Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Secubit Garam, Segudang Godaan
Saat mereka sedang asyik mengobrol, tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu rumah.
Tok… tok… tok…
Nayla spontan menoleh ke arah pintu dengan alis berkerut. “Eh, siapa tuh?” tanyanya pelan sambil menutup mulut dengan telapak tangan.
“Mana gue tau,” jawab Mita santai dari seberang telepon. Suaranya terdengar sambil ngemil sesuatu. “Coba aja liat. Jangan-jangan tetangga genit lo lagi.”
Nayla langsung mendelik ke arah HP, meski Mita jelas tidak bisa lihat. “Ih, jangan nakut-nakutin gue, Mit! Malem-malem gini lho…” Suaranya turun setengah berbisik. Jantungnya tiba-tiba berdebar nggak karuan, seolah mau meloncat keluar dari dadanya.
“Yaudah, udah dulu deh ya, Nay. Daripada lo panik nggak jelas. Ntar kabarin gue kalau udah tau siapa yang dateng.”
“Oke…” jawab Nayla agak ragu, matanya masih menatap pintu dengan waspada.
“Good luck!” goda Mita sambil tertawa cekikikan sebelum menutup telepon.
Tuut telepon terputus. Hening mendadak memenuhi kamar Nayla. Hanya suara detak jam dinding yang kini terdengar makin nyaring, seperti suara langkah kaki yang menghitung detik penuh ketegangan.
Nayla menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Ia menepuk-nepuk pipinya sebentar. “Tenang, Nayla. Tenang… paling juga cuma paket Shopee,” gumamnya mencoba menghibur diri sendiri. Tapi sayangnya, tidak ada notifikasi belanja di HP-nya.
Dengan gerakan cepat ia merapikan kaos lusuh yang tadi dipakai buat rebahan, mengelus rambutnya agar tidak terlalu berantakan. “Duh, kenapa jadi kayak mau ketemu dosen aja sih?” keluhnya gugup.
Tok… tok… tok…
Suara ketukan itu terdengar lagi. Kali ini lebih pelan, tapi berulang. Seolah si pengetuk tahu ia sedang menunggu jawaban, dan tidak berniat pergi sebelum pintu dibuka.
“Ya, ya, sebentar!” Nayla bersuara agak keras, meski hatinya penuh tanda tanya. Ia melangkah ke ruang tamu, sandal rumahnya berdecit mengikuti langkah tergesa. Lampu ruang tengah yang kuning temaram membuat bayangan tubuhnya jatuh panjang di lantai. Rasanya seperti sedang masuk ke dalam film horor.
Tangan Nayla berhenti di gagang pintu. Telapak tangannya dingin, bahkan sedikit berkeringat. Ia menelan ludah, matanya sesaat melirik ke kaca jendela di samping pintu. Tapi tirai tipis menghalangi pandangan, membuatnya tidak bisa mengintip siapa yang berdiri di luar.
“Ya ampun, semoga aja ini bukan… dia,” bisiknya cemas, teringat jelas senyum genit tetangganya siang tadi yang bikin bulu kuduknya merinding.
Dengan ragu, ia akhirnya memutar kenop pintu perlahan. Suara gesekan engsel yang berdecit menambah dramatis suasana.
Pintu pun terbuka, menyingkap siapa yang ada di balik sana.
Pintu pun terbuka, dan benar saja yang berdiri di sana adalah tetangga genitnya, Arga, dengan senyum manis khasnya yang menurut Nayla lebih mirip senyum penggoda daripada ramah. Rambutnya disisir rapi, pakai kaos polos hitam dan celana santai, tapi tetap saja aura “tetangga rese” itu terasa kuat.
Nayla langsung refleks menahan pintu dengan tubuhnya, setengah menutup jalan masuk. Matanya menyipit curiga.
“Om ngapain ketuk ketuk pintu saya malam-malam begini? Ada apa?” tanyanya ketus.
Arga terkekeh kecil, seolah tak terpengaruh nada sinis Nayla. “Santai, jangan tegang gitu dong. Saya cuma mau minta sesuatu.”
Alis Nayla langsung naik. Ia melipat tangan di dada sambil bergumam dalam hati. Duh, jangan-jangan dia beneran mau minta nyicipin masakan gue lagi.
Dengan cepat Nayla menggeleng, tangannya melambai di depan wajahnya. “Nggak ada! Masakan saya udah habis. Serius. Bahkan rice cooker aja udah kosong. Jadi jangan berharap ya, Om.”
