Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16 Bandara itu
Bandara itu tampak ramai, di tengah riuh langkah dan dering koper, hanya satu sosok yang seolah membuat waktu melambat. Seorang pria paruh baya yang mencuri perhatian.
Tubuhnya tegap, dadanya bidang, bahunya lebar. Hanya saja rambut di pelipisnya mulai memutih, menandakan waktu yang tak bisa dihindari. Jas abu-abu elegan yang ia kenakan menegaskan bahwa ia bukan pria biasa.
Matanya menatap tajam ke arah pintu kedatangan internasional. Senyumnya perlahan muncul ketika sosok wanita bergaun krem melangkah anggun dari balik kerumunan.
“Soora,” panggilnya lembut.
Wanita itu tersenyum manja. “Ohh, Rudy…” Ia mencondongkan tubuh, dan tanpa malu, mencium pipi pria itu dua kali.
“Let’s go now? I’ve prepared a luxury apartment for you,” ucap Rudi dengan suara baritonnya, sedikit menunduk untuk mengambil koper kecil di sampingnya. (“Ayo pergi sekarang? Aku sudah menyiapkan apartemen mewah untukmu.”)
“Eeehh~” respon Soora genit dalam bahasa Jepang, nada suaranya nyaris seperti bisikan yang penuh rayuan. "Doushite anata no ie ni ikanai no?" (Kenapa tidak ke rumahmu saja?) "Aku sudah merindukan sahabatku, tahu~”
“Not now, honey. If we go home, we won’t be able to do… anything. Let me taste you first. I’m addicted already.” ("Jangan sekarang, sayang. Kalau kita pulang, kita nggak akan bisa... ngapa-ngapain. Biar aku cobain kamu dulu, aku udah ngerasa ketagihan nih.")
Wanita itu menutup mulutnya dengan jemari lentik, tertawa pelan, sementara Rudi memegang punggungnya dan menuntunnya keluar dari pintu kedatangan. Udara seolah ikut bergetar oleh aroma bunga melati dan vanilla yang menggoda. Aroma yang bisa menyesatkan bahkan sebelum ia bicara.
Rudi Hartono, ayah Rui Naru. Bukan pria sembarangan. Ia dikenal karismatik, tegas, dan berwibawa di mata publik. Tapi di balik segala pencapaian dan kekuasaannya, ada sisi gelap yang disembunyikan rapat-rapat.
Wanita yang kini berjalan di sisinya adalah Soora Mamiya, sahabat istrinya sendiri dan seseorang yang dulu pernah menjadi pelipur lara di masa mudanya.
Dulu, ketika Rudi masih menempuh studi di Jepang, ia sempat jatuh hati pada Rui Maya, wanita cerdas yang kini menjadi istrinya. Tapi untuk menaklukkan hatinya tak semudah yang ia bayangkan.
Saat itu, ia sering mencurahkan isi hati pada Mamiya. Dari curhat yang seharusnya tak berarti, tumbuhlah keintiman samar…
Ketika bisnis suaminya hancur dan pria itu akhirnya dijebloskan ke penjara, hidup Mamiya berubah drastis. Dua tahun setelahnya, saat Rudi kembali ke Jepang untuk urusan bisnis, pertemuan mereka terjadi lagi. Bukan dengan niat khusus, hanya sekadar sapaan di tengah kota yang dingin.
Namun, pertemuan itu menjadi awal dari sesuatu yang tak seharusnya. Alih-alih sekadar bertukar kabar, Mamiya mulai mengiriminya pesan setiap malam. Pesan-pesan pendek yang awalnya hanya berisi “Arigatou atas perhatianmu,” perlahan berubah menjadi curahan hati panjang yang dipenuhi kesepian dan nostalgia.
Di apartemen mewah itu, sunyi menjadi saksi ketika batas kesetiaan perlahan larut. Bercampur birahi, mereka mencari tempat berlindung dengan cara yang salah.
"Aku akan menjamah kebunmu yang empat tahun telah gersang, Mamiya. Apakah ini lebih nikmat daripada milik istriku?" Pria itu menyentuh daging empuk di bawah perut rata wanita itu.
"Jangan samakan aku dengan Maya. Justru rasa rindu kita yang menumpuk berpuluh-puluh tahun yang akan memberikan jawabannya."
"You're right, Honey."
Tatapan mereka saling bertaut, terlalu lama untuk sekadar sapaan. Ucapan manis dan kenangan masa lalu mengisi jarak di antara mereka, hingga akhirnya batas itu menguap, berganti dengan kehangatan yang seharusnya tak pernah terjadi.
Di antara cahaya lampu malam yang temaram, Rudi dan Mamiya menukar kesepian mereka dengan pelukan, desahan dan keringat yang berlumur dosa. Tanpa sadar, membuat seorang istri menangis diam di kamar sendirian.
Usai malam itu, Rudi bangkit dengan napas yang berat. Ia merapikan jasnya, menatap Mamiya yang masih terbaring dengan mata rayuan. "Aku akan kembali setelah semuanya beres," ucapnya pelan, sambil meletakkan cek bertuliskan 50 juta.
Begitu pintu tertutup, keheningan menelan segalanya. Mamiya duduk, menatap kepergiaannya dengan mata sendu lalu tersenyum miring. “Cih. Hanya 50 juta?” bisiknya. “Kalau begitu... aku juga punya urusan yang harus kuselesaikan.”
Ia melangkah ke luar, menuju lantai di bawah tempat Naomi tinggal. Rasa rindu dan kasih sebagai seorang ibu membuncah setelah empat tahun tak bersua meski mereka masih berbagi pesan lewat ponsel.
