Laura Clarke tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis. Pertemuannya dengan Kody Cappo, pewaris tunggal kerajaan bisnis CAPPO CORP, membawanya ke dalam dunia yang penuh kemewahan dan intrik. Namun, konsekuensi dari malam yang tak terlupakan itu lebih besar dari yang ia bayangkan: ia mengandung anak sang pewaris. Terjebak di antara cinta dan kewajiban.
"kau pikir, aku akan membiarkanmu begitu saja di saat kau sedang mengandung anakku?"
"[Aku] bisa menjaga diriku dan bayi ini."
"Mari kita menikah?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bgreen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
meminta cerai
Perawat dengan cekatan membersihkan luka Laura, tangannya terampil menghentikan aliran darah yang terus merembes.
Aroma obat antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan bau anyir darah yang memualkan.
Setelah luka dibersihkan, perawat itu mengambilkan baju pasien bersih berwarna abu-abu, menggantikan pakaian Laura yang ternoda darah.
"Nyonya Laura, kondisi Anda masih sangat lemah. Untuk sementara, hindari gerakan yang berlebihan," ujar perawat itu lembut, suaranya menenangkan seperti desiran air.
Laura hanya membisu, tubuhnya terasa bagai patung yang kehilangan jiwa. Ia membiarkan perawat itu merawatnya dalam diam.
Sementara itu, Kody menatap wajah Laura yang pucat pasi, matanya memancarkan campuran rasa bersalah dan khawatir yang mendalam.
"Jika Anda membutuhkan sesuatu, jangan ragu untuk memanggil kami, Nyonya Laura. Saya akan segera memanggil dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut," kata perawat itu sebelum berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah ringan.
*
Setelah perawat keluar, Kody memegang tangan Laura dengan lembut.
"Kau ingin minum atau makan sesuatu?" tanya Kody, suaranya lirih, penuh harap. Namun, Laura tetap membisu, tak acuh pada tawaran Kody.
Laura hanya berbaring, matanya menatap kosong ke langit-langit kamar.
Raut wajahnya mencerminkan kehancuran mendalam, jiwanya terluka oleh tragedi yang baru saja menimpanya.
Laura memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Kody. Ia belum siap untuk melihatnya, untuk berbicara dengannya. Luka di hatinya masih terlalu menganga.
Keheningan yang berat menggantung di udara, memenuhi setiap sudut ruangan.
Kody memilih untuk diam, memberikan Laura ruang dan waktu untuk menerima kenyataan pahit ini.
Ia tahu, Laura masih berduka atas kehilangan anak mereka, dan ia harus bersabar mendampinginya.
*
*
*
Dokter memasuki kamar inap Laura dengan langkah tenang, auranya memancarkan profesionalisme yang menenangkan.
Ia mendekati ranjang Laura dan mulai memeriksa kondisinya dengan seksama.
Laura tampak begitu rapuh, matanya sayu, dan tubuhnya berbaring lemah di atas ranjang. Kesedihan mendalam terpancar jelas dari wajahnya.
"Laura, apakah ada bagian tubuhmu yang terasa sakit?" tanya dokter dengan lembut, berusaha menenangkan.
"Kakiku... aku tidak bisa menggerakkannya," jawab Laura lirih, suaranya nyaris tak terdengar.
Mendengar itu, dokter segera memeriksa kedua kaki Laura. Ia menyentuh, menekan, dan menggerakkan kaki Laura dengan hati-hati, namun Laura tidak menunjukkan reaksi apa pun.
Kody, yang sejak tadi setia mendampingi Laura, terkejut melihat itu.
Ia menatap dokter dengan cemas, menunggu penjelasan tentang kondisi Laura.
"Kita akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut pada kedua kaki Anda. Seharusnya tidak ada tanda-tanda kerusakan serius, tetapi untuk memastikan, kita perlu melakukan pemeriksaan yang lebih akurat. Saya akan menjadwalkan pemeriksaan tersebut besok. Saya khawatir Anda masih terlalu lemah, sehingga Anda belum bisa menggerakkan kaki Anda," jelas dokter dengan nada profesional.
"Tidak bisakah memeriksanya sekarang?" tanya Kody dengan nada khawatir.
"Tuan Kody, sebaiknya kita tunggu besok pagi. Jika masih tidak ada perkembangan, kita akan memeriksanya dengan dokter spesialis. Kemungkinan besar, Nyonya Laura masih sangat lemah dan ini adalah efek dari koma yang dialaminya," jawab dokter, berusaha menenangkan Kody.
Kody hanya bisa pasrah dan mengangguk, mempercayakan sepenuhnya kondisi Laura kepada dokter tersebut.
Dokter menganjurkan Laura untuk makan dan minum sedikit demi sedikit agar tubuhnya perlahan membaik.
Setelah menyampaikan hal itu, dokter dan perawat meninggalkan ruangan, meninggalkan Kody dan Laura dalam keheningan yang mencekam.
Kody kembali duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Laura erat-erat, berharap keajaiban akan segera datang.
*
*
Suasana terasa begitu mencekam, dingin, seolah dinding-dinding ikut menahan napas.
