Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lupakan Malam Itu
Udara pagi masih dingin, embun menempel di kaca jendela rumah-rumah yang berjajar rapi. Eleanor meraih tasnya, mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyerahkannya pada sopir.
“Merci, madame,” ucap sopir singkat.
Eleanor hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia membuka pintu taksi lalu melangkah dengan cepat. Rumahnya minimalis bercat putih dengan pintu kayu cokelat yang berdiri di antara bangunan lain. Ia mendekap tas di dadanya lalu menapak lantai trotoar dengan sepatu hak yang hampir patah. Ia menekan password hingga pintu kayu itu terbuka. Begitu ia masuk dan menutup pintu di belakangnya, seluruh tubuh Eleanor akhirnya runtuh.
Punggungnya menempel pada daun pintu, dadanya naik turun dengan keras seperti baru lari marathon.
Eleanor menghembuskan napas panjang, ia menutup mata sebentar berusaha menghapus kilasan tangan kokoh yang menahannya tadi malam. Namun semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas bayangan itu. Eleanor menjatuhkan tasnya sembarangan di kursi dekat pintu, lalu menyeret langkah ke arah kamar mandi. Setiap gerakan kakinya terasa berat seolah tubuhnya tidak lagi milik sendiri.
Lampu kamar mandi menyala, cahaya putihnya memantul ke ubin dingin. Eleanor berdiri di depan wastafel, menatap pantulan dirinya di cermin besar di dinding. Ia menelan ludah, matanya turun meneliti lehernya dan di sana ada bekas samar. Sebuah jejak merah yang tak bisa disangkal lagi.
Jemarinya terangkat gemetar menyentuh kulitnya sendiri. Ingatan kilat melintas jelas bagaimana bibir Nicholas menempel di sana, bahkan hembusan napasnya ketika berbisik di telinga. Eleanor terhuyung, cepat-cepat ia menjauh dari cermin dan menggenggam tepi wastafel erat-erat untuk menopang tubuhnya.
“Gila…” gumamnya parau, hampir seperti sebuah umpatan.
Eleanor menutup mata rapat, menolak melihat pantulan dirinya lagi. Ia berbalik, melepas gaun pesta yang sudah kusut parah dan menjatuhkannya ke lantai. Tubuh telanjangnya melangkah masuk ke dalam shower, memutar keran hingga air hanga mengguyur tubuhnya deras. Uap air segera memenuhi ruangan, menyelimuti kaca dengan lapisan kabut tipis. Ia hanya berdiri mematung membiarkan air mengalir menuruni wajah lalu jatuh ke bahunya. Suhu hangat seharusnya menenangkan, tapi justru membakar kulitnya.
Setiap tetes air seakan membangkitkan kembali jejak semalam saat sentuhan Nicholas melekat di sepanjang tubuhnya, ciuman kasar yang menekan hingga ia kehilangan napas hingga cara tubuhnya menyerah perlahan meski pikirannya menolak.
Eleanor menyandarkan dahinya pada dinding dingin. Kedua matanya terpejam rapat meratapi kejadian tadi malam.
“Ini gila… aku gila…” bisiknya di antara desahan napas.
Tangannya bergerak gemetar, menyentuh lehernya tempat bekas merah itu masih terasa. Ia mengusapnya keras seakan ingin menghapusnya, tapi sia-sia.
Air mengguyur tanpa henti, tapi bukannya membersihkan justru membuat ingatan semakin hidup. Ia bisa mendengar suara berat Nicholas, bisa merasakan panas napasnya di telinga, bisa merasakan berat tubuhnya menekan. Dengan gerakan mendadak, Eleanor memutar keran hingga shower berhenti. Hening langsung mengisi ruangan, hanya suara tetes-tetes air dari rambut dan kulitnya yang tersisa. Ia menarik handuk, melilitkan erat-erat di tubuhnya lalu melangkah keluar dengan napas masih tersengal.
Eleanor berjalan keluar dari kamar mandi dengan tubuh hanya dibalut handuk tebal. Kakinya menyeret malas menuju ruang tamu. Begitu menjatuhkan diri ke sofa, ia mengambil napas panjang lalu menunduk menyembunyikan wajah di antara lututnya. Beberapa detik ia hanya diam begitu saja. Kemudian dengan gerakan otomatis, ia bangkit menuju dapur kecil di sudut ruangan. Tangannya meraih cangkir, menyalakan mesin kopi lalu menunggu dengan kesabaran yang hampa.
