Di kota megah Aurelia City, cinta dan kebencian berjalan beriringan di balik kaca gedung tinggi dan cahaya malam yang tak pernah padam.
Lina Anastasya, gadis sederhana yang keras kepala dan penuh tekad, hanya ingin bertahan hidup di dunia kerja yang kejam. Namun, takdir mempertemukannya dengan pria paling ditakuti di dunia bisnis Ethan Arsenio, CEO muda yang dingin, perfeksionis, dan berhati beku.
Pertemuan mereka dimulai dengan kesalahpahaman konyol, berlanjut dengan kontrak kerja yang nyaris seperti hukuman. Tapi di balik tatapan tajam Ethan, tersembunyi luka masa lalu yang dalam… luka yang secara tak terduga berhubungan dengan masa lalu keluarga Lina sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 1
Aurelia City berkilau di bawah matahari pagi. Gedung-gedung kaca memantulkan langit biru tanpa cela, dan di antara mereka, yang paling menjulang adalah Menara Arsenio Group sebuah raksasa dari baja dan ambisi.
Bagi Lina Anastasya, gedung itu terasa seperti akan menelannya hidup-hidup.
"Kau pasti bisa, Lina," gumamnya pada pantulan dirinya di pintu lobi yang mengilap. Ia merapikan blus sederhananya yang meski merupakan pakaian terbaiknya terasa kusam di tengah lautan setelan mahal yang berlalu-lalang.
Hari ini adalah hari pertamanya sebagai... yah, ia bahkan belum yakin jabatannya apa. Sesuatu di departemen administrasi umum. Surat penerimaannya datang begitu cepat setelah wawancara singkat yang aneh minggu lalu.
Lina memegang erat-erat pass card sementaranya dan secangkir kopi panas yang ia beli di kafe kecil seberang jalan. Kafein adalah keberanian instan yang ia butuhkan.
Lantai 30. Departemen SDM.
Langkah Lina sedikit terburu-buru saat keluar dari lift. Ia terlalu fokus membaca denah di ponselnya, mencoba mencari tahu di mana letak meja SDM, sampai ia tidak melihat sosok tinggi yang melangkah keluar dari lift pribadi di tikungan koridor.
BRUK!
Tabrakan itu tidak terhindarkan. Tubuh Lina terhuyung ke belakang, tapi yang lebih parah, kopi di tangannya menyembur tepat ke dada sosok itu.
Cairan cokelat panas itu langsung meresap ke kemeja putih bersih dan jas charcoal grey yang terlihat sangat, sangat mahal.
Waktu seolah berhenti.
"Ya Tuhan!" pekik Lina, panik. Cangkir plastiknya jatuh menggelinding. "Maaf! Maafkan saya, Tuan! Saya... saya tidak lihat..."
Dalam kepanikannya, Lina melakukan kesalahan fatal. Ia merogoh tasnya, mengeluarkan sebungkus tisu, dan mencoba mengelap noda di jas pria itu.
Sebuah tangan sekuat baja mencengkeram pergelangan tangannya, menghentikan gerakannya seketika.
"Jangan," desis sebuah suara.
Suara itu tidak keras, tapi begitu dingin menusuk hingga membuat bulu kuduk Lina meremang.
Lina mendongak. Dan membeku.
Pria di depannya sangat tinggi. Wajahnya dipahat dengan presisi tajam rahang tegas, hidung lurus, dan mata yang... ya Tuhan, matanya. Mata itu sedingin es di musim dingin, menatapnya dengan tatapan membunuh. Auranya begitu kuat, membuat udara di sekitar mereka terasa menipis.
Ini bukan manajer biasa. Ini adalah aura seorang raja.
"Saya... saya benar-benar minta maaf," bisik Lina, menarik tangannya perlahan. Pergelangan tangannya terasa sakit.
Pria itu tidak memedulikannya. Ia menatap noda kopi di jasnya dengan ekspresi jijik yang tak terselubung. Jas itu kini hancur.
"Apakah kau tahu," suaranya tenang, namun mematikan, "harga jas ini?"
Lina menelan ludah. "Saya... saya bisa ganti rugi, Tuan. Saya akan bayar biaya cuci..."
Pria itu mendengus pelan. Nyaris seperti tawa, tapi tanpa humor sedikit pun. "Biaya cuci? Jas ini dibuat custom di Milan. Harganya mungkin lebih mahal dari seluruh isi lemari pakaianmu."
Wajah Lina memucat.
Tepat saat itu, seorang wanita paruh baya berlari tergopoh-gopoh dari arah lift.
"Predir Ethan! Anda tidak apa-apa?" serunya, sebelum matanya terbelalak melihat noda di jas CEO nya.
"Astaga!"
Presdir... Ethan?
Jantung Lina serasa jatuh ke lambungnya. Ethan Arsenio. Sang CEO misterius Arsenio Group. Orang yang akan menandatangani slip gajinya.
Orang yang baru saja ia mandikan dengan kopi murah.
Mata dingin Ethan Arsenio akhirnya beralih dari noda di jasnya, kembali menatap wajah Lina yang ketakutan. Ia melirik pass card sementara yang masih tergantung di leher Lina.
Mata elangnya menyipit, membaca nama itu.
"Lina Anastasya," ujarnya, menyebut nama itu seolah sedang mencicipi racun.
Ethan melangkah maju satu langkah. Lina refleks mundur satu langkah, punggungnya menabrak dinding koridor. Ia terpojok.
"Hari pertama?" tanya Ethan, suaranya tetap sedingin es.
Lina hanya bisa mengangguk kaku.
Ethan menatapnya dari atas ke bawah, penilaiannya begitu intens hingga Lina merasa telanjang.
"Hari pertamamu," ulang Ethan, "dan kau baru saja melakukan bunuh diri karier."