Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.
Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.
Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.
✯
Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Begitu Rada keluar dari ruang ganti, semua kepala otomatis menoleh. Gaun pertama yang ia kenakan memang indah, model off-shoulder dengan potongan dada rendah dan belahan halus di bagian samping. Kainnya berkilau lembut setiap kali Rada melangkah, membuatnya terlihat mempesona.
Lauren dan Istina sama-sama menahan napas kagum.
“Ya Tuhan, cantik sekali,” gumam Istina.
Lauren bahkan langsung mengeluarkan ponselnya, “Sebentar, aku mau ambil foto dulu, Rada! Kamu kelihatan seperti bidadari.”
Rada hanya tersenyum kikuk, menatap bayangan dirinya di cermin panjang di depan. Ia merasa sedikit tidak nyaman dengan potongan gaun yang terlalu terbuka, tapi mencoba bersikap santai agar tidak mengecewakan siapa pun.
Sementara itu, Gavin berdiri di sudut ruangan bersama Alex yang baru datang membawa dokumen. Dari sana, pandangannya tak lepas dari Rada. Tatapannya tajam, bukan karena kagum, tapi karena marah entah pada siapa.
“Turunkan pandanganmu, Alex.” Perintahnya dingin pada Alex yang sejak Rada keluar tak mengalihkan matanya sedikitpun dari Rada.
“Ya, pak.” Meski ingin mengumpat, Alex tetap mengikuti perintah Gavin. Bisa rugi kalau Gavin memecatnya.
Begitu semua mata tertuju pada Rada, suara berat Gavin tiba-tiba memotong keheningan.
“Jelek.”
Suasana langsung hening. Semua orang, termasuk desainer butik, menatap Gavin dengan terkejut. Lauren spontan menoleh, “Apa katamu, Nak?”
Gavin tetap santai, wajahnya datar tapi sedikit merah. “Aku bilang jelek. Belahannya terlalu rendah. Tidak cocok untuk Rada.”
Rada menatapnya tajam. “Maaf? Ini bukan urusanmu untuk—”
“Ini pernikahan kita, jadi urusanku sepenuhnya,” potong Gavin tegas. “Aku tidak akan membiarkan tamu undangan menatapmu seperti… itu.”
Nada suaranya terdengar dingin, tapi ada sesuatu di balik kata-katanya, semacam rasa protektif yang bahkan Gavin sendiri mungkin tidak sadari.
Desainer butik yang tadi tertegun segera menanggapinya dengan senyum ramah. “Baiklah, kalau begitu kita coba yang lain saja, ya, Nona Rada. Saya punya satu desain yang lebih elegan.”
Rada hanya menghela napas dan menatap Gavin dengan kesal sebelum kembali ke ruang ganti.
“Jelek, katanya…” gumamnya dengan nada sinis sambil menatap pantulan dirinya di cermin. “Padahal yang tidak bisa menahan diri menatap tadi siapa?”
Beberapa menit berlalu sebelum tirai ruang ganti kembali terbuka. Kali ini, suasananya berubah total.
Rada melangkah keluar perlahan mengenakan gaun kedua dengan model long-sleeve illusion gown dengan renda tipis yang menutupi bahu hingga pergelangan tangan, potongan leher berbentuk boat neck yang menampilkan keanggunan tanpa menonjolkan kulit terlalu banyak. Kain bawahnya jatuh lembut, berlapis tulle tipis yang mengikuti setiap langkahnya seperti kabut yang bergerak pelan.
Cahaya dari lampu kristal di atas mereka memantul di permukaan kain berwarna gading pucat, membuatnya tampak berkilau lembut.
Rada terlihat anggun, tenang, dan menawan, bukan dalam arti menggoda, tapi elegan dan berwibawa.
Lauren memegang dada, “Ini… ini luar biasa, Rada.”
Istina pun mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Kamu terlihat seperti pengantin sungguhan sekarang.”
Sementara itu, Gavin terdiam di tempatnya.
Ia hanya menatap tanpa kata, tanpa gerak, tapi sorot matanya berubah total. Tatapan tajam dingin tadi berganti menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih sulit dijelaskan. Alex, yang berdiri di sampingnya, bahkan sempat melirik sekilas, lalu tersenyum samar menyadari perubahan ekspresi sang CEO.
