Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.
Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.
Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut
Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan
Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ITUU....SALAM
Ethan bersandar ke meja kayu, telapak tangannya menekan permukaan penuh coretan tinta. Wajahnya serius, matanya menatap Bu Redfield tanpa berkedip. “Kalau begitu,” katanya dengan suara yang dipaksakan tenang, “kau bisa mengajari Lisa mengendalikan kekuatannya. Kau tahu caranya, kan? Jangan bilang selama ini kau hanya duduk di sini, mengawasi kota, tanpa pernah benar-benar mencoba menghentikannya. Kau sendiri… apa kau pernah jadi custodian juga?”
Bu Redfield tidak langsung menjawab. Hening panjang menggantung di ruangan, hanya suara kayu tua yang berderit perlahan. Wanita itu menatap Ethan lama, matanya menyipit, seolah menimbang apakah pemuda di hadapannya pantas diberi jawaban.
Lalu ia tertawa. Tawa pendek, kering, tanpa sedikit pun kehangatan. Suaranya serak, bergema seperti kayu lapuk yang patah. Sara refleks memeluk dirinya sendiri, merinding mendengar suara itu.
“Aku?” Bu Redfield akhirnya bicara. “Aku bukan custodian. Kalau aku pernah, aku tidak akan masih berdiri di sini berbicara dengan kalian.”
Ia mencondongkan tubuh ke depan, cahaya lilin menyorot wajah keriputnya yang tampak seperti topeng. “Penjaga tabir tidak hidup lama. Mereka dibakar dari dalam. Tubuh mereka menjadi bara, jiwanya menjadi pintu. Mereka bertahan hanya selama tabir mengizinkan, lalu… habis.”
Lisa menutup wajah dengan kedua tangan. Panas dari simbol di telapak tangannya semakin kuat, menjalar ke lengan, membuat kulitnya terasa seperti terbakar dari dalam.
Perutnya mual, dadanya sesak, seakan udara di ruangan tiba-tiba hilang. “Aku… aku nggak bisa. Aku nggak mau jadi bagian dari ini…” suaranya pecah, hampir menangis.
Sara buru-buru melangkah mendekat. Ia berlutut di samping kursi Lisa, kedua tangannya menangkup bahu sahabatnya erat-erat. “Lis, dengar aku. Kita nggak harus melakukan ini. Kita bisa pergi. Kita bisa cari orang lain—siapa pun—yang bisa menolong. Kamu nggak sendirian.”
Lisa menurunkan tangannya perlahan, matanya basah. “Tapi kalau Bu Redfield benar… kalau mereka sudah tahu aku…”
Bu Redfield mengangkat satu tangannya, kukunya yang panjang dan kusam mengetuk permukaan meja kayu. Tok. Tok. Tok. Suara itu terdengar seperti palu kecil yang menghantam, menguasai ruangan.
“Kalian tidak mengerti,” katanya datar, suaranya menusuk seperti besi dingin. “Bayangan yang datang malam ini… itu hanya salam. Mereka datang untuk mencium bau darah baru, untuk mengenali siapa yang dipilih. Dan sekarang mereka sudah tahu.”
Sara menggigil, menoleh ke arah pintu seakan ingin melarikan diri saat itu juga. “Salam?! Itu hampir membunuhnya!”
Bu Redfield mengabaikannya, menatap Lisa lurus. “Lari sejauh apa pun, mereka akan tetap menemukanmu. Kau bisa bersembunyi di balik tembok beton, menyalakan seribu lampu, atau melarikan diri ke kota lain.
Bayangan tidak peduli. Mereka tidak akan berhenti sebelum kau menyerah.”
Lisa menoleh cepat, matanya penuh ketakutan. Air mata mengalir pelan di pipinya. “Kenapa aku? Kenapa bukan orang lain? Ada ratusan orang di Eldridge. Kenapa aku yang harus menanggung ini?”
Bu Redfield menghela napas panjang, lalu mengangkat bahu kurusnya. Gerakannya lambat, seperti beban berabad-abad ikut terangkat bersamanya. “Kenapa api memilih kayu kering, bukan batu? Karena hanya kayu yang bisa terbakar. Batu mungkin kuat, tapi tidak menyala. Kau, Lisa Hartman… kau menyala, dan tabir mengenali itu.”
Kalimat itu jatuh seperti vonis. Sara menutup mulut dengan tangannya, wajahnya pucat pasi. Ethan menunduk, jari-jarinya mengetuk-ngetuk buku catatannya dengan gelisah, matanya penuh campuran rasa takut dan obsesi.
Lisa sendiri membeku. Kata-kata Bu Redfield terus terngiang, membuat simbol di tangannya berdenyut lebih keras, seolah membenarkan ucapan itu. Ia bukan sekadar orang yang dipilih. Ia adalah bahan bakar.