NovelToon NovelToon
Jodoh Jalur Orang Dalam

Jodoh Jalur Orang Dalam

Status: sedang berlangsung
Genre:Hamil di luar nikah / Konflik etika / Selingkuh / Cinta Terlarang / Keluarga / Menikah Karena Anak
Popularitas:219
Nilai: 5
Nama Author: yesstory

Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mendadak Nikah

“Hamil?!”

Suara pria paruh baya menggelegar di ruang tamu sepi, hampir tengah malam. Matanya melotot marah, menatap tajam ke arah perempuan muda yang tak lain adalah anaknya sendiri. Anak itu duduk, menundukkan kepalanya.

Tak ada jawaban. Perempuan paruh baya yang duduk bersebelahan dengannya juga menatap terkejut. Kabar ini sangat mengejutkan. Terutama datang dari putri sulungnya yang baru saja pulang dari tanah rantau sore tadi.

“JAWAB, NIRA!” Suara pria tersebut terdengar lebih keras dari sebelumnya. Napasnya terengah. Tangan menyentuh dada kirinya seolah menenangkan jantung yang berdebar cepat karena kabar yang dibawa anak gadisnya itu.

Nira mengangguk pelan. Sekali. Tapi dampaknya luar biasa. Mardi melangkah mendekati sang putri. Menarik perempuan yang masih tetap menunduk agar berdiri dan menampar kencang pipinya.

Wajah Nira tertoleh ke samping. Nira memejamkan mata. Merasakan perih yang teramat sangat di pipinya. Air mata mulai menetes, tapi dia masih belum berani mengangkat wajahnya.

Mardi balik badan. Tangannya mengepal. Tatapnya kosong ke arah dinding. Matanya memerah. Berusaha menahan emosi yang menguasai pikirannya.

Sinta hanya menunduk, diam. Tak berani bersuara saat keadaan kembali hening. Isakan lirih nan pelan terdengar dari bibir Nira. Tapi, Sinta tak berniat menenangkan. Perasaannya kacau.

“Anak dua nggak ada yang bisa banggain orang tua! Dua-duanya sudah bertindak di luar batas! Yang satu, menghamili anak orang. Dan yang satunya, dihamili orang. Apa kalian ingin mempercepat kematian kami, hah?!” Suara Mardi kembali mengudara.

Hatinya hancur. Hati orang tua yang gagal mendidik anak-anaknya hingga mereka semua melakukan hal yang jelas di larang agama. Berzina. Sampai hamil.

“Maafin aku, Pak, Bu.” Nira bersuara pelan.

Tengah malam. Suasana sunyi, jelas saja suara sepelan apapun akan terdengar.

Mardi membalikkan tubuhnya dan berjalan mendekati Nira.

“Angkat wajahmu!” Sebuah perintah tegas yang tak bisa dilawan Nira.

Perlahan, ia mengangkat wajahnya. Tapi tetap tak berani menatap wajah Bapaknya.

“Berapa usia kandunganmu?”

“En-enam, Pak.”

Martin mengusap wajah. Enam bulan?

“Kenapa baru sekarang kamu pulang dan kasih tahu kami? Kenapa nggak dari dulu? Atau … Kenapa sekalian saja sembunyikan kehamilanmu itu di rantau sana dan pulang-pulang bawa bayi?”

Nira terdiam. Ia tahu, dari suara Bapaknya, pria yang menjadi cinta pertamanya itu sangat kecewa padanya.

“Siapa namanya?”

“Riki.”

“Bilang padanya. Suruh datang ke sini, bawa keluarganya. Kalian akan segera menikah.”

Sinta berdiri dan menyuarakan protesnya. “Nggak bisa gitu dong, Pak. Harus ada lamaran dulu. Kalau tiba-tiba menikah, apa kata para tetangga dan orang-orang nantinya?”

Mardi menoleh. “Harusnya dia mikirin itu sebelum ngasih tahu kita kalau dia sudah hamil enam bulan,” tunjuknya pada Nira.

Mardi menghela napas panjang. Berat. “Tinggal tiga bulan lagi. Kalau pakai acara lamaran, dan lain sebagainya, Nira keburu lahiran sebelum menikah. Lebih fatal lagi akibatnya. Kita sudah malu, Bu. Sejak Tomi menghamili anak gadis orang, kita sudah menanggung malu. Dan sekarang… kita kembali harus menahan malu karena anak sulung kita. Harapan kita satu-satunya, melakukan hal yang sama. Hamil di luar nikah.”

