Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Teman
Keesokan harinya, Kirana bangun terlambat. Ia melihat matahari sudah tinggi. Pukul 09.45
Kirana bangun. Ia membuka kursi rodanya. Pagi ini, Kirana merasa tubuhnya sangat lemas hingga tidak kuat berjalan. Ia menuju halaman belakang. Kirana merasa perlu menghirup udara segar.
Di sana, bu Wulan sedang menjemur pakaian.
"Sudah bangun, Mba?"
"Mas Barra sudah berangkat, Bu?"
"Iya, pagi-pagi sekali. Mas Barra pesan Mba Kirana jangan dibangunkan. Dibiarin istirahat,"
"Sebentar, saya siapkan sarapan. Mba Kirana harus minum obat. Ini sudah terlambat."
Kirana menggeser kursi rodanya ke arah taman bunga. Ia memetik satu bunga. Mencium harumnya dalam-dalam lalu menyelipkannya di telinga.
Kirana memejamkan mata merasakan hangat sinar matahari menerpa wajah dan tubuhnya. Kirana mengatur nafas, menarik dan menghembuskan perlahan.
Kirana merasakan tubuhnya lebih tenang. Apapun yang terjadi semalam, ia akan menyimpannya dahulu. Kirana akan berbicara pada Barra setelah situasinya lebih tenang.
Kirana membuka mata. Ia terlonjak. "M-mas B-bara?" Barra sedang berjongkok di depannya.
"Kenapa Mas ada di sini? Bikin kaget saja," Bibir Kirana mengerucut.
Udah kayak hantu aja. Untung aku gak jantungan, omel Kirana dalam hati. Ia kesal pada Barra mendadak muncul tanpa aba-aba di depan wajahnya.
Barra tertawa geli melihat reaksi Kirana.
Kirana mencubit tangan Barra. "Ihhh, malah ketawa. Aku kaget banget, Mas. Untung aja gak kena serangan jantung," rajuk Kirana.
Barra masih terkekeh. "Maaf... "
Barra mengelus kepala dan rambut panjang Kirana. Lalu, berhenti pada bunga di telinganya. "Cantik...," bisiknya.
Pipi Kirana memerah.
"Bunganya yang cantik," goda Barra.
"Iiih...," cubitan Kirana sekarang mengarah pada pinggang Barra.
Tawa Barra semakin keras, begitu pun Kirana. Keduanya tampak tertawa lepas, melupakan peristiwa semalam.
Bu Wulan yang sedang sibuk di dapur mendengar tawa kedua majikannya. Bibirnya tersenyum. Ia menghapus air matanya. Mencegahnya turun ke pipi.
"Sudah sarapan?" tanya Barra. Ia memegangi kedua tangan Kirana, menghentikan cubitannya.
"Belum. Aku baru bangun."
Barra menggendong Kirana. Membawanya ke meja makan. "Makan dulu."
"Mas gak ke kantor?"
Barra menggeleng. "Hari ini aku ingin mengajakmu jalan-jalan."
"Yang benar, Mas?" tanya Kirana antusias.
"Kamu mau ke mana?"
"Aku ingin nonton film di bioskop. Sudah lama gak ke bioskop."
"Lalu?"
"Hmm... Ke mana lagi ya? Ke toko buku aja. Aku ingin membeli peralatan lukis. Canvas, cat minyak, kuas. Boleh?"
"Boleh," senyum Barra.
**********
Memasuki pusat perbelanjaan terbesar di kota, Kirana tidak berhenti tersenyum. Hatinya sangat senang bisa keluar jalan-jalan bersama Barra.
Mereka menaiki lift menuju lantai di mana bioskop berada.
"Filmnya horor semua? Mau?" tanya Barra memandangi poster film yang sedang tayang.
Sebetulnya, Kirana tidak terlalu suka nonton film bergenre horor. Ia penakut. Tapi, daripada batal, "Iya, mau!" jawab Kirana yakin.
Mereka memilih satu film. Barra mendorong kursi roda Kirana memasuki studio. Karena hari kerja, tidak banyak pengunjung di dalam.
Barra memilih kursi di posisi tengah.
"Kita duduk di tengah, Mas. Gimana caranya aku---"
Barra menggendong Kirana. "Begini caranya," bisiknya di telinga Kirana.
Bulu kuduk Kirana meremang merasakan hembusan nafas Barra di telinganya.
Pengunjung yang tidak seberapa itu memperhatikan mereka berdua. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik. Kirana malu dibuatnya. Ia menyembunyikan wajah di leher Barra.
Sepanjang film berlangsung, Kirana tidak betul-betul menatap layar. Ia lebih banyak bersembunyi di dada Barra. Dengan hangat, Barra membiarkan dadanya dijadikan tempat persembunyian Kirana. Tangannya melingkari bahu Kirana. Memeluknya lembut.
"Sudah selesai, Kira," Barra menundukkan wajahnya ke arah Kirana.
"Yang betul, Mas?!" Kirana mengangkat kepalanya.
Cup.
Tidak sengaja mulut Barra mengenai hidung Kirana. Mengecupnya.
Jantung Kirana spontan berdetak lebih kencang. Barra juga mengalami hal yang sama. Kirana bisa merasakan denyut jantung Barra yang cepat di telapak tangannya.
Pandangan mereka terkunci. Tangan Barra naik merapikan rambut Kirana, mengelus mata, pipi, hidung, dan... bibir Kirana. Barra semakin menundukkan wajahnya. Targetnya sudah jelas. Bibir istrinya.
