Langit senja berwarna jingga keemasan, perlahan memudar menjadi ungu lembut. Burung-burung kembali ke sarang, sementara kabut tipis turun dari gunung di kejauhan, menyelimuti desa kecil bernama Qinghe. Di ujung jalan berdebu, seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun berjalan tertatih, memanggul seikat kayu bakar yang nyaris dua kali lebih besar dari tubuhnya.
Bajunya lusuh penuh tambalan, rambut hitamnya kusut, dan wajahnya dipenuhi keringat. Namun, di balik penampilan sederhananya, sepasang mata hitam berkilau seolah menyimpan sesuatu yang lebih besar daripada tubuh kurusnya.
“Xiao Feng! Jangan lamban, nanti api dapur padam!” teriak seorang wanita tua dari rumah reyot di pinggir desa. Suaranya serak tapi penuh kasih. Dialah Nenek Lan, satu-satunya keluarga yang tersisa bagi bocah itu.
Xiao Feng menyeringai meski peluh bercucuran.
“Ya, Nenek! Sedikit lagi! Kayu ini lebih keras kepala dari banteng gunung, tapi aku akan menaklukkannya!”
Nenek Lan hanya mendengus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 – Jejak Darah di Kota Hongya
Fajar menyelimuti kota Hongya dengan cahaya pucat. Jalan-jalan berbatu basah oleh embun, tapi udara pagi terasa berat. Bukan lagi kehangatan pedagang yang biasanya menyambut hari, melainkan bisik-bisik ketakutan.
Penginapan tempat pertempuran terjadi masih berdiri, meski pintunya hancur, meja-meja patah, dan lantai kayunya penuh bekas darah. Sejumlah warga berkerumun di luar, berbisik pelan.
“Aku dengar semalam Sekte Naga Merah menyerbu tempat ini.”
“Bocah itu… Xiao Feng, bukan? Katanya dia sendirian melawan belasan orang.”
“Itu tidak mungkin… atau jangan-jangan benar? Dia bisa memanggil bayangan naga.”
Suasana kota menjadi liar. Ketakutan dan kekaguman bercampur, seakan api rumor tak bisa dipadamkan lagi.
Di dalam kamar yang rusak parah, Xiao Feng duduk bersandar pada dinding, wajahnya pucat. Ling’er mengganti perban di lengannya dengan hati-hati, matanya masih merah karena kurang tidur.
“Bodoh… kalau kau terus bertarung seperti itu, tubuhmu akan hancur sebelum mencapai tujuanmu,” bisiknya pelan.
Xiao Feng menahan rasa sakit sambil menatapnya. “Aku tidak punya pilihan lain, Ling’er. Jika aku tidak melawan… aku sudah mati sejak tadi malam.”
Tangannya yang lemah menggenggam giok di lehernya. Batu itu masih bergetar samar, seakan merespons perasaan tuannya.
Apakah ini yang disebut jalan kultivasi? Setiap langkah dibayar dengan darah… pikirnya.
Kabar tentang pertempuran itu menyebar cepat. Penjaga kota kini berpatroli lebih ketat, namun jelas ketakutan menyelimuti mereka. Sekte Naga Merah bukan kelompok yang bisa diremehkan.
Di pasar, pedagang berbisik lirih.
“Kalau sekte itu benar-benar marah, kota Hongya bisa hancur.”
“Tapi… kalau bocah itu benar-benar pewaris naga, bukankah ia bisa melindungi kita?”
“Kau gila? Dia hanya satu orang, bagaimana bisa melawan sekte?”
Di sisi lain, mata-mata dari sekte lain dan kerajaan mulai berdatangan. Semua ingin memastikan kebenaran rumor itu. Bocah desa yang bisa memunculkan naga api bukan sekadar gosip biasa.
Sore harinya, Xiao Feng mencoba berjalan keluar meski tubuhnya masih lemah. Di tepi sungai, ia bertemu dengan pria berjubah abu-abu, wajahnya setengah tertutup. Sosok itu adalah orang yang dulu menolongnya dari serangan binatang buas: Shen Lao, pengembara misterius.