Sinta tak bisa membantah. Ia kecewa. Tapi, semuanya sudah terlanjur terjadi. Disesali pun, tak kan guna. Nira telah hamil. Di luar nikah.

“Masuklah ke kamarmu, Nira. Segera kabari pria yang menghamilimu itu,” perintah Mardi.

Nira mengangguk dan berlalu pergi. Menuju kamarnya.

Sinta mendekat, mengelus lengan sang suami yang ia tahu memendam perasaan yang tak bisa ia jelaskan dan menahan emosi yang jika dilampiaskan, bisa saja membuat semuanya makin hancur dan kacau balau.

Setelah hanya ada mereka berdua di ruang yang lengang itu, Mardi terduduk lemas di sofa. Raut wajahnya jelas lelah. Banyak pikiran. Sinta ikut duduk di sebelah, masih mengelus lengan suaminya.

“Kita memang menginginkan dia untuk segera menikah. Tapi bukan begini caranya. Bukan dengan cara dihamili orang lain.”

Mardi berkata pelan. Nada suaranya terdengar sangat kecewa. Kembali ia melanjutkan,” Kita mengijinkan dia merantau demi pekerjaannya. Keinginannya. Tapi, apa yang dia bawa pulang? Dia membawa aib yang tak bisa kita tutupi. Dia membawa kita ke jurang malu yang tak berkesudahan.”

“Kalau saja waktu itu, aku tak mengijinkannya pergi, mungkin saja dia tak bertemu pria brengsek di sana sampai akhirnya dia hamil. Bapak nggak sangka dia…” Jeda sesaat. Mardi menarik napas pelan, dan kembali melanjutkan,” Anak yang kita banggakan, kita harapkan, justru meludahi kita tepat di wajah. Walau dibersihkan dengan air sebersih apapun, wajah kita sudah tercoreng. Wajah kita ikut kotor akibat perbuatan anak-anak kita.”

Sinta terisak pelan. Mengangguk setuju akan perkataan suaminya.

“Nasi telah menjadi bubur, Pak. Kita sudah tak bisa mengubah nasib. Jika memang tak ada lamaran, setidaknya kita mengadakan pesta pernikahan, Pak. Nira anak perempuan kita satu-satunya. Ibu ingin dia merasakan kebahagiaan. Ibu ingin melihatnya di pelaminan. Seperti harapan kita.”

Mardi menoleh. “Semua orang akan tahu kalau Nira tengah hamil jika kita mengadakan pesta.”

Sinta menggeleng. “Perut Nira belum kelihatan membuncit. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Aku akan carikan dia gaun pernikahan yang cukup besar untuk menutupinya. Jangan sampai orang-orang berpikir buruk karena pernikahan Nira yang dadakan.”

“Tanpa pesta pun, orang-orang juga tahu kalau Nira nikah karena hamil duluan. Dia sudah hamil enam bulan, Bu. Sedangkan dia belum menikah. Kita tinggal di kampung. Berita itu akan cepat menyebar ke seluruh pelosok kampung. Atau bahkan sampai luar kampung. Cepat atau lambat, semuanya akan tahu.”

“Makanya kita percepat semuanya, Pak. Ibu tetap pingin mengadakan hajatan untuk pernikahan Nira.”

Mardi menghela napas lalu berdiri. “Terserah. Ibu atur aja.” Setelah mengatakan kalimat itu, Mardi beranjak. Melangkah gontai, masuk ke dalam.

***

“Aku kira kamu perempuan alim, Kak. Tapi ternyata sama aja.”

Suara itu membuat Nira yang tengah duduk diam, menatap kosong sawah di bawah rumahnya, menoleh.

Tomi menyeringai. Duduk di sebelah sang kakak dan ikut menatap sawah yang ditanami padi yang mulai menguning. Suara cicitan burung pipit yang hinggap di biji padi itu terdengar pelan dan ramai saat suara orang yang menjaga padi-padi itu berteriak keras, mengusir para burung.

Rumah mereka memang berada di tepi sawah. Benar-benar definisi rumah mewah-mepet sawah alias dekat sawah. Hampir menempel, jika tak dipagari.

