NovelToon NovelToon
Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Antara Kau, Dia Dan Kenangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Bad Boy / Trauma masa lalu / Barat / Mantan
Popularitas:602
Nilai: 5
Nama Author: Yellow Sunshine

Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Bawah Cahaya Temaram

Jam di ponselku baru menunjukkan pukul lima sore, ketika sebuah notifikasi pesan dari Nick masuk—membuat jantungku rasanya ingin melompat dari tempatnya.

'Aku akan menjemputmu pukul tujuh.'

Aku mematung. Pesan itu singkat, tapi mampu membuat pikiranku berputar lebih cepat daripada detak jam di dinding kamar asrama. Rasanya seperti akan membuka sebuah kotak kado—menanti hadiah apa yanh akan diperoleh. Gugup, senang dan tidak sabar.

"Wajahmu... kenapa merah begitu, Nora?", tanya Sarah yang sedang duduk di atas ranjang milik Nina—setengah tertawa.

Aku hanya mengangkat bahu, menyembunyikan senyumku di balik bantal. Sementara Nina, yang sedang asyik mengoles lip balm di depan cermin, langsung menoleh ke arahku.

"Itu pasti pesan dari Nick.", tuduh Nina, tepat sasaran.

"Jangan-jangan Nick mengajakmu kencan?", tebak Sarah, membuka mulutnya dan membelalakkan mata.

Aku hanya diam, sambil tersenyum menatap Sarah. Membuat Sarah tampak sedikit kesal karena aku menyembunyikan sesuatu darinya.

Aku pun sontak tertawa melihatnya mengerucutkan bibir, tampak kesal. "Haha. Baiklah. Aku akan mengatakannya. Jadi...", aku menjeda ucapanku. Sementara Sarah dan Nina tampak menatapku, menungguku menyelesaikan kalimatku. "Malam ini Nick mengajakku bertemu. Kami tidak pergi berkencan. Mungkin belum. Tapi, malam ini ia akan jujur tentang perasaannya."

"Ya Tuhan, Nora!", pekik Nina. "Sudah jelas. Nick pasti akan mengutarakan perasaannya padamu. Dan kalian akan berpacaran.", lanjutnya, sambil tersenyum senang.

"Hmm, sudah ku bilang, Nina. Mereka berdua pasti akan berakhir menjadi pasangan.", sahut Sarah.

"Aku juga sudah menduganya sejak pertama kali mereka bertemu. Oh, maaf, sepertinya itu yang kedua. Sebab, yang pertama... dipertemukan oleh takdir.", kata Nina, tersenyum padaku.

"Benarkah?"

"Ya. Bahkan aku tidak menyangka kalau mereka sudah pernah bertemu sebelumnya."

"Wah. Kisah cinta yang sangat indah.", komentar Sarah, yang memang belum pernah mendengar cerita tentang bagaimana aku dan Nick pertama kali bertemu.

"Kalau begitu, kurasa kamu harus segera bersiap-siap, Nora!", sahut Nina, sambil menyeretku dari kasur. "Yang perlu kamu lakukan sekarang hanya mandi. Setelahnya...serahkan padaku. Aku akan membuat Nick tidak bisa menolak pesonamu.", lanjutnya.

Sarahpun tersenyum, seakan mengerti akan apa yang ada di dalam benak Nina. Ia bangkit dari ranjang Nina, berjalan menuju lemari dan membukanya. "Biarkan aku ikut membantu!", katanya—mengeluarkan beberapa pakaianku dari dalam lemari.

Aku merasa seperti sebuah boneka yang sedang dipersiapkan untuk malam paling penting dalam hidupnya. Tapi entah kenapa, aku hanya membiarkannya. Mungkin karena aku ingin—tampil sebaik mungkin malam ini... untuk Nick.

Setelah menyelesaikan kegiatan mandiku, Nina memberiku crop top berwarna krem dan celana jeans high-waist yang memeluk tubuhku dengan pas, lalu menambahkan jaket denim oversized sebagai pemanis.

"Manis, tapi seksi. Aku yakin Nick pasti tidak akan mampu mengalihkan pandangan dan pikirannya darimu malam ini.", ujar Nina, sambil mengedipkan mata.

Sekarang giliran sarah. Tangan-tangan mungilnya tampak sibuk menata rambut panjangku. Ia menyisir rambutku, lalu mengikat sebagian ke atas—sebagian yang lainnya dibiarkan tergerai ke bawah. Half-up ponytail katanya. Kemudian, ia mengambil sebuah curling iron—membuat gelombang-gelombang yang indah pada rambutku. Setelah itu, Sarah dan Nina bersama-sama membantuku merias wajah.