Jantung Kirana seakan ingin melompat. Ia memejamkan mata. Menunggu bibir Barra menyentuh bibirnya. Lalu...
Lampu studio menyala.
Kirana membuka matanya. Melihat Barra. Keduanya tertawa bersama.
Setelah menonton film, Barra dan Kirana melanjutkan rencana membeli peralatan lukis. Dengan sabar, Barra mendorong kursi roda, menemani Kirana yang asyik memilih dan memilah alat lukis yang dibutuhkannya.
"Tunggu di sini. Aku bayar dulu."
Kirana menunggu sambil melihat buku top seller di rak. Saat seorang wanita menghampiri dan memegang bahunya.
"Kirana? Loe Kirana 'Kan? Gue Sisi." Rambut dan kuku wanita itu dicat merah menyala. Dia menggunakan dress di atas lutut dan celana pendek.
Kirana mengerutkan dahi. Ia tidak familiar dengan wanita ini. Siapa tadi namanya? Sisi?
"Loe ke mana saja? Kenapa gak pernah datang ke club lagi? Yang lain nanyain. Mereka kangen sama ATM berjalan. Hahaha," Sisi tertawa keras.
Beberapa orang lewat menoleh pada mereka.
"Eh, Loe ngapain di sini? Kok, pakai kursi roda, lagi sakit?" seloroh Sisi.
"Iya, sedang kurang sehat," jawab Kirana asal.
Kirana mencoba mengingat wanita di depannya itu. Tak ada bayangan apapun. Tapi, dia mengenalku. Apakah, dia temanku?
"Ooh. Lekas sehat ya. Pantesan jarang kelihatan. Nanti gue kabarin yang lain kalau loe lagi sakit."
Sisi mengambil foto Kirana.
"Na, Alex kabarnya gimana?" ucap sisi sambil mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.
Alex? siapa lagi Alex? Tunggu! Nama itu...
"Kirana!" suara rendah memanggil namanya dengan tegas.
Barra.
"Eh, Loe suaminya Kirana ya? Kenalin gue Sisi, teman Kirana," mengulurkan tangan pada Barra.
"Ayo! Kita pulang!" Barra mendorong kursi roda keluar dari toko buku.
Kirana bingung. Kenapa Barra mengacuhkan Sisi. Jelas-jelas dia mengenal Kirana.
"Eh, Mas!" protes Kirana lemah. Badannya berbalik melihat Sisi.
Sisi melambaikan tangan padanya sambil tersenyum lebar, tangannya memberikan kode agar Kirana menghubunginya.
"Mas...," panggil Kirana. Dorongan kursinya terasa lebih cepat.
"Mas Barra," panggil Kirana lagi.
Barra tidak merespon.
"Mas, aku lapar! Ingin makan!"
Kursi Kirana berhenti sesaat, kemudian menaiki lift dan masuk ke sebuah restoran jepang.
"Mas... Wanita tadi..." Kirana penasaran setelah mereka duduk menunggu makanan datang.
"Aku tidak mengenalnya," Barra memainkan ponselnya tidak mau melihat Kirana.
"Tapi, dia mengenalku Mas. Sepertinya dia temanku. Kenapa tadi Mas Barra tidak membiarkanku bicara dengan dia?"
"Aku bilang, aku tidak mengenalnya! Sudah, tidak usah dibicarakan lagi!" Barra menekankan perkataannya
"Mas, dia itu temanku, yang mengetahui hidupku sebelum kecelakaan. Kenapa aku tidak boleh membicarakannya?!" suara Kirana meninggi.
Seperti semalam, lagi-lagi Barra tidak mengijinkan Kirana mengorek masa lalunya.
"Stop Kirana!" tegas Barra. "Kita di sini untuk makan."
Kirana terdiam. Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Hujan mulai turun.
Mereka melahap makanan masing-masing. Tanpa ada obrolan.
"Kira... " panggil Barra lembut.
Kirana menoleh. Jempol Barra mengusap lembut bibir Kirana. "Ada sisa nasi." Ia lalu memakan sisa nasi itu. Mata Kirana membesar.
"Kirana," Barra mengambil tangan Kirana untuk digenggamnya. "Masih marah karena yang tadi?"
"Kenapa aku gak boleh tahu, Mas?" tanya Kirana. Matanya Berkaca-kaca.
"Kalaupun aku kasih tahu lalu kamu mau apa?" Barra balik bertanya.
"Tidak mau apa-apa, Mas. Aku hanya ingin tahu saja. Aku hanya ingin tahu siapa diriku selama 10 tahun ini," cicit Kirana.
"Aku tidak mau kamu berusaha mengingat. Tidak jika dirimu yang jadi taruhannya."
"Mas Barra tidak mau ingatanku kembali?
"Tidak! Lebih baik seperti ini!" tegas Barra tiba-tiba dengan suara sedingin es.
Brugh!
Barra menutup pintu mobil dengan kencang, membuat Kirana terlonjak. Ia lalu berputar masuk ke pintu sisi kanan mobil.
"Pasang sabuk pengamannya!" perintah Barra.
Hujan yang deras membuat jalanan macet. Banjir terlihat menggenangi beberapa bagian jalan.
"Pakai jaket! Udara dingin, " Barra memberikan jaketnya kepada Kirana. Kirana menurut tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Suasana yang tadi pagi hangat seperti sinar mentari pagi, berubah dingin dan kelabu seperti cuaca di luar.