“Bapak dan Ibu sudah bilang ke kamu?” tanya Nira kembali menatap sawah. Matanya menangkap satu dua burung pipit yang mulai hinggap di batang padi, tapi tak berniat mengusirnya.

“Nggak perlu bilang, aku sudah tahu kok. Perutmu kelihatan.”

Tomi memantik api dan menyulut rokok. “Apa dia tampan? Atau mapan? Kok bisa kamu terkena bujuk rayu dan berakhir dengan perut membuncit seperti itu? Emang nggak pakai pengaman?”

Santai saja pertanyaan Tomi, adiknya Nira. Seolah percakapan itu tak membuat badai di dalam keluarganya.

“Diam kamu! Kamu sendiri, apa sudah mapan saat kamu menghamili anak gadis orang, hah?” Balas Nira menarik sudut bibirnya, tersenyum sinis.

“Takdir mungkin. Aku sudah memakai pengaman. Dia juga sudah mencoba menggugurkannya, tapi anak itu tetap bertahan.”

Tomi menelisik wajah kakaknya lalu tersenyum. “Diapakan sama Bapak semalam? Kayaknya mukamu, badanmu, semuanya baik-baik aja. Jangan bilang cuma dibentak doang terus selesai.”

Nira tersenyum. “Nggak mungkin Bapak memukulku walau kesalahan yang ku lakukan merusak kepercayaannya.”

Tomi mendengus. Mengepulkan asap rokok ke udara. “Wajar sih. Selain perempuan, kamu adalah anak yang selalu ia banggakan. Ia pamerkan ke semua orang. Anak satu-satunya di kampung ini yang berhasil sekolah sampai Universitas. Sekecewa apapun dia, Bapak pasti nggak akan menyakiti fisikmu.”

“Fitri mana?” Nira mengalihkan pembicaraan.

“Posyandu.”

Nira mengangguk. Ponselnya di atas meja berbunyi. Ada nama Riki tertera di layar. Nira menoleh pada Tomi, memberi kode mata agar adiknya itu pergi dari sana. Tomi menghela napas lalu bangkit berdiri. Meninggalkan Nira yang kini menerima panggilan dari sang kekasih.

“Halo, Sayang.”

“Iya. Kamu udah ngomong sama orang tua kamu?”

Nira mengangguk. Rupanya, dia semalam belum bicara dengan sang kekasih mengenai permintaan Bapaknya.

“Udah. Kamu diminta datang beserta keluargamu. Kita akan langsung menikah.”

“Apa?! Langsung menikah?”

“Iya. Sudah enam bulan, kalau kamu lupa, Rik. Nggak ada waktu lagi.”

“Tapi… Bagaimana aku bisa ke sana bersama keluargaku? Jarak rumah kita jauh. Untuk ke sana, aku membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Ditambah lagi dengan bawa keluarga.”

Nira menghela napas. “Ya sudah. Urus saja semuanya. Untuk biaya, aku yang akan membayarnya.”

“Nah… Kalau gitu, baru bisa. Aku akan segera mengurus semuanya dan datang ke sana. Kita akan segera menikah. Impian kita berdua akan segera terwujud, Sayang. Aku bahagia banget. Tunggu aku ya. Aku pasti datang.”

Nira mengangguk lagi walau Riki tak melihatnya.

“Ya sudah, Sayang. Aku harus segera berangkat kerja. Nanti kalau upahku sudah dibayar, aku akan mengganti semua uangmu. Ya?”

“Ya. Hati-hati, Sayang.”

“Iya, Sayang. Jaga diri kamu dan anak kita ya.”

Nira mengangguk lalu memutus sambungan. Meletakkan ponsel di atas meja, ia kembali memandangi sawah di bawah pagar rumahnya yang cukup tinggi. Fisiknya di sana, tapi pikirannya di tempat lain.

Hatinya sedikit ragu, tapi tak ada pilihan lain. Lebih tepatnya ia tak punya pilihan selain menikah dengan Riki, pria yang ia kenal satu tahun lalu sekaligus pria yang menghamilinya.

1
Miu miu
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
ZodiacKiller
Ga sabar nunggu kelanjutannya thor, terus semangat ya!
yesstory: Terima kasih kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!