NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:780
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sofa Kutukan dari Mama

Pintu terbuka cepat.

Alaric masuk dengan napas sedikit terburu. Jubah tidur diikat asal, rambut sedikit acak-acakan, dan celana ia naikkan karena terinjak kaki. Tapi wajahnya tetap tenang atau lebih tepatnya, berusaha.

Di ruang tamu, Mama Alaric—Callindra Vallerie, dan Papanya—Samudra Alverio sudah duduk tegak di sofa beludru. Wajah mereka dingin dan penuh penilaian.

Aluna berdiri dari meja kecil setelah menyajikan teh dalam cangkir putih bermotif emas. Tangannya sempat gemetar saat menuangkan tadi, tapi ia menyembunyikan itu semua dengan senyuman.

Alaric selangkah masuk, mengatur napas. “Ma, Pa, tumben datang mendadak.”

Samudra tegas tanpa basa-basi berkata, “kok kamu di luar saat istrimu di apart sendirian?”

“Istri itu bukan pajangan. Sudah pernah dengar kalimat itu, ‘kan?” Callindra menatap putranya yang berdiri diam seperti sedang diomeli saat masih kecil.

Alaric menelan ludahnya. Ia tahu wajahnya harus tetap netral. Pandangannya berpindah ke Aluna. Aluna hanya tersenyum samar. Tidak banyak bicara.

Alaric tenang. “Tadi pagi aku ke unit Renzo. Dia demam. Kurang tidur katanya, karena kerjaan.”

Callindra mendongak tajam. “Renzo, kamu yang tidur di sana?”

Alaric cepat menyahut. “Aku cuma cek sebentar. Nggak mungkin dia ditinggal sendirian kalau sakit.”

Suasana menjadi canggung. Alaric melangkah ke meja, mengambil cangkir teh yang belum disentuh.

Samudra santai, tapi menusuk. “Sebentar pun cukup untuk gosip berkembang. Kamu tahu itu, ‘kan?”

Aluna cepat menyela, tenang. “Sudah, Pa. Aku nggak masalah Alaric menjenguk Renzo. Lagipula aku baik-baik aja.”

Callindra menatap Aluna. Sekilas ada raut simpati, tapi cepat hilang. “Aluna, kamu terlihat lebih kurus. Jangan stres karena syuting! Ingat, kamu sekarang menantu keluarga Alverio I.”

Aluna tersenyum, sopan. “Iya, Tante. Eh—Mama.”

Alaric menarik kursi dan duduk dekat Aluna. Ia menyentuh punggung kursi istrinya itu dengan ringan. Isyarat agar Aluna tetap tenang.

“Lain kali, kabari dulu sebelum datang, Ma. Biar kami bisa siapin makanan favorit Mama,” ucap Alaric.

Callindra menatap tajam. “Tidak perlu makanan. Yang kami butuh hanya kepastian. Bahwa rumah tanggamu tidak pura-pura.”

Sunyi.

Aluna menunduk perlahan.

Alaric mencengkeram cangkir tehnya lebih erat.

Callindra berdiri dari sofa dengan penuh wibawa. Pandangan matanya menyapu ruangan seperti detektor ketidakberesan rumah tangga.

Callindra dengan tegas berkata, “ayo, tunjukkan kamarnya. Aku ingin lihat tempat kalian tidur.”

Alaric dengan cepat, melangkah di depan sang mama. “Ma, ini nggak perlu, ‘kan? Maksudnya, kamarnya—normal, rapi, seperti apartemen pada umumnya...”

Callindra tetap berjalan. Langkahnya mantap, tidak bisa dibendung. Alaric hanya bisa mengikuti dari samping sambil mencoba halangi jalur tanpa terlihat jelas menghalangi. Aluna juga ikut meski ragu. Sedangkan Samudra masih duduk di sofa menikmati teh dan berita.

Aluna berbisik sendiri, heran. “Baru kali ini lihat Alaric... merengek?”

Pintu terbuka. Callindra langsung masuk. Sorot matanya menyisir ruangan seperti inspektur investigasi rumah tangga tingkat dewa.

“Ranjangnya besar, tapi... hmm. Coba aku duduk.”

Callindra duduk di ranjang. Ia menekan-nekan kasur, lalu menepuk bantal. “Bantalnya dua. Tidak ada bekas lipatan aneh. Ini sudah benar. Jangan sampai kalian tidur terpisah, ya.”

