Arshaka Sadewa dan Aksara Sagara adalah Bopo Kembar Desa Banyu Alas. Putra dari Bopo sebelumnya, yaitu Abimanyu.
Keberadaan Bopo Kembar, tentu menghadirkan warna tersendiri untuk Desa Banyu Alas. Dua pria yang mewarisi sifat Romo dan Ibunnya, membuat warga desa sangat menyayangi dan menghormati keduanya.
Bagaimanakah kehidupan Bopo Kembar ini?
Apakah mereka benar - benar bisa di andalkan untuk menjaga Desa Banyu Alas?
Jangan lupa untuk membaca Novel Cinta Ugal - Ugalan Mas Kades terlebih dahulu, agar bisa memahami jalan ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fernanda Syafira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Pemakaman
Arsha masih terdiam di atas sajadahnya setelah melaksanakan sholat subuh. Kali ini, Arsha memilih sholat subuh di kamarnya. Ia masih saja merasa bersalah dengan kejadian yang baru ia alami tadi.
Sedari tadi, Runi pun sudah menenangkannya, namun tetap tak membuatnya tenang hingga ia tak bisa tidur. Arsha kemudian meraih ponselnya dan mendial sebuah nomor. Tak butuh waktu lama, orang itu pun langsung menjawab panggilan telfonnya.
"Assalamualaikum, Mo." Lirih Aksa ketika Abi menerima panggilannya.
"Waalaikumsalam. Ada apa, Nang?" Tanya Abi dengan suara yang tenang.
"Romo sehat? Romo kapan pulang?" Tanya Arsha.
"Alhamdulillah Romo sehat, Nak. In Syaa Allah besok Romo pulang." Jawab Abi.
"Kamu kenapa, Nak? Pasti ada sesuatu, kan?" Tebak Abi.
"Njih, Mo." Jawab Arsha dengan suara bergetar.
"Kenapa? Cerita sama Romo." Titah Abi yang suaranya kini terdengar sedikit khawatir.
Arsha pun menceritakan kejadian yang ia alami pada Romonya. Dengan suara bergetar, ia menceritakan kronologinya tanpa ada yang terlewat.
"Aku merasa bersalah, Mo. Rasanya seperti aku baru saja menghilangkan nyawa orang." Lirih Arsha.
"Mpun njih, saiki ojo khawatir, Mas. (Sudah ya, sekarang jangan khawatir, Mas.)" Ujar Abi dengan suara yang kembali tenang.
"Semua itu bukan salah Mas Arsha. Mas Arsha sudah lakukan hal yang baik. Yang Mas lakukan itu, bukan menghilangkan nyawa, Nak, tapi membantu melepas beban. Semua yang terjadi pada Mbah Parti, sudah kehendaknya Gusti Allah." Abi memberikan afirmasi positif pada putranya.
"Mas harus ingat, kita ini terlahir dengan kemampuan yang spesial sebagai seorang Bopo. Romo saja terkadang masih gak mengerti kalau tiba - tiba punya firasat A atau bisa melakukan ini dan itu. Semua itu terjadi secara naluriah, Nak. Seperti yang Mas Arsha bilang, kita gak bisa melawan naluri yang tiba - tiba muncul itu. Jadi, ya diikuti saja. In Syaa Allah setiap naluri yang muncul dari dalam diri Bopo Banyu Alas, akan baik untuk 'anak - anaknya'." Imbuh Abi.
"Mas Arsha jangan resah lagi, ya. Banyak istighfar dan doakan Mbah Parti supaya beliau bahagia di sana." Pesan Abi.
"Njih, Romo." Jawab Arsha dengan lirih. Ya, hatinya terasa lebih tenang setelah berbicara dengan Romonya.
Sosok yang selama ini selalu menjadi panutannya. Sikap Romonya yang tenang, selalu bisa mengalirkan ketenangan dalam diri Arsha.
"Kapan jenazahnya di makamkan, Nang?" Tanya Abi.
"In Syaa Allah ba'da zuhur nanti, Mo." Jawab Arsha.
"Hari ini libur, kan? Tolong gantikan Romo hadir di sana ya, Nang. Hadiri sampai selesai pemakaman. Aksa juga di ajak sekalian, njih." Pinta Abi.
"Njih, Romo. Nanti aku kesana dengan Aksa." Jawab Arsha.
Keduanya berbincang sejenak sebelum Arsha pamit untuk menghentikan panggilan karena ada orang yang mengetuk kamarnya.
Tokk... Tok.. Tok...
Suara ketukan pintu kembali terdengar.
"Iya, sebentar." Jawab Arsha sambil melipat sejadahnya. Ia lalu membuka pintu kamarnya.
"Oh, ternyata Akung." Ujar Arsha. Ia kemudian kembali masuk ke kamarnya bersama Pak Karto yang mengekor lalu duduk di tepi ranjangnya.
"Kok ra ketok neng Masjid, Nang? Opo agi tas sholat? Kawanen? (Kok gak kelihatan di Masjid, Nang? Apa baru selesai sholat? Kesiangan?)" Tanya Pak Karto yang melihat Arsha masih memakai baju koko dan sarung.
