Sebelas tahun lalu, seorang gadis kecil bernama Anya menyelamatkan remaja laki-laki dari kejaran penculik. Sebelum berpisah, remaja itu memberinya kalung berbentuk bintang dan janji akan bertemu lagi.
Kini, Anya tumbuh menjadi gadis cantik, ceria, dan blak-blakan yang mengelola toko roti warisan orang tuanya. Rotinya laris, pelanggannya setia, dan hidupnya sederhana tapi penuh tawa.
Sementara itu, Adrian Aurelius, CEO dingin dan misterius, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari gadis penolongnya. Ketika akhirnya menemukan petunjuk, ia memilih menyamar menjadi pegawai toko roti itu untuk mengetahui ketulusan Anya.
Namun, bekerja di bawah gadis yang cerewet, penuh kejutan, dan selalu membuatnya kewalahan, membuat misi Adrian jadi penuh keseruan… dan perlahan, kenangan masa lalu mulai kembali.
Apakah Anya akan menyadari bahwa “pegawai barunya” adalah remaja yang pernah ia selamatkan?
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Hari-hari yang berjalan setelah itu terasa begitu berbeda bagi Anya. Kafe yang dulu hanya tempat kerja sekaligus pelarian dari kesibukan, kini seolah menjadi panggung kecil di mana kehidupannya perlahan berubah. Kehadiran Adrian bukan lagi sekadar tamu misterius dengan identitas samar. Kini ia hadir dengan nyata, dengan nama besar yang menyertainya, dengan keluarga yang telah merangkulnya, dan dengan janji yang terus diucapkan lewat sorot mata maupun genggaman tangannya.
Namun, kenyamanan baru itu tidak serta merta membuat hati Anya benar-benar tenang. Ada bagian kecil dalam dirinya yang masih dihantui rasa takut. Takut tidak bisa menyesuaikan diri dengan dunia Adrian. Takut dianggap tidak pantas. Takut ketika semua ini hanya mimpi sementara yang bisa pecah sewaktu-waktu.
---
Suatu pagi, Anya sedang sibuk menata loyang roti yang baru keluar dari oven. Aroma mentega dan gula memenuhi ruangan, membuat pelanggan yang masuk tersenyum bahagia. Saat itu, pintu kafe kembali berbunyi. Adrian masuk, kali ini dengan jas rapi, rambutnya tersisir sempurna, dan aura CEO yang begitu jelas.
“Pagi, Sayang,” ucapnya ringan, seolah tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang mulai mengenalinya.
Anya tersenyum kecil, meski sedikit gugup. “Pagi… kamu nggak rapat?”
“Ada. Tapi aku sengaja mampir dulu. Nggak enak kalau langsung ke kantor tanpa lihat kamu.”
Kalimat sederhana itu membuat beberapa pelanggan yang mendengar saling berbisik, ada yang tersenyum iri, ada pula yang terkejut menyadari bahwa Anya, pemilik kafe sederhana itu, ternyata dekat dengan seorang tokoh besar yang wajahnya sering mereka lihat di layar televisi.
“Adrian…” Anya menunduk, wajahnya memerah. “Jangan bicara sembarangan di depan banyak orang…”
Pria itu hanya terkekeh, lalu memesan kopi seperti biasa. Ia duduk di kursi dekat jendela, menunggu dengan sabar. Tatapannya pada Anya sama sekali tidak berubah: lembut, penuh rasa memiliki.
---
Hari-hari seperti itu membuat gosip mulai beredar. Media lokal mulai menulis artikel pendek: CEO muda Adrian Mahendra terlihat sering berkunjung ke kafe kecil di pusat kota. Apakah ini sekadar tempat favorit, atau ada kisah cinta yang tersembunyi di baliknya?
Anya sempat panik saat melihat berita itu. Ia takut kafe kecilnya diserbu wartawan. Tapi Adrian hanya menenangkannya.
“Biarkan saja. Dunia memang selalu mencari cerita. Selama aku ada di sampingmu, tidak ada yang perlu kamu takutkan.”
Meski begitu, rasa khawatir tetap menghantui. Malam-malam Anya sering terbangun, merenung sendirian. Ia teringat masa lalunya, ketika ia hanya gadis sederhana yang berjuang demi mempertahankan usaha kecil peninggalan ibunya. Kini, ia justru berada di lingkaran keluarga besar dengan pengaruh dan kekayaan yang sulit dibayangkan.
Apakah ia benar-benar bisa menjadi bagian dari dunia itu?
---
Konflik semakin nyata ketika suatu sore Mommy datang lagi, kali ini tanpa Daddy. Ia duduk manis di kafe sambil menatap Anya yang sibuk melayani pembeli. Setelah pelanggan sepi, Mommy memanggilnya.
“Anya, duduklah sebentar. Ada yang ingin Mommy bicarakan.”
Dengan canggung, Anya duduk di hadapan wanita anggun itu.
“Mommy tahu kamu masih ragu. Mommy bisa melihat dari caramu tersenyum, dari tatapanmu yang sesekali kosong. Kamu takut, ya?”
Anya terdiam. Ingin rasanya ia menyangkal, tapi matanya berkaca-kaca. “Saya… saya hanya merasa tidak pantas, Mom. Adrian itu… terlalu tinggi. Saya… hanya begini.”
Mommy tersenyum lembut, lalu menggenggam tangan Anya. “Sayang, justru karena kamu begini, Adrian bisa jatuh hati. Anak itu tumbuh di tengah dunia yang penuh kepalsuan. Semua orang mendekatinya karena harta, jabatan, atau pengaruh. Tapi kamu? Kamu menerima dia bahkan ketika dia datang dengan nama lain, tanpa identitas besar. Kamu adalah satu-satunya alasan dia bisa tersenyum dengan tulus. Itu jauh lebih berharga daripada segalanya.”
