Harusnya, dia menjadi kakak iparku. Tapi, malam itu aku merenggut kesuciannya dan aku tak dapat melakukan apapun selain setuju harus menikah dengannya.
Pernikahan kami terjadi karena kesalah fahaman, dan ujian yang datang bertubi-tubi membuat hubungan kami semakin renggang.
Ini lebih rumit dari apa yang kuperkirakan, namun kemudian Takdir memberiku satu benang yang aku berharap bisa menghubungkan ku dengannya!
Aku sudah mati sejak malam itu. Sejak, apa yang paling berharga dalam hidupku direnggut paksa oleh tunanganku sendiri.
Aku dinikahkan dengan bajingan itu, dibenci oleh keluargaku sendiri.
Dan tidak hanya itu, aku difitnah kemudian dikurung dalam penjara hingga tujuh tahun lamanya.
Didunia ini, tak satupun orang yang benar-benar ku benci, selain dia penyebab kesalahan malam itu.~ Anja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atuusalimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 4,part 3
"Rencananya hari ini kita mau keluar An, mau ngajak anak-anak main. Tapi mami nyuruh ajak kamu belanja kebutuhan. Gimana kalo misal kamu ikut kami aja,? pulang nya langsung belanja. Biar sekalian gitu, males mbak kalau harus keluar dua kali"
"Cuman belanja kok, lain kali juga bisa, mbak!"
"Sama mami juga boleh, cuman ya itu... Maminya gak bisa jalan lama-lama, rematiknya suka kambuh!"tawar Bu Niar sambil meletakan beberapa tangkai mawar putih pada pot yang sudah diisi air bersih diatas meja. Aromanya yang khas, menguar lembut sedikit merilekskan pada pikirannya yang sempat kacau. Reka berusaha menguasai kondisinya,hatinya merasa was-was takut kalau-kalau seseorang dapat mendengar detak jantungnya yang berisik. Tangannya yang sedikit gemetar berusaha fokus dengan aktivitasnya saat ini.
"tar aja sih mam, gak apa-apa. Lagian sekarang aku juga masih males keluar,"
"Bukannya kamu bilang banyak kebutuhan yang harus kamu beli ya,? sebenarnya, mami juga mau ajak kamu ke acara arisan keluarga, sekalian ngenalin kamu sama mereka!"
"Nggak deh, apalagi ini. Aku benar-benar belum siap ketemu orang luar. Apa yang mereka pikirkan tentangku, nanti?, Aku benar-benar belum siap!"
"Papi sudah mengatakan semua baik-baik saja, jadi perhatikan dirimu saja. jangan memikirkan yang lain, apalagi sampai menganggap dirimu rendah atas kesalahan yang tidak kamu lakukan. Kamu tau, tokoh-tokoh besar negara kita maupun dunia, mereka bahkan dihukum karena telah berbuat baik!"
Reka mencuri pandang pada wajah istrinya yang berubah sendu. Dengan Anja tak menutup diri saja itu merupakan hal yang paling ia syukuri.
Ia pikir, tujuh tahun akan mengubah segalanya, akan tetapi saat kini ia menyaksikan bagaimana cara Anja berinteraksi, itu membuktikan bahwa wanita itu telah melewati semua yang terjadi dengan sangat baik.
Reka kembali mengalihkan pandanganya pada rambut putrinya. Tadi, Kezia tak mau diam sama sekali. Namun, setelah kedatangan Anja tadi, gadis itu nampak patuh, matanya tak lepas memperhatikan ibunya, seolah objek yang dipandangnya itu sesuatu yang menyenangkan.
"Poninya mau dikasih jepitan atau enggak?"
"Gimana kalau menurut papa?"
"Gak usah ya, begini aja udah cantik,kok!"ucapnya sambil mengencangkan pita merah muda pada ujung kepangan rambut putrinya.
Semua mata kini beralih kepadanya, hanya Anja yang mungkin tak sudi. Wanita itu sedari datang bertingkah seolah tak melihat keberadaan mereka sama sekali.
"Aku disuru turun tadi buat makan kan,? aku lapar!"Rajuk Anja kembali menarik perhatian, semua orang tampak mengulum senyum melihat tingkahnya. Benar-benar seperti putri bungsu dikeluarga ini.