Arga hanya tersenyum makin lebar, matanya menatap Nayla dengan cara yang bikin gadis itu salah tingkah. “Saya bukan mau minta masakan kamu,” ucapnya pelan, nadanya dibuat misterius.
Nayla menelan ludah, jantungnya langsung berdetak lebih kencang. Ya ampun, kalau bukan makanan, terus apaan? Jangan-jangan minta yang aneh-aneh lagi nih orang…
“Terus, Om mau apa?” tanya Nayla akhirnya, nadanya setengah waspada, setengah penasaran.
Arga bersandar santai di kusen pintu, tangannya masuk ke saku celana, masih dengan senyum menggoda. “Nanti kamu juga tahu. Tapi sebelumnya, boleh nggak saya masuk sebentar? Nggak enak ngomong di depan pintu, takut tetangga lain salah paham.”
Nayla langsung mendelik. “Justru saya yang takut salah paham, Om! Jam segini datang-datang ke rumah cewek sendirian, terus senyum-senyum kayak gitu. Siapa juga yang nggak curiga?”
Arga malah terkekeh, seperti sengaja menikmati reaksi Nayla yang gelagapan. “Ya ampun, kamu tuh lucu banget kalau panik gitu.”
Nayla merengut, tangannya masih erat di gagang pintu, jelas-jelas menolak memberi akses. “Om ngomong aja di sini. Kalau nggak penting, mending pulang. Saya mau tidur.”
Arga menatap Nayla beberapa detik tanpa berkata-kata, matanya dalam dan sedikit nakal. Lalu ia mendekatkan wajahnya ke celah pintu, membuat Nayla refleks mundur setengah langkah.
Arga mendekat sedikit, lalu akhirnya membuka mulut. “Saya cuma minta garam doang.”
Nayla langsung ternganga. “Garam?” suaranya naik satu oktaf, seperti nggak percaya sama yang baru ia dengar.
“Iya, garam,” jawab Arga santai sambil nyengir. “Saya lagi masak, terus baru sadar kalau di rumah nggak ada. Jadi ya, kepikiran minta ke tetangga terdekat.”
Nayla hampir nggak bisa menutup mulutnya. What?! Rumah sebesar itu, penuh furnitur mewah, tapi garam aja nggak punya? Dalam hatinya ia mencibir, Masa iya orang kaya bisa kehabisan garam? Kayak nggak masuk akal gitu, sumpah.
Ia menyipitkan mata, menatap Arga dari ujung rambut sampai ujung kaki, seolah mencari tanda-tanda kalau pria itu cuma ngarang alasan buat mampir. “Om yakin? Garam?” ulang Nayla, penuh kecurigaan.
Arga malah mengangguk mantap, tangannya disilangkan di dada. “Iya. Kamu ada kan garam?”
Nayla gelagapan sebentar, lalu menghela napas. “Ya ada sih… tapi masa iya, orang sekaya Om nggak punya garam di rumah? Itu kayak ya ampun kayak mobil sport nggak punya bensin.”
Arga terkekeh mendengar sindiran itu, matanya memancarkan rasa iseng. “Ya mungkin mobil sport emang nggak butuh bensin, tapi saya butuh garam.”
Nayla langsung menepuk jidat. “Astaga, Om… perumpamaan aja ditangkap beneran. Mana ada cerita orang lupa nyetok garam. Itu barang paling basic, halo?”
Arga mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya dibuat lebih rendah. “Justru karena basic makanya suka kelewat. Kalau nggak percaya, kamu boleh cek dapur saya. Tapi nanti kalau udah masuk, jangan betah ya.”
Mata Nayla melebar, wajahnya langsung memerah karena tanggapan itu. “Ih! Om, serius nggak usah pake gombal segala. Mau garam apa mau nyari gara-gara sih sebenernya?”
Arga hanya terkekeh lagi, santai banget seakan-akan sedang menonton drama lucu. “Jadi… saya boleh dapet secubit garam, atau harus puasa malam ini?”
Nayla mendengus, lalu berbalik menuju dapur sambil mengomel dalam hati. Astaga, tetangga model apa coba? Ngeselin tapi… ya gimana, nggak mungkin juga gue biarin dia kelaperan. Lagian, kalau beneran cuma garam, yaudah lah…
Sambil berjalan, Nayla masih ngomel setengah suara. “Orang kaya nggak punya garam, dunia emang udah aneh.”
Arga yang masih berdiri di pintu hanya tersenyum penuh kemenangan, jelas-jelas menikmati setiap reaksi Nayla.