Desainer butik mendekat dan membetulkan sedikit lipatan kain di sisi rok. “Saya tahu ini lebih cocok untukmu, Nona. Anggun tapi tetap kuat. Kamu punya aura yang… bagaimana ya, tidak semua wanita bisa menampilkan ini.”
Rada hanya tersenyum kecil, masih menatap dirinya di cermin. “Aku juga lebih suka yang ini.”
Namun ketika ia menoleh, ia tanpa sengaja bertemu pandang dengan Gavin. Tatapan itu membuat jantungnya berdebar tanpa sebab.
Gavin berjalan perlahan mendekat, berhenti hanya satu langkah darinya.
“Yang ini,” katanya datar, namun suaranya lebih rendah dari biasanya. “Kamu pakai yang ini aja.”
Rada menatapnya sinis, tapi ada rona halus di pipinya. “Aku tidak butuh persetujuanmu.”
Gavin mencondongkan tubuh sedikit, cukup agar hanya Rada yang mendengarnya. “Sayangnya, kita berdua sedang memilih gaun pernikahan kita, Rada. Jadi, mau tak mau, kamu memang butuh persetujuanku.”
Rada mendengus pelan, tapi tidak menjawab. Ia hanya memutar bola matanya dan melangkah menjauh, sementara dua ibu mereka tersenyum bahagia, tanpa sadar betapa tegang udara di antara keduanya.
Tak lama setelah Rada kembali ke ruang ganti untuk melepas gaunnya, giliran Gavin yang dipanggil oleh desainer. Ia tampak malas awalnya, tapi karena didesak oleh ibunya, ia akhirnya menuruti juga.
Beberapa menit kemudian, Rada keluar dengan mengenakan pakaian biasa, lalu tanpa sengaja pandangannya langsung tertuju ke arah Gavin yang baru saja keluar dari ruang fitting.
Untuk sesaat, Rada lupa bernapas.
Gavin berdiri di depan cermin besar, mengenakan setelan pengantin pria berwarna abu-abu tua dengan potongan rapi khas tailored suit. Jasnya pas membingkai bahu tegap dan tubuh proporsionalnya, kemeja putih di dalamnya menonjolkan warna kulitnya yang cerah, dan dasi berwarna ivory senada dengan gaun pengantin Rada sebelumnya. Kombinasi itu terlihat... terlalu serasi.
Bahkan desainer yang biasanya profesional pun sempat berdehem kecil sebelum berkata pelan, “Kalian berdua benar-benar tampak seperti pasangan yang dibuat untuk satu sama lain.”
Rada cepat-cepat menunduk, pura-pura memeriksa ponselnya, tapi matanya terus saja melirik diam-diam. Baru kali ini ia memperhatikan dengan benar. Rahang tegas itu, rambut yang sedikit acak namun tetap rapi, sorot mata dingin yang justru makin memikat di bawah cahaya hangat ruangan.
Dan tanpa bisa dikendalikan pikirannya berbisik pelan, dia jauh lebih tampan daripada si bajingan El.
Namun sebelum ia sempat mengalihkan pandangan, Gavin menatap balik padanya seolah tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Sudut bibirnya terangkat sedikit, samar tapi jelas.
“Kamu sepertinya tak bisa berhenti menatap,” ucapnya pelan, nada suaranya datar tapi mengandung godaan yang halus.
Rada langsung mendengus, “Aku cuma memastikan dasimu tidak miring. Akan sangat lucu kalau calon pengantin pria tampil berantakan.”
Gavin berjalan mendekat, menunduk sedikit, lalu dengan sengaja bertanya pelan, “Jadi aku… tampan di matamu?”
Wajah Rada memanas seketika, tapi ia menolak mundur. “Percayalah, aku juga akan bilang tampan pada manekin kalau pakai jas sebagus itu.”
Alex yang berdiri tak jauh dari mereka nyaris tersedak menahan tawa, sementara kedua ibu mereka sibuk berfoto dan memberi pujian pada desainer, tak menyadari percikan halus di antara keduanya.
Gavin hanya mengulas senyum kecil, lalu berbisik, “Aku akan anggap itu pujian, Rada.”
Rada berbalik dengan cepat, menyembunyikan rona di pipinya, tapi dalam hati ia tahu ada sesuatu yang berubah sejak melihat Gavin dengan pakaian pengantin itu. Entah kenapa, untuk pertama kalinya, bayangan El sama sekali tidak lagi membuat hatinya bergetar.
...✯✯✯...
...Like, komen dan vote....