"Sempurna!", seru Sarah, begitu ia selesai menata rambutku.

Aku menatap bayanganku di cermin. Cantik dan juga... seksi. Persis seperti apa yang Nina inginkan. Lalu aku menatap mataku—tampak berbeda malam ini. Aku seperti melihat sebuah... ekspektasi, mungkin. Atau harapan yang berani menyala.

Tepat pukul tujuh, suara dering ponselku terdengar. Ada sebuah panggilan masuk, dan itu dari Nick.

"Hai, Nora!", sapanya hangat.

"Hai, Nick!", balasku, sedikit gugup.

"Aku sudah ada di depan asrama. Apakah kita bisa pergi sekarang?", tanyanya. Semakin membuat jantungku berdegup kencang.

"Ehm, ya. Aku akan segera turun."

"Baiklah.", ucap Nick, mengakhiri panggilan teleponnya.

Aku mematikan layar ponselku, lalu menatap Nina dan Sarah yang tengah menatapku, sambil tersenyum lebar. Jelas mereka mengharapkan sebuah kabar baik dari pertemuanku dengan Nick malam ini. Sejujurnya, aku pun begitu.

"Tunggu apalagi, Nora? Pangeranmu sudah menunggu di bawah.", kata Sarah.

Nina menatapku hangat dengan senyuman yang begitu menenangkan. "Jangan mengkhawatirkan apapun, Nora! Aku yakin malam ini akan berakhir indah."

Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan—mencoba mengatur nafasku sebelum benar-benar pergi menemui Nick di bawah. "Baiklah. Trims, Nina, Sarah. Aku pergi dulu.", ucapku, lalu beranjak pergi.

Lalu ku lihat sosok Nick tengah berdiri disana, tepat di samping mobilnya. Ia mengenakan sebuah hoodie berwarna hitam dan celana jeans—rambut cokelatnya tampak rapi, menawan seperti biasa. Tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya malam ini, yang membuat lututku goyah. Dia menatapku lama, seolah sedang menyimpan momen ini di kepalanya.

"Hai!", sapanya, begitu aku tiba di hadapannya.

"Hai, Nick!", balasku.

"Sudah siap?"

Aku mengangguk. "Ya", jawabku singkat.

Kami berjalan—masuk ke dalam mobilnya, tanpa banyak bicara. Akan tetapi, diam itu tidak canggung—justru menenangkan. Seperti sebuah percakapan tanpa kata, yang hanya dimengerti oleh dua orang yang tahu kemana arah hati mereka.

Sekitar lima belas menit berkendara, Nick berhenti di sebuah area terbuka dekat danau, yang dikelilingi pepohonan rimbun. Ada lampu-lampu kecil yang digantung di antara dahan, seperti kunang-kunang buatan yang menambah keindahan malam. Lalu, di tepi danau sana, dua kursi lipat dengan dua selimut di atasnya tampak siap. Aku tidak menyangka, Nick sudah mempersiapkan semuanya.

"Indah sekali!", gumamku, begitu kami mendekat ke tempat yang sudah disiapkan oleh Nick itu.

"Kamu menyukainya?", tanya Nick, tersenyum simpul.

"Sangat.", jawabku singkat, sambil menatap lampu-lampu yang berpendar lembut di atas kepala kami.

Nick mengeluarkan kotak pizza dan dua botol bir dari pendingin kecil di mobilnya. Kami duduk berdampingan di atas kursi lipat, di tepi danau. Ditemani pantulan cahaya bulan dan suara air yang tenang.

"Bagaimana kamu menemukan tempat seindah ini?", tanyaku, menyapukan pandanganku ke sekitar danau yang memiliki pemandangan yang begitu indah.

"Ini adalah tempat favoritku, sejak tahun pertama kuliah. Tempat untuk merenung, mencari ketenangan... dan sekarang juga akan menjadi tempat untuk jujur tentang perasaanku.", jawab Nick.

Aku menoleh, menatap wajahnya yang diterangi cahaya remang lampu. Jantungku berdebar, dan tanganku yang menggenggam botol bir terasa sedikit berkeringat.