“Jadi, akhirnya kau menunjukkan taringmu, bocah,” kata Shen Lao sambil menatap aliran sungai. Suaranya tenang, tapi penuh arti.
Xiao Feng menunduk hormat. “Aku tidak punya niat pamer, Senior. Aku hanya berusaha bertahan.”
“Hahaha…” Shen Lao tertawa kecil, namun matanya tajam. “Bertahan? Kau membantai lebih dari separuh kelompok Sekte Naga Merah. Itu bukan sekadar bertahan. Itu adalah pernyataan.”
Xiao Feng terdiam, jantungnya berdegup. Kata-kata itu menembus ke hatinya.
Shen Lao melanjutkan, “Mulai hari ini, namamu tidak akan lagi tersembunyi. Semua sekte, kerajaan, bahkan dunia iblis, mungkin akan mengingatmu. Dan mereka akan memburumu. Apa kau siap?”
Keringat dingin menetes dari pelipis Xiao Feng. Ia tahu Shen Lao benar. Tapi meski takut, ia mengepalkan tangan.
“Kalau ini jalannya, maka aku akan melangkah. Lebih baik mati menatap langit… daripada hidup merangkak di tanah.”
Shen Lao menatapnya lama, lalu tersenyum samar. “Hm. Jawaban yang bagus. Kalau begitu, aku tidak akan menghalangimu. Ingatlah, Xiao Feng… semakin tinggi kau naik, semakin banyak darah yang akan mengalir.”
Malam tiba. Di markas cabang Sekte Naga Merah, laporan tentang kegagalan menyebar cepat. Seorang pria berotot besar duduk di kursi utama, wajahnya penuh bekas luka.
“Seorang bocah… membantai separuh pasukanku?” suaranya dalam, penuh amarah. Ia adalah Pengawas Darah, pemimpin cabang sekte di wilayah Hongya.
Anak buahnya berlutut gemetar. “Benar, Tuan. Bocah itu… memiliki giok hijau yang bisa memanggil bayangan naga. Kami tidak sanggup menandinginya.”
Pengawas Darah menggebrak meja kayu hingga pecah. “Bocah itu berani menodai nama Sekte Naga Merah?! Hahaha… baiklah. Kalau begitu, aku sendiri yang akan turun tangan. Aku ingin kepalanya digantung di gerbang kota.”
Tawa kejamnya bergema, menandai awal bencana yang lebih besar.
Di penginapan, Xiao Feng berdiri di balkon, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Luka di tubuhnya masih perih, tapi hatinya lebih mantap.
Ling’er berdiri di sampingnya, masih khawatir. “Apa yang akan kau lakukan sekarang?”
Xiao Feng menggenggam giok erat. “Aku tidak bisa tinggal di kota ini lebih lama. Sekte Naga Merah tidak akan berhenti. Aku harus pergi… mencari kekuatan lebih besar, sebelum mereka menghancurkan segalanya.”
Ling’er menunduk. “Kalau begitu… aku akan ikut denganmu.”
Xiao Feng terkejut, menoleh padanya. “Apa kau tidak takut? Jalan ini sangat berbahaya.”
Ling’er tersenyum pahit. “Aku sudah takut sejak pertama kali melihatmu terluka. Tapi… lebih menakutkan jika aku membiarkanmu pergi sendirian.”
Mata Xiao Feng melembut. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada cahaya di tengah gelapnya jalan yang ia pilih.
Suara burung hantu terdengar dari kejauhan, membawa hawa dingin malam. Xiao Feng memandang bintang sekali lagi.
Ayah, Ibu… aku tidak tahu di mana kalian berada. Tapi aku akan terus melangkah. Dunia ini mungkin penuh darah dan api, tapi aku tidak akan pernah mundur. "
Giok di lehernya bergetar lagi, seakan menyetujui sumpah itu.
Di kejauhan, bayangan besar bergerak. Pengawas Darah sedang bersiap menuju kota.
Pertempuran yang lebih dahsyat hanya tinggal menunggu waktu.