Aroma kopi panas segera memenuhi ruangan, seharusnya menenangkan namun justru membuatnya makin sadar. Ia kembali ke sofa menggenggam cangkir erat-erat, menatap cairan hitam itu tanpa benar-benar meminumnya.
Eleanor menggeleng pelan. “Tenang Eleanor, itu hanya… sebuah kesalahan. Satu malam gila, tidak lebih.”
Ia ingin percaya kalimat itu, mengulanginya dalam hati seperti mantra. Bahwa malam itu tidak berarti apa-apa. Mereka mabuk lalu melakukannya, tidak ada paksaan, sama-sama mau.
Eleanor meneguk kopi itu akhirnya, meresapi rasa pahitnya sedikit-demi sedikit di lidah untuk melupakan apa yang terjadi tadi malam. Lupakan Eleanor… lupakan, sugestinya pada diri sendiri.
Ia menggigit bibir bawahnya, jari-jarinya meremas cangkir terlalu kencang.
Ia mencoba mengingat detail terakhir saat tubuhnya hampir tidak mampu menahan lagi, lalu ia membeku.
Apakah Nicholas… membuangnya di dalam? Atau di luar?
Kepalanya langsung terangkat dengan napas tercekat.
Tidak mungkin, itu tidak mungkin. Ia mengatur pola napasnya yang tak beraturan berusaha menenangkan detak jantung yang semakin kacau.
“Satu kali… tidak akan membuatku hamil,” bisiknya dengan suara getir mencoba membangun keyakinan memohon pada dirinya sendiri.
Ia mengulanginya sekali lagi, lebih pelan, sambil menutup mata rapat-rapat. Detak jam seakan mengejek setiap detik yang berlalu, membawa ketakutan baru yang tak ingin ia hadapi.
Alarm ponselnya bergetar di atas meja mengingatkan rutinitas pemiliknya yang tak bisa ia hindari. Eleanor membuka mata perlahan, tubuhnya masih berat tapi ia tahu ia tak punya pilihan selain bangkit. Dengan gerakan terlatih ia menuju kamar tidur, membuka lemari kayu yang berisi deretan jas rapi, kemeja putih, rok pensil gelap, beberapa dress dan mantel panjang.
Ia memilih satu setelan netral, lalu berdiri di depan cermin panjang. Rambutnya dikeringkan lalu disisir rapi, wajahnya dipoles kembali dengan sentuhan make-up tipis yang elegan. Ditambah sedikit foundation, eyeliner tegas dan lipstik nude yang mempertegas bentuk bibirnya.
Bayangan perempuan yang kembali ke rumah dengan rambut dan wajah berantakan kini kembali pada dirinya yang sebenarnya. Eleanor Chen, konsultan budaya Asia di Paris yang dihormati, anggun dan terkenal atas kecerdasan dan kerja kerasnya.
Ia meraih tas kerja kulit hitam, memasukkan berkas yang semalam tak sempat disentuh. Hanya sebentar ia terhenti untuk menatap dirinya sekali lagi di cermin. Melihat bayangan wanita yang sudah melewati pasang surut kehidupan, berjuang keras selama tujuh belas tahun untuk menemukan potensi dan kekuatan dalam dirinya. Ia bukan hanya berjuang untuk dirinya sendiri tapi juga untuk orang yang dikasihinya. Orang yang membuatnya bertahan dan hidup sampai sekarang. Wanita itu mengepalkan tangannya di kedua sisi merutuki kebodohannya yang mabuk dan terbuai pada orang yang membuatnya merasa kecil dan tak pantas. Seharusnya aku menghabiskan malam dengan berondong tampan, bukan dia.
Ia mengenakan sepasang heels hitam di kedua kaki jenjangnya lalu mematikan lampu kamar.
Lupakan Eleanor, mari lupakan dan hidup seperti biasanya.
Langkahnya mantap saat pintu rumah tertutup kembali. Ia masuk ke mobil mini yang ia beli dari tabungannya selama bertahun-tahun. Eleanor mengendarai mobilnya menembus embun pagi menuju Institusi budaya & Pusat Kebudayaan di pusat kota Paris, dekat dengan Menara Eiffel.
𝚋𝚒𝚊𝚛 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚝𝚊𝚖𝚋𝚊𝚑 𝚞𝚙𝚍𝚊𝚝𝚎 𝚡.. 🤭
𝚊𝚞 𝚖𝚎𝚗𝚞𝚗𝚐𝚐𝚞 𝙺𝚎𝚕𝚊𝚗𝚓𝚞𝚝𝚊𝚗 𝚡.. 💪