"Nora, sejujurnya sejak aku bertemu denganmu, aku sudah merasakan sesuatu padamu. Bahkan sejak pertemuan pertama kita yang tidak disengaja di pantai itu. Rasanya aku sudah jatuh hati, pada pandangan pertama. Dan, ternyata takdir kembali mempertemukan kita, di pesta itu. Seiring berjalannya waktu, perasaanku padamu semakin bertumbuh... rasanya semakin nyata. Tapi, setiap kali aku ingin mengutarakannya, aku selalu merasa khawatir... takut. Sebab, kamu terlalu sempurna untukku, Nora. Aku dan kehidupanku yang kacau, rasanya seperti tak pantas untuk mencintaimu. Itulah kenapa aku sempat menjaga jarak darimu. Bukan karena ingin menghindar, ataupun berniat menghilang. Aku hanya ingin menyembunyikan perasaanku yang semakin jelas terasa. Tapi, kemarin kamu mampu meyakinkanku, dan entah kenapa aku jadi merasa sedikit pantas untukmu...setidaknya aku akan berusaha keras untuk itu. Jadi, malam ini aku akan jujur tentang perasaanku.", jelas Nick, lalu meraih satu tanganku yang bebas, menggenggamnya. "Nora, aku mencintaimu.", katanya, menatapku dalam-dalam.

Aku menelan ludah. Suranya terdengar parau, namun hangat. Suasana di sekitar kami menjadi begitu hening, setelah itu. Hanya ada desir angin, dan detak jantungku yang terdengar tidak beraturan.

"Nora!", seru Nick, masih menatapku yang sedang terdiam—sibuk menata kata-kata di dalam kepalaku.

Lalu, aku mencoba untuk lebih memberanikan diri. Aku menatap mata itu—mata cokelat indah milik Nick yang selalu membuatku gugup—seorang pria populer di kampus, yang kemudian berubah menjadi teman, dan kini menjadi seseorang yang keberadaannya mengisi celah-celah yang kosong dalam hidupku.

"Nick!", seruku, setengah berbisik. "Sejujurnya, aku pun merasakan sesuatu sejak pertemuan pertama kita di pantai itu. Tapi, selama ini aku tidak memiliki keberanian untuk merasakannya tumbuh. Karena, aku memiliki kenangan yang sangat buruk tentang mencintai seseorang. Namun, perlahan-lahan aku mencoba untuk merasakannya. Dan, sekarang aku semakin yakin, kalau aku juga memiliki perasaan yang sama denganmu...", aku menjeda ucapanku, "aku juga mencintaimu, Nick.", lanjutku.

Ekspresi Nick yang tadinya tegang, seketika berubah—seperti lega, bahagia, atau seperti seseorang yang akhirnya tiba setelah perjalanan panjang. Ia tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya, perlahan. Seakan memberi waktu jika aku ingin menolak. Tapi, yang kulakukan justru diam, pasrah, bahkan memejamkan mata.

Ciuman itu datang—lembut, hangat, tidak terburu-buru. Seperti memastikan setiap rasa terucap dengan jujur, tanpa perlu satu kata pun. Jantungku berdegup kencang—bukan karena gugup. Melainkan, karena aku tahu bahwa kini aku berada di tempat yang benar...dengan orang yang tepat.

Saat kami saling melepaskan diri, kami saling menatap, lalu tersenyum, tanpa sanggup berkata-kata lagi. Hati kami penuh—dengan perasaan bahagia dan cinta yang sedang mekar-mekarnya.

Aku menatap wajah langit dengan bulan yang seolah sedang tersenyum kepadaku. Juga, kelap-kelip cahaya bintang yang tampak begitu indah dan meriah. Dan, lampu-lampu di atas kami bergoyang pelan tertiup angin, seolah ikut merayakan apa yang baru saja kami mulai malam ini.

Malam ini, aku sangat bahagia. Akhirnya, setelah sekian lama menutup hati, kini aku mampu merasakan kembali indahnya jatuh cinta dan dicintai. Untuk pertama kalinya, aku mampu melenyapkan bayang-bayang kenangan masa lalu yang selama ini mengikutiku. Bersama Nick, aku mengharapkan sebuah awal yang indah untuk sebuah hubungan yang saling memberi kebahagiaan—bukan yang saling menyakiti dan memberi luka.

1
Yellow Sunshine
Halo, Readers? Siapa disini yang kesel sama Alice? Angkat tangan 🙋‍♂️🙋‍♀️. Author juga kesel nih sama Alice. Kira-kira rencana Alice untuk menggoda dan mengejar Nick akan berlanjut atau berhenti sampai sini ya? Coba tebak 😄
Arass
Lanjutt thorr🤩
Yellow Sunshine: Siap. Semangat 💪🫶
total 1 replies
Yellow Sunshine
Hai, Readers? Siapa nih yang nggak sabar liat Nora sama Nick jadian? Kira-kira mereka jadian di bab berapa ya?
Aimé Lihuen Moreno
Wih, seruu banget nih ceritanya! Jangan lupa update ya thor!
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. Author jadi makin semangat nih buat update 😍
total 1 replies
Melanie
Yowes, gak usah ragu untuk baca cerita ini guys, janji deh mantap. 😍
Yellow Sunshine: Thanks, Reader. It means a lot 😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!