"Mboten kerinan kok, Kung. Mpun sholat keng wau. (Gak kesiangan kok, Kung. Sudah sholat dari tadi.) Arsha memang pingin sholat di rumah tadi." Jawab Arsha.
"Kowe opo meriyang? Jare Aksa neng Masjid mau kok ra metu kamar padahal wes adzan. (Kamu apa sakit? Kata Aksa di Masjid tadi kok gak keluar kamar padahal sudah adzan.)" Tanya Pak Karto lagi.
"Mboten, Kung. Kulo alhamdulillah sehat. (Enggak, Kung. Aku alhamdulillah sehat.)" Jawab Arsha.
Pak Karto tersenyum sembari menatap wajah tampan cucunya. Tentu saja, Menantunya sudah menceritakan apa yang terjadi semalam hingga akhirnya ia mendatangi cucunya ini.
"Masih gelisah?" Tanya Pak Karto.
"Alhamdulillah sudah lebih baik, Kung. Tadi sempat telfon Romo setelah sholat subuh." Jawab Arsha.
"Ibun sudah cerita ke Akung, ya?" Tanya Arsha.
"Alhamdulillah kalau sudah lebih baik. Iya, Ibunmu tadi cerita sama Akung tentang kejadian yang kamu alami semalam." Ujar Pak Karto sambil menepuk - nepuk bahu cucunya.
"Nang, jangan menyalahkan diri untuk hal yang sudah benar. Kamu gak salah lho, Nang. Kamu dengar sendiri kan, keluarganya saja malah berterima kasih. Jadi, kenapa kamu berlarut - larut sedihnya seperti ini?" Kata Pak Karto yang juga berusaha menenangkan cucunya.
"Akung mengerti bagaimana perasaanmu, bagaimanapun ini adalah pengalaman pertama untukmu, kan. Naluri yang tiba - tiba muncul dari dalam diri kita ini memang gak bisa di lawan. Jadi ya ikuti saja seperti air mengalir. Nantinya kita akan bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah." Ujar Pak Karto.
"Putune Akung iki wis pinter, wes bener. Ojo wedi tur ojo kapok yo, Nang. Mergo kabeh iki agi permulaan. Pasti mengko bakal enek wae masalah sing bakal nguji kemampuan adewe sebagai Bopo. (Cucunya Akung ini sudah pintar, sudah benar. Jangan takut juga jangan kapok ya, Nang. Karena semua ini masih permulaan. Pasti nanti akan ada saja masalah yang akan menguji kemampuan kita sebagai Bopo.)" Kata Pak Karto yang berusaha mengalirkan semangat pada cucunya.
"Njih, matur suwun, Kung. (Iya, terima kasih, Kung.)" Ujar Arsha.
"Kene - kene! (Sini - sini!)" Pak Karto memeluk tubuh cucunya.
"Wes gerang ngene kok, ngono wae keweden! Wes rasah di pikir, wong Bopone wes nuruti karep 'anake' sing wes suwi njaluk 'mulih' kok. (Sudah besar gini kok, gitu saja ketakukan! Sudah gak usah di pikir, orang Boponya sudah mengikuti keinginan 'anaknya' yang sudah lama minta 'pulang' kok.)" Kata Pak Karto sambil terkekeh. Pada Akhirnya, Aksa pun tersenyum mendengar ucapan Kakeknya.
...****************...
"Mas, ini tolong di bawa ke rumah almarhumah sekalian, ya." Pinta Runi saat melihat dua putranya sudah bersiap.
Satu kantong beras dan satu plastik besar berisi berbagai sembako sudah siap di atas meja. Selain memberikan uang duka, mereka memang terbiasa memberikan bantuan berupa sembako untuk keluarga yang di tinggalkan.
"Ibun gak melayat?" Tanya Aksa.
"Ibun melayat nanti bareng Uti dan Bunda. Nunggu Bude Prih datang dulu, biar ada yang jaga Ashoka dan Gendis." Jawab Runi.
"Yasudah sana berangkat. Akung dan Yanda sudah berangkat dari tadi loh." Titah Runi pada dua putranya.
"Yasudah kami berangkat dulu, Bun. Assalamualaikum." Pamit Arsha.
Menjalankan permintaan Romonya, pagi itu Arsha dan Aksa datang ke rumah Mbah Parti untuk melayat dan tentu saja akan mengikuti acara pemakaman.
Tak hanya sekedar hadir, dua Bopo muda itu pun turut membantu prosesi pemakaman sebisa mereka. Keduanya pun ikut bergantian menggotong keranda berisi jenazah yang di bawa ke pemakaman dengan keluarga dan warga lain.
Warga pun terlihat kagum dengan sikap dua Bopo muda mereka. Tentu saja, rasa hormat mereka tak berkurang meskipun dua Bopo itu berusia lebih muda.
ibaratmya berjodoh tp kita jg butuh perjuangan dan usaha tuk mndapatkannya
langkah yg tepat arsha👍👍👍👍
kawal sampai halal pokonya mah 😍