Ketika hati mencoba berpaling.. namun takdir mempertemukan kita di waktu yang berbeda. Bahkan status kita pun berubah..
Akankah takdir mempermainkan kita kembali? ataukah justru takdir menunjukkan kuasanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SUNFLOWSIST, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. PERTEMUAN EMBUN, KAKEK DAN WIRA
Karena kesibukan kakeknya yang mulai merintis kembali usahanya dari awal dan belum lagi Embun yang sedang ujian, hingga saat ini mereka belum pernah menjenguk Naya.
"Baiklah.. Sabtu besok kita akan berkunjung ke tempat kakakmu." Sang kakek pun tersenyum lembut membelai rambut panjang cucu kesayangannya itu.
* * *
Sementara itu dibelahan bumi yang lain ...
Di atas meja kerja dengan tumpukan dokumen yang begitu tebal. Seorang pria dengan jas mahalnya yang melekat dengan begitu sempurna di tubuhnya yang tegap, tampak menghela nafas beratnya. Auranya semakin dingin tak tersentuh, begitu pula dengan sorot wajahnya yang tampak kusut dan tak bersemangat.
Dia adalah Devan. CEO yang baru saja diangkat secara resmi menggantikan sang kakek yang telah tiada satu bulan yang lalu. Dia mencoba menekuni bidang fashion. Berbeda dengan bidang yang ditekuni sang kakek dahulu. Perombakan bidang usaha secara besar - besaran ia lakukan demi menghilangkan rasa frustasinya atas kehilangan Naya. Segala usaha telah ia lakukan, namun tetap saja tidak membuahkan hasil.
"Apa sudah ada kandidat untuk penerima beasiswa itu?" ucapnya dengan nada dingin.
"Sudah tuan. Kami sudah menemukan 10 orang kandidat yang memenuhi kriteria sebagai penerima beasiswa itu." Asistennya menyerahkan berkas data diri penerima beasiswa.
Diletakannya berkas tersebut ke dalam lacinya.
"Awasi terus program beasiswa ini. Dan ingat, beasiswa ini hanya untuk mereka yang berprestasi. Bukan sekedar untuk ajang pamer." ucapnya dengan nada dingin.
"Apa sudah ada kabar terbaru tentang wanita itu?"
"Sampai saat ini belum ada tuan. Bahkan kami juga sudah mengunjungi beberapa kepolisian setempat, namun nihil tuan. Wanita itu hilang seperti di telan oleh bumi. Tidak ada kabar apapun tentangnya."
"Nayaku tidak mungkin mati. Nayaku pasti baik - baik saja. Kemana lagi sayang aku harus mencarimu?" ucapnya dengan penuh frustasi.
* * *
Keesokkan Paginya..
Embun begitu bersemangat, dengan tas ranselnya di punggung dan mendorong kopernya ia bersiap - siap mengunjungi kakaknya di rumah sakit sekaligus berpamitan akan pergi mengikuti program beasiswa.
Dengan penuh kelembutan sang kakek menggandeng Embun menuju ke depan rumah menunggu taksi online yang sudah dipesannya. "Apa sudah selesai berkemasnya? Apa tidak ada yang tertinggal?"
"Sudah kek, semuanya sudah lengkap. Ayo kek kita berangkat. Aku sudah tidak sabar bertemu dengan kakak. Sudah lama tidak bertemu kakak, banyak hal yang ingin aku ceritakan.
"Baiklah ayo kita berangkat."
"Kakek pesan taksi online sampai Jakarta apa tidak mahal kek? Aku ada tabungan tidak banyak sih kek, lumayan buat tambahan bayar taksinya."
"Tidak usah nak, kakek sudah bayar lunas untuk pulang - pergi hari ini. Simpanlah nak untuk kebutuhanmu. Disana kamu pasti membutuhkannya. Oh ya selesai mengantarmu nanti, kakek ada perlu bertemu dengan teman kakek di Jakarta. Dia pemuda yang sangat baik. Dia yang membantu kakek melewati semua ini.
"Aku tau maksud kakek seperti apa... Aku masih ingin berkarir kek. Masih banyak mimpi yang ingin aku raih." ucap Embun dengan nada kesalnya.
Kakek pun terkekeh mendengar ucapan cucunya. "Siapa yang akan menjodohkanmu? Kakek hanya bercerita saja."
Canda dan tawa ringan mengisi sepanjang perjalanan mereka. Setelah menempuh perjalanan hampir 5 jam, akhirnya sampailah Kakek dan Embun di rumah sakit tempat Naya dirawat.
Sebuah bangunan warna putih menjulang tinggi dengan begitu sempurna. Hamparan taman nan hijau tampak begitu sempurna menghiasi gedung itu.
Sementara itu...
Dengan berbalutkan baju pasien, perut Naya tampak sedikit buncit. Usia kandungannya saat ini sudah memasuki trisemester kedua. Lebih tepatnya 24 minggu. Badannya pun sudah lebih kelihatan berisi. Rambutnya yang diikat tinggi seolah ingin memperlihatkan leher jenjangnya yang putih dan mulus.
"Selamat pagi Innaya..."
"Bagaimana keadaanmu pagi ini?"
Suara dokter Wira membuyarkan lamunanku. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. Meskipun aku sudah mengingat semuanya, tapi kepribadianku masih tetaplah sama. Tertutup dan tak tersentuh. Aku tetap membatasi diriku dari hal - hal menyakitkan. Aku lebih banyak menyendiri dan asyik dengan duniaku sendiri.
"Kemarin kamu meninggalkan hasil USG mu di poli kandungan." ucapnya seraya mengodorkan sebuah foto hasil USG 5 dimensi kepadaku.