Alaric setengah gumaman. “Tidur berdampingan nggak menjamin akur juga, Ma.”

Callindra melirik tajam. “Apa tadi?!”

Alaric cepat mengangkat tangan. “Enggak, enggak, cuma batuk.”

Aluna menyembunyikan senyum. Tapi itu tidak bertahan lama, karena Callindra sudah berbalik dan bergerak ke dapur.

Callindra membuka lemari gantung. Kosong. Beralih ke laci—hanya sendok, garpu, dan dua sumpit. Lalu kulkas. Hanya ada air mineral, minuman soda, dan yoghurt drink.

Callindra menghela napas dalam. “Aku harus kirim lauk. Rendang, ayam woku, atau minimal sambal goreng. Ini bukan kulkas rumah tangga. Ini kulkas anak kos.”

Alaric mencoba menjelaskan. “Kami sibuk kerja, Ma. Biasanya pesan dari restoran. Lebih praktis.”

“Praktis tidak sama dengan sehat,” ucap Callindra menutup kulkas lalu menoleh. “Dan aku pikir kalian juga perlu sofa tambahan.”

Aluna terpaku, heran. “Sofa tambahan?”

Callindra santai, menjawab polos. “Ya, untuk variasi suasana. Jangan semua dilakukan di kasur terus. Sofa juga bisa.”

“MAA—!” ujar Alaric malu.

Aluna menutup mulutnya dengan tangan menahan tawa. Alaric sudah merah padam.

“Kamu suami, Al. Masa perlu Mama yang pikirkan detail hubungan kalian?”

Alaric geleng pelan, lirih ke Aluna. “Aku nyerah,” gumamnya.

Aluna balik menatap dengan binar. “Baru kali ini lihat kamu kalang kabut kayak gini. Lucu juga.”

...***...

Alaric sedang duduk di bar dapur. Laptop menyala. Ia menjawab satu-dua E-mail penting. Sesekali melirik ke arah kamarnya yang pintunya terbuka sedikit.

Alaric berbisik pada dirinya. “Kalau sampai dia demam lagi, Mama bakal nuduh aku nggak becus jagain.”

Bel apartemen terdengar nyaring. Alaric berdiri cepat meski tidak tahu itu siapa.

Paket? Ternyata—lebih tepatnya— rombongan bodyguard Alverio. Beberapa pria berbadan besar, memakai seragam resmi dan logat formal. Kepala mereka memegang daftar.

Adnan, kepala bodyguard. “Pak Alaric, sesuai instruksi Ny. Callindra dan Tn. Samudra. Ini lauk-pauk rumah dan sofa tambahan.”

Alaric mata membelalak, lirih. “Sofa juga sampai dikirim? Ya ampun, Ma...”

Alaric membuka pintu apartemen. Bodyguard langsung bekerja cepat. Meletakkan kotak-kotak plastik berisi makanan di dapur. Sementara dua lainnya membawa masuk sofa mungil berwarna krem muda—model minimalis tapi jelas terlihat ‘sofa untuk dua orang’ yang terlalu intim.

Adnan bertanya, “ditaruh di mana, Pak?”

Alaric panik sesaat. “Uh—mana aja. Bebas. Jangan, jangan depan TV. Ntar disangka niat banget.”

Mereka tetap meletakkannya di sudut ruangan. Tampak terlalu romantis dibanding furnitur lainnya. Alaric memijat pelipis.

‘TING!’

Suara lift terbuka. Langkah hak sepatu terdengar. Aluna muncul sambil menggenggam tote bag kampus dan jaket tergantung di pundak. Wajahnya lelah tapi ceria.

“Al? Kok rame banget?” Aluna melangkah cepat.

Alaric cepat menyambutnya, setengah bisik. “Jangan tanya, sofa itu dari Mama.”

Aluna mengernyit, lalu masuk ke apartemen. “Lauk-lauk juga? Banyak banget. Ini kulkas cukup, nggak?”

Aluna masuk, melihat sofa itu. Diam.

“Semua sudah selesai. Kami permisi, Pak Alaric, Bu Aluna,” ucap Adnan membawa rekannya keluar.

Mereka keluar. Pintu tertutup.

Hening.

Aluna melipat tangan, menatap sofa kecil di sudut ruangan. “Ini, tempat duduk dua orang, ya?”

“Jangan bilang itu kursi pengakuan dosa!”