"Semalam suru mami makan malah gak mau, ayo cepetan... Mami sengaja masak banyak pagi ini buat kamu,"
"Aku mau biji Ketapang, udah lama banget mami gak pernah bawa,"
"Iya,iya... Besok deh mami bikinin!"
Sejurus kemudian, mereka nampak beriringan pergi menuju ruang makan. Ada rasa sesak, ketika dirinya melihat mata Kezia yang memperhatikan tubuh Anja dengan tatapan penuh harap.
Gadis kecil itu benar-benar polos, kemauannya sederhana. Seharusnya, disapa saja itu akan membuatnya sangat senang.
Hanya saja Reka tak pernah berani meminta lebih. Dengan melihat Anja baik-baik saja kini pun itu sudah lebih dari apa yang ia harapkan. Do'a nya dulu sangat sederhana, hanya meminta Anja dapat menjalani kehidupan dengan baik.
"Lail udah bangun kan, mbak?"
Hanya dirinya, Kezia dan Erna yang tertinggal diruang keluarga itu sekarang.
"Dia kebiasaan kalau libur bangunnya siang. Harusnya sekarang sudah mandi, Kezia... Sana, jemput kak Lail suru sarapan bareng!"
"Zia boleh makan lagi, pa?"alih-alih pergi, mata bening gadis itu tertuju kearahnya. Ada binar pengharapan besar pada tatapannya kini,
"Bukanya tadi sudah kenyang ya,?" mata Kezia berkaca-kaca, seolah kata-kata itu baru saja menghancurkan harapannya.
Ia mengedip cepat berusaha menahan air mata, dadanya penuh rasa sesak, kemudian memaksakan diri untuk bisa tersenyum.
"Memang masih muat perutnya,? Maksud papa, kalau misal Zia mau, Zia boleh temenin papa sarapan bareng!"
"Tapi Zia mau makan bareng sama mama, " bisiknya,
Reka menganggukkan kepalanya seraya tersenyum semu " tentu saja, apapun maumu!"
"Sungguh?"serunya penuh semangat, secepat kedipan mata gadis kecil itu sudah turun dipangkuan papanya.
"Tentu. Ayo Sana jemput dulu kak Lail nya, perut papa udah laper ini!"
"tampaknya, dia baik-baik saja mbak? Setelah mengalami hari-hari berat, kupikir dia akan terpuruk dengan kondisi paling buruk, tapi tadi kulihat bahkan dia lebih bisa menguasai kondisinya dibanding aku sendiri," Ucap Reka pada Erna yang bersiap bangkit tanpa mengalihkan pandangannya pada sosok mungil yang kini telah berlari menjauh.
"berarti bimbingan psikolog yang kamu datangkan kepadanya selama tujuh tahun ini tak sia-sia. Mbak pernah berkunjung beberapa kali, ternyata disana tidak seperti apa yang mbak bayangkan. Dia bisa menjalani kehidupan seperti orang luar pada umumnya, beraktivitas layaknya orang biasa, berinteraksi dengan orang lain, termasuk memakan sesuatu apa yang dia mau selama itu tersedia disana!" mata Reka beralih pada sang kakak yang mengurungkan niatnya untuk pergi. Wanita itu dengan sengaja memilih duduk kembali.
"Lagipula kamu lupa ya, mami sama papi kan sering berkunjung, wajarlah jika mereka kelihatan sangat dekat sekarang,!"
"Aku selalu berpikir sesuatu hal buruk terjadi padanya,"
"Pas awal-awal harusnya memang seperti itu, Anja beruntung punya kamu yang bisa menghidupinya disana. Sama saja, kenyamanan disana juga bergantung pada seberapa mereka memiliki uang.
Ayo ah, mami udah manggil noh!" Ucapnya kemudian begitu suara maminya memanggil dengan tidak sabar.
"Kamu, gimana mau memmbangun hubungan kalau terus menghindar seperti ini?
Ayo, bareng mbak cepetan!"
Ia terdiam, bukan mau menghindar, akan tetapi... dia takut jika ia datang, gadis itu tambah membencinya.
semangat kak author 😍