Saat pintu terbuka, Naomi menatapnya dengan senyum penuh arti. "Yatta!! Rudi ojisan ga Mama o koko ni tsurete kite kurete, ureshii. Mama, hontoni kuchi ga jouzu da ne~♡" (“Aku senang akhirnya Paman Rudi bisa membawa Mama ke sini. Mama hebat banget ngerayu dia,”)
Kita Bahasa-kan di sini, yes.
Mamiya tertawa kecil, nada bicaranya ringan tapi mengandung racun. “Kita sama-sama perempuan cerdik, sayang. Harta turunan dari Tuan Hiyashi sangat banyak. Kamu ambil cucunya, dan Mama ambil mantunya.”
Naomi mendengus manja, “Tapi aku sebal, Mama.”
“Eeehhh, kenapaa?”
Naomi menunjuk Dilan yang duduk di sofa, wajahnya cemberut. “Dokter nggak ngizinin aku marah-marah atau stres. Padahal aku pengen banget labrak keluarga Naru dan buru-buru nikah sama dia...”
Tangannya mengelus perutnya yang telah membulat enam bulan. “Dia bilang aku harus lahirin anak ini dulu. Huff...”
Mamiya tersenyum samar. “Bersabarlah, sayang. Setiap permainan besar butuh waktu. Yang penting... mereka semua nggak tahu siapa sebenarnya kita.”
Mata Naomi menajam. “Tapi Mama lakukan ini karena dendam, kan. Iri lihat Maya-san sukses, punya keluarga hangat dan ingin rebut suaminya!”
Mamiya mencebik.
Naomi menyentuh dada dengan bangga, “Kalau aku? Ini karena cinta. Cinta mati ke Naru. Aku rindu sentuhannya, Mama. Aku mau punya apa yang seharusnya jadi milikku.”
Di sudut sofa, Dilan duduk menyendiri, menonton dua perempuan itu seperti menitipkan penilaian di kepala. Matanya tak banyak bicara, tapi pikirannya berputar cepat. "Tanpa kusadari, aku memelihara ular manusia yang beracun... ular yang bisanya bisa merayap sampai ke nurani.”
Ia menelan ludah pelan, lalu menegaskan pada dirinya sendiri, “Aku akan pantau mereka. Entah aku akan sejalan dengan rencana mereka atau tidak. Jujur, Aku pun tak peduli pada Naru.”
Beberapa hari kemudian...
Event Peragaan Busana Seni dan Desain di kampus A berjalan megah. Lampu-lampu sorot menari di sepanjang panggung, memantulkan warna-warni kain dan tekstur yang tidak biasa. Nuha datang bersama Kanaya dan Sari.
“Oh, jadi begitu…” akhirnya Nuha mengangguk pelan, memahami penjelasan Kanaya.
“Yap,” ujar Kanaya antusias, “jadi busana di sini memang dibuat beyond marketable. Mereka menampilkan ide, bukan sekadar produk. Tujuannya buat nunjukin kreativitas dan filosofi desain. Karena kalau cuma jualan baju biasa, nggak bakal ada nilai seninya.”
Nuha menatap model-model di atas panggung. Ada yang mengenakan gaun berlapis kain transparan berbentuk spiral, ada pula jas asimetris dengan sayap di punggung. Ia mulai memahami. Peragaan ini bukan sekadar soal pakaian, tapi cerita yang dituangkan lewat benang dan jarum.
Tepuk tangan menggema, penonton bersorak riuh, tapi Nuha tak begitu peduli. Ia sibuk mencatat ide dan teori baru yang baru saja ia serap. Hingga pandangannya berhenti pada sosok yang mencuri perhatian.
Wanita berambut cokelat gelombang halus itu duduk di barisan tamu kehormatan. Kulitnya putih pucat, hampir seperti porselen, kontras dengan kulitnya yang kuning langsat. Mata beningnya menatap panggung dengan wibawa yang tenang namun memesona.
“Dia siapa?” tanya Nuha pelan.
Kanaya tahu segalanya. “Itu Nyonya Ellisa Mentari Adhipati. Mahasiswi tingkat akhir, tapi udah punya brand sendiri. Koleksinya sering dipakai buat fashion week, bukan cuma pameran kampus.”
“Nyonya?” Nuha mengerutkan dahi.
“Iya, dia istri konglomerat besar. Bos Sam Adhipati, pemilik perusahaan multimedia top di negeri ini.”
Nuha menatap kagum. "Hebat sekali. Seusia itu, tapi sudah punya karya dan posisi."
“Kalau aku nunjukin desainku… Apa yang bakal terjadi ya?" gumamnya dalam hati, lirih tapi jujur. "Apa aku bisa dapat kesempatan seperti dia?”
Kanaya menoleh, membaca gelagat itu. “Perlu kita menemuinya?” tawarnya dengan senyum nakal.
“Apakah bisa?” tanya Nuha ragu.
Kanaya mengangkat bahu, lalu berfikir sebentar. “Hmm… dia memang dijaga ketat sama bodyguard. Tapi kalau niat kita baik, aku yakin dia nggak akan nolak. Lagian, siapa yang bisa nolak pesona kita?” Ia menyeringai, menampakkan deretan gigi putih yang kontras dengan kulit sawo matangnya.
Nuha hanya bisa tersenyum kecil, campuran antara gugup dan penasaran. "Mungkin aku harus mencobanya," balas Nuha tersenyum pada Kanaya.
Sari yang tampak bosan, seakan meminta imbalan. "Kay, habis ini kita clubbing ya," desahnya.
"Bagus juga tuh, okey Sari!" Kanaya setuju.
.
.
.
. Apa? ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