur, membawa dua cangkir teh hangat. Wajahnya terlihat khawatir. Ia mendekati Mulia, memakaikan cardigan ke bahu Mulia.

"Ini. Hangatkan dirimu," ujar Ikhsan lembut.

Mulia menerima cangkir itu, tetapi tangannya masih gemetar. "Aku tidak bisa, Ikhsan. Badai ini... rasanya seperti... seperti sesuatu yang jahat akan terjadi."

"Itu hanya badai musim hujan, Sayang. Kamu terlalu banyak berpikir," Ikhsan mencoba tersenyum, tetapi ia juga merasakan ketegangan yang Mulia pancarkan.

"Bukan. Bukan hanya badai," Mulia menggeleng, matanya menatap hujan yang menggila. "Aku tahu ini gila, Ikhsan. Tapi aku merasa ada bahaya mengintai saat ini. Sejak subuh, aku terus mendengar tawa Bu Hanim. Tawa yang sama persis seperti di mimpiku."

Ikhsan meletakkan cangkirnya. Ia memeluk Mulia dari belakang, mencium puncak kepalanya. "Bu Hanim sudah diamankan, Lia. Dia di rumah sakit jiwa. Dia tidak bisa menyentuh kita."

"Dia melarikan diri, Ikhsan," Mulia berbisik, suaranya nyaris hilang ditelan gemuruh petir. "Dia melarikan diri di dalam mimpiku. Dia melompat dari jendela, dan dia tertawa. Tawa yang brutal. Aku takut, Ikhsan. Aku takut dia akan datang hari ini."

****

Ikhsan menarik Mulia ke sofa, duduk di sampingnya. Ia memegang kedua tangan Mulia, memaksa Mulia menatap matanya.

"Dengar, Sayang. Itu hanya trauma. Kita sudah melalui banyak hal. Wajar kalau kamu merasa takut," kata Ikhsan dengan nada meyakinkan. "Tapi, kita punya keamanan terbaik di rumah ini. Mama sudah memperingatkan polisi. Mereka sudah tahu Bu Hanim adalah buronan."

"Tapi Bu Hanim tidak peduli pada polisi! Dia tidak peduli pada hukum!" Mulia menarik tangannya, amarah dan ketakutan memuncak. "Dia hanya peduli pada dendamnya! Dia hanya ingin melihat kita hancur! Dia bersumpah akan membunuhmu dengan cara sadis di hadapanku!"

Mulia bangkit, berjalan mondar-mandir di ruangan. "Aku benci rasa takut ini, Ikhsan! Aku benci dia yang masih bisa mengendalikan hidupku bahkan dari dalam rumah sakit jiwa!"

Tiba-tiba, kilat menyambar dengan sangat dahsyat. Cahaya putih itu menerangi ruangan selama sepersekian detik, dan di saat yang sama, listrik rumah padam total.

Kegelapan total menyelimuti rumah itu, diikuti oleh hening yang mencekam, hanya dipecah oleh deru angin dan gemuruh yang jauh.

Mulia menjerit kecil, segera berlari ke arah Ikhsan.

"Aku takut, Ikhsan! Aku takut!" Mulia memeluk Ikhsan erat-erat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!