Air mata Anya jatuh tanpa ia sadari. Kata-kata itu menusuk tepat ke hatinya, memberi kekuatan baru.
“Mommy hanya ingin kau ingat satu hal,” lanjut Mommy. “Keluarga ini tidak memilih pasangan Adrian untuk status, tapi untuk kebahagiaan. Dan kamu… sudah memberi itu padanya.”
---
Namun, kehidupan tidak pernah benar-benar berjalan mulus.
Di saat hubungan Anya dan Adrian mulai mendapat penerimaan keluarga, masalah dari luar muncul. Salah satu perusahaan pesaing Adrian mulai menyebarkan rumor buruk. Media mulai menulis bahwa kafe Anya hanyalah “bentuk kecil pencitraan” agar citra Adrian terlihat rendah hati di mata publik.
Artikel itu menyebar cepat. Beberapa pelanggan bahkan datang dengan tatapan sinis, seolah ingin memastikan gosip itu benar. Anya merasa tertekan, kafe yang biasanya penuh tawa kini dipenuhi bisikan-bisikan tak nyaman.
“Aku nggak tahan, Adrian…” ucap Anya malam itu ketika mereka duduk di teras kafe setelah toko tutup. “Aku nggak mau usahaku dianggap cuma alat pencitraan.”
Adrian menatapnya dalam-dalam, lalu meraih tangannya. “Dengar aku, Anya. Semua itu cuma suara bising. Orang yang benar-benar mengenalmu tahu siapa kamu. Dan aku janji, aku akan melindungi kafe ini, melindungi kamu, apa pun caranya.”
“Tapi…” suara Anya bergetar. “Bagaimana kalau gosip itu membuat orang menjauh?”
Adrian mengusap lembut pipinya. “Kalau dunia menjauhimu, biar aku yang mendekat lebih dekat lagi.”
Kalimat itu membuat dada Anya sesak oleh rasa haru.
---
Hari demi hari, ujian datang silih berganti. Adrian semakin sibuk, terutama ketika perusahaannya sedang menghadapi kompetisi besar untuk memenangkan proyek internasional. Ia sering pulang larut malam, kadang tak sempat mampir ke kafe.
Anya mencoba mengerti, meski ada rasa rindu yang menggelayut. Ia menunggu setiap malam, menyiapkan secangkir teh hangat jika Adrian sempat mampir.
Suatu malam, Adrian datang dengan wajah letih. Anya segera menghampirinya.
“Kamu capek banget, ya?” tanyanya pelan.
Adrian tersenyum samar. “Ya, tapi begitu lihat kamu, rasanya semua lelah hilang.”
Anya menunduk, pipinya memerah. Ia tahu kalimat itu tulus, meski hanya sederhana.
Malam itu mereka duduk bersama, tanpa banyak bicara, hanya menikmati kehadiran masing-masing. Kadang diam justru lebih berarti daripada ribuan kata.
---
Waktu berjalan, kafe Anya mulai ramai kembali. Mommy sering membawa kolega bisnisnya, bahkan Daddy menepati janji untuk membantu renovasi. Kafe itu kini lebih luas, dengan desain hangat namun tetap sederhana sesuai keinginan Anya.
Suatu hari, saat kafe baru selesai direnovasi, Adrian datang membawa sebuah kejutan. Ia berdiri di tengah kafe, di depan para pelanggan yang kebetulan ada di sana.
“Anya,” ucapnya lantang, membuat semua orang menoleh.
Anya yang sedang di balik kasir langsung terkejut. “Adrian, apa-apaan ini?”
Pria itu tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Semua orang menahan napas.
“Di tempat yang selalu jadi rumahmu, dan sekarang juga jadi rumah kita, aku ingin bertanya… maukah kamu menikah denganku?”
Kafe mendadak riuh. Beberapa pelanggan bertepuk tangan, beberapa teriak kecil penuh haru.
Air mata langsung menggenang di mata Anya. Ia menutup mulutnya, tubuhnya gemetar. “Aku…”
Adrian menatapnya penuh kesungguhan. “Aku tidak menjanjikan kehidupan tanpa badai, tapi aku janji akan selalu jadi orang yang berdiri di sampingmu. Jadi, Anya… maukah kamu?”
Tangis Anya pecah. Ia mengangguk cepat, sambil tersenyum di antara air mata. “Ya, aku mau…”
Sorak sorai memenuhi kafe. Adrian langsung meraih Anya ke dalam pelukan, sementara Mommy dan Daddy yang kebetulan hadir menatap dengan mata berkaca-kaca.
Andara bahkan melompat kegirangan, berteriak, “Yeaaay, akhirnya!”
Momen itu menjadi titik baru dalam hidup mereka. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi bayangan samar. Mereka kini berdiri di bawah cahaya, siap melangkah ke masa depan bersama.
---
Namun, kisah mereka tentu tidak berhenti di situ.
Pertunangan itu membawa mereka ke dunia yang lebih luas, penuh tantangan, dan mungkin… penuh rintangan baru.
Tapi satu hal yang pasti: Anya dan Adrian kini melangkah dengan janji, cinta, dan restu keluarga yang menguatkan.
Apa pun yang menanti di depan, mereka siap menghadapinya. Bersama.
Bersambung
lgian,ngpn msti tkut sm tu nnek shir....
kcuali kl ada rhsia d antara klian....🤔🤔🤔