Hening yang berat menggantung, hanya dipecahkan oleh suara napas mereka yang teratur.
Laura masih terbaring dalam diam, tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang pucat.
Tatapannya kosong, menembus langit-langit, seolah pikirannya melayang jauh entah ke mana.
"Aku akan memesan makanan untukmu, kau ingin makan apa?" ucap Kody lembut, memecah keheningan, suaranya berusaha terdengar setenang mungkin meski hatinya bergejolak.
Awalnya Kody berpikir Laura akan tetap diam, tak peduli dengan ucapannya, tenggelam dalam dunianya sendiri. Namun, di luar dugaan, Laura perlahan menoleh. Matanya yang sebelumnya kosong kini sedikit bergerak, menatap Kody.
"Kau butuh sesuatu?" tanya Kody, sedikit terkejut namun lega karena Laura merespons.
"Bawa aku ke kamar mandi, aku ingin buang air kecil," ucap Laura pelan, suaranya serak dan nyaris tak terdengar.
Kody merasa lega yang luar biasa. Permintaan kecil itu, sekecil apa pun, adalah tanda bahwa Laura masih ada, masih membutuhkan dirinya. Tanpa ragu, Kody segera beranjak.
Dengan hati-hati, ia menggendong Laura dalam pelukannya, merasakan tubuh istrinya yang ringan dan rapuh.
Ia melangkah perlahan menuju kamar mandi, menjaga agar Laura merasa senyaman mungkin, seolah membawa harta paling berharga dalam hidupnya.
*
Di dalam kamar mandi, Kody dengan lembut menurunkan Laura ke tempat duduk kloset.
Sentuhan tangannya begitu hati-hati, seolah takut melukai wanita itu lebih dalam.
"Keluarlah," ucap Laura lirih, setelah ia merasa aman duduk di kloset. Suaranya datar, tanpa emosi.
"Tidak, aku akan membantumu," jawab Kody lembut, menolak permintaan Laura. Ia ingin memastikan istrinya baik-baik saja.
"Aku bisa sendiri," jawab Laura, berusaha menepis tangan Kody yang hendak membantunya. Ada nada keras kepala dalam suaranya.
"Akan sulit bagimu membuka celanamu," ucap Kody, khawatir. Ia tahu kondisi Laura tidak memungkinkan untuk melakukan banyak hal sendiri.
Laura tak mempedulikan ucapan Kody. Ia mencoba membuka celananya sendiri, namun kakinya yang tak bisa digerakkan membuatnya kesulitan.
Ia berusaha sekuat tenaga, namun tubuhnya terasa begitu lemah.
"Apa aku bilang? Kau butuh bantuanku, Laura," ucap Kody, melihat Laura yang kesulitan. Ada nada lembut namun tegas dalam suaranya.
Akhirnya, dengan hati-hati, Kody mengangkat sedikit tubuh Laura agar Laura bisa dengan mudah membuka celananya.
Ia melakukannya dengan penuh perhatian, memastikan Laura tidak merasa sakit atau tidak nyaman.
Laura hanya bisa pasrah dan membiarkan Kody membantunya. Ia merasa terlalu lemah untuk menolak.
Setelah itu, Kody berbalik membelakangi Laura, memberikan privasi agar Laura bisa lebih nyaman menyelesaikan buang air kecilnya.
Ia menunggu dengan sabar, mendengarkan suara gemericik air yang menenangkan.
"Sudah," ucap Laura setelah beberapa menit berlalu. Suaranya masih terdengar lemah.
Kody berbalik lalu kembali membantu Laura membenarkan celananya.
Ia melakukannya dengan lembut dan hati-hati, memastikan celana Laura terpasang dengan benar.
Setelah selesai, ia kembali menggendong Laura ke ranjang, membawanya kembali ke tempat di mana ia bisa beristirahat.
*
Keheningan kembali merayap di kamar itu, namun kali ini terasa lebih berat, lebih menyesakkan.
Laura tak mampu lagi menahan air matanya yang mengalir deras, membasahi pipinya.
Kenangan tentang bayi yang telah tiada, yang seharusnya ada di dalam kandungannya, menghantam dirinya dengan begitu keras.
Ia merasa bersalah, merasa gagal melindungi buah hatinya. Suara tangisan lirih kembali terdengar, memecah kesunyian.
"Hikss... hikss..."
Kody terkejut melihat Laura kembali menangis. Hatinya terasa teriris melihat kesedihan yang mendalam di mata istrinya. Dengan lembut, ia membelai pipi Laura yang basah.
"Apa ada yang sakit? Aku akan panggil dokter," ucap Kody khawatir, berusaha menenangkan Laura.
Laura menggelengkan kepalanya, menahan Kody yang hendak memanggil perawat atau dokter. Ia meraih tangan Kody, menggenggamnya erat.
Ia menatap wajah Kody dengan air mata yang terus membasahi pipinya yang memerah.
Ada kesedihan, keputusasaan, dan kelelahan yang terpancar dari matanya.
"Mari kita bercerai," ucap Laura lirih, kata-kata itu bagai pisau yang menghunus jantung Kody.