Aluna tertawa pelan, tapi raut wajahnya memerah. Ia berjalan pelan ke sofa melengkung itu dan duduk sebentar, mencobanya.

“Empuk. Kayaknya bakal banyak dipakai buat...”

Alaric berdiri di depannya, menyilangkan tangan. “Pencitraan kalo ada artikel rumah tangga kita cuman settingan.”

Aluna senang dan kecewa.

“Sudah, sana mandi. Bau lokasi syuting.”

Aluna berdiri, mendekat cepat. “Bau istri CEO muda lebih tepatnya.”

Mereka nyaris berpapasan saat Aluna hendak ke kamar. Alaric mendesah panjang sambil kembali melirik sofa ‘kutukan Mama’ itu.

...***...

Renzo membuka pintu apartemennya. Ia menoleh ke seberang. Pintu apartemen Alaric tertutup rapat. Tapi ia tahu dari abangnya itu soal sofa kutukan.

Langkahnya baru satu ketika—

“BANG!!”

Suara gadis terdengar dari ujung koridor. Renzo membalik tubuh tepat saat seorang gadis berambut pirang terang berlari ke arahnya dengan langkah cepat dan ringan. Tubuhnya mungil, kulit putih cerah, mengenakan crop top dan celana high waist jeans.

Tanpa peringatan, gadis itu memeluk erat tubuh Renzo. Bahkan mencium pipi Renzo dengan gemas.

“Gue kangen banget, parah! Abang nggak balas pesan gue!”

Renzo memikirkan sejenak siapa gadis itu. “...Senara?”

Senara tertawa kecil sambil bergelayut. Wajahnya sangat ceria meski tersenyum tipis apalagi tertawa. “Siapa lagi? Masa cewek pirang manja kayak gue banyak?”

Pintu apartemen seberang terbuka penuh. Aluna keluar dengan kantong sampah, sedangkan Alaric keluar nyaris bersamaan sambil mengenakan kaos rumah dan jam tangan. Mereka berdiri diam, menatap pemandangan itu.

Aluna berkata pelan, lirih. “Itu... pacarnya Renzo?”

Namun keterkejutan Aluna bertambah saat Senara melepaskan pelukannya dari Renzo, lalu berlari ringan ke arah Alaric. Langsung memeluk pria itu tanpa ragu, bahkan menaruh dagu di dadanya.

Alaric terlihat muda di usianya yang masih 25 tahun. Gadis itu terlihat lebih muda dari Aluna yang 23 tahun. Mungkin gadis itu 20 tahun.

“Bang... kangen banget! Lama nggak pulang!”

Alaric, tanpa canggung, membalas pelukan itu singkat dan mengacak rambut Senara sedikit.

“Kapan kamu balik, Sen?”

Aluna terdiam di tempat. Matanya melebar. “Sejak kapan kamu punya adik?”

Senara menoleh, masih bergelayut di pinggang Alaric. Senyumnya lebar.

“Memang nggak pernah kelihatan. Gue dibuang ke luar negeri,” jelas Senara.

Alaric mencibir ringan. “Bukan dibuang. Dikirim. Karena kalau di sini kelakuannya rusuh.”

Renzo tertawa sambil menyandar ke dinding. “Waktu SMP, dia pernah gelut sama cowok sekelas. Gegara cowok itu duduk di kursinya.” 

“Dan menang, dong!” ujar Senara.

“Tapi kalah sama Mama. Untung gak dikirim ke Prindapan,” ujar Alaric membuat ketiga saudara itu tertawa.

Aluna hanya diam. Matanya menatap tiga orang di depannya yang saling mengenal erat. Saling melempar candaan. Wajah mereka terbuka, lepas, dan penuh kenangan.

Berbeda dengannya.

“Kalau bukan karena gue ini artis... Gue nggak akan ada di sini. Di keluarga mereka. Tanpa kamera, gue bukan siapa-siapa.”

Tangannya menggenggam erat kantong sampah. Ia menunduk sesaat, sebelum memaksa tersenyum.

“Maaf... aku buang ini dulu, ya.”

Ia berbalik. Tapi sebelum masuk ke lift, ia sempat melirik ke belakang. Tiga orang itu— Alaric, Renzo, dan Senara—tertawa kecil akan kenangan masa lalu. Satu tawa ringan menyayat jauh ke dalam dirinya yang kesepian.

1
Soraya
mampir thor
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!