"Aku pun beranjak dari tempat dudukku, dan berjalan perlahan ke arah dok+ter Wira. Namun disaat yang bersamaan kakiku tersandung sandal yang ada di depan pintu kamar mandi.
"Aaaa.. ." Dengan sigap dokter Wira mendekapku dengan begitu erat. Tubuhnya yang kekar menopang tubuhku agar tidak terjatuh ke lantai.
"Kamu tidak apa - apa? Apa ada yang sakit?" ucapnya dengan penuh panik.
"Aaww.. Dia menendangku dok." ucapku meringis kesakitan. Tanganku terulur memegangi perutku.
"Benarkah? Bolehkah aku mengelusnya?"
Wajahnya berbinar bahagia. Selama di rumah sakit ini baru kali ini aku melihatnya bahagia seperti ini. Aku pun menganggukkan kepalaku perlahan. Dokter Wira adalah orang yang paling berjasa dalam hidupku. Dia selalu siap menjadi sandaran hidupku.
"Hai.. Apa kamu mendengarku?sehat - sehat ya di dalam sana. Kami sangat menantikan kehadiranmu." ucapnya seraya mengelus perutku perlahan.
Sebuah tendangan dari dalam perutku seolah merespon elusan tangan dokter Wira.
Namun disaat yang bersamaan...
Ceklek.. Pintu kamar terbuka dari luar..
"Kak Naya"..
Suara yang begitu familiar ditelingaku. Dengan cepat aku melepaskan tangan dokter Wira. Begitu juga dokter Wira, ia melepaskan tangannya dari perutku.
"Nak Wira?" ucap kakekku dengan nada terkejutnya.
"Kakek?" kedua mata dokter Wira membulat tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Seorang kakek yang tempo hari dibantunya, hari ini berdiri tepat di hadapannya sebagai keluarga Innaya.
Sang kakek menatap tak percaya. " Nak Wira dokter di rumah sakit ini?" Sebuah senyuman perlahan terbit di sudut bibir kakek.
"Iya kek, saya dokter di rumah sakit ini. Jadi kakek ini kakek Innaya?" ucapnya dengan senyum penuh kehangatan.
Kakek dan Embun berjalan mendekat. Dipeluknya dokter Wira dengan penuh kehangatan. "Ternyata dunia begitu sempit. Kakek tidak menyangka dipertemukan dengan Nak Wira di tempat ini."
"Oh iya ini Embun, adik kandung dari Innaya." ucap Kakek seraya memperkenalkan Embun pada dokter Wira.
Senyum ramah terbit di bibir Embun. "Halo dokter.. Salam kenal."
Dokter Wira hanya menjawabinya dengan anggukan kepala.
"Kak Naya.. Aku kangen..." ucapnya seraya berlari kecil ke arahku.
"Kak Naya juga dek." Tangisku pecah tatkala Embun memelukku dengan pernuh kehangatan. Sebuah pelukan yang selalu aku rindukan. Satu - satunya keluarga dekat yang aku miliki selain kakek.
"Maafin aku ya kak.. aku baru bisa menjenguk kakak hari ini. Aku tidak bisa libur karena ujian akhir. Dan sekarang... Aku juga mau berpamitan sama kak Naya." ucapnya dengan nada sendu.
"Memang mau kemana kamu dek? Kamu mau ninggalin kakak sendirian?"
"Aku dapat beasiswa kak, aku akan kuliah di luar negeri dan magang disana. Aku tidak menyangka bisa dapat beasiswa itu kak. Aku ingin berdiri di kakiku sendiri dan membuat bangga keluarga. Itulah impianku selama ini." ucapnya dengan penuh semangat yang menggebu - gebu.
Degh.. .
Aku merasa ditampar oleh adikku sendiri. Aku yang sebagai kakaknya tidak punya prestasi yang bisa dibanggakan. Aku bahkan tidak bisa menjadi contoh yang baik untuknya. Aku telah membuang waktuku demi orang yang bahkan saat ini tidak tahu keberadannya.
"Maaf ... Maaf kakak hanya menjadi beban keluarga selama ini. Seandainya waktu bisa terulang kembali, seandainya aku tidak berkenalan dengan pria itu... Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.. Hiks .. Hiks.."
Naya menangis sejadi - jadinya. Semua yang terjadi dalam hidupnya hanya menyisakan penyesalan. Aku yang baru mengenal namanya cinta, kini harus dikecewakan juga oleh yang namanya cinta. Kepercayaanku akan namanya cinta kini telah hilang.
Kakek yang melihat keadaan itu, hatinya berdenyut nyeri. Ia tidak menyangka kehidupan cucunya seperti ini. Dokter Wira pun mengajak kakek untuk keluar dari kamar itu. Memberikan ruang dan waktu untuk kakak beradik itu saling bercerita.
"Kakek yang sabar ya.. Keadaan Innaya sudah banyak perkembangan. Dia sudah mulai stabil. Hanya saja... "
"Hanya saja kenapa nak Wira?" Raut kecemasan jelas terlihat di wajah sang kakek.
"Dia lebih suka menyendiri. Dan lebih tertutup. Hal itu dilakukannya untuk membatasi dirinya agar tidak terluka lagi. Ia juga krisis kepercayaan terhadap orang baru karena baginya rasa kepercayaan itu sudah mati."
"Saran saya kek.. Lebih sering ajak komunikasi. Berikan juga kebebasan dia untuk berekspresi. Dan lagi kondisinya saat ini dia sedang hamil. Jadi usahakan selalu ada teman bercerita. Saya khawatirnya berdampak buruk dengan kehamilannya nantinya."