Niatnya ingin bertemu teman lama, Anne malah salah masuk kamar. Bukan bertemu teman malah bertemu lawan.
Sky dalam pengaruh obat merasa tenang saat seorang wanita masuk ke kamarnya. Ia pikir wanita ini telah di atur oleh asistennya untuk melepaskan hasratnya.
Anne memberontak saat Sky menarik dan menciumnya secara paksa. Tenaganya jelas tidak sebanding dengan pria ini. Sekuat tenaga memberontak pada akhirnya Anne hanya bisa pasrah. Kesuciannya diambil oleh orang yang sangat ia benci.
**
Bagaimana kelanjutan ceritanya?
Apa yang akan Sky lakukan saat tahu Anne hamil anaknya? Menikah atau ada opsi lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nur Anis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SKY : Terpaksa Setuju
Sky tiba di rumah sakit dengan kondisi tergesa-gesa. Terlebih melihat Lilia yang berada di pelukan Mama Indira dalam kondisi mata sembab habis menangis. Melihat kedatangan Sky, Papa Gleen segera menghampiri.
"Sky, tenanglah ibumu dalam kondisi baik. Untung saja tadi cepat dibawa ke rumah sakit."
Sky bernapas lega mendengarnya. "Syukur lah, tapi kenapa ibu bisa sampai seperti ini?" tanya Sky mengingat semalam mereka baik-baik saja tidak ada berdebat apapun.
Mendengar pertanyaan itu, Lilia berdiri dan menghampiri Sky. Menyodorkan buku kecil miliknya, sudah tertulis sebuah kalimat.
"Ibu memikirkan aku yang tidak mau kakak nikahi."
"Ini lagi?" ucap Sky mengepalkan tangan menahan kesal.
"Kenapa kamu harus jadi anak sambung ibuku sih? Menyusahkan saja. Ini gara-gara kamu yang tidak bisa mandiri jadi ibu terus kepikiran." Hardik Sky tanpa peduli dengan perasaan Lilia.
"Sky, jangan seperti itu." Mama Indira segera mendekati mereka. "Ini memang posisi yang sulit. Mama mengerti bagaimana yang dirasakan ibumu. Meski Lilia bukan anak kandungannya tapi sejak kecil Lilia dirawat olehnya. Apalagi kondisi Lilia seperti ini, tidak mudah bertahan di masa seperti sekarang, nak."
"Tapi kenapa harus menikah, ma? Tanpa menikah aku malah lebih ikhlas menjaganya." ujar Sky merasa tertekan.
"Sudah, ayo temui ibumu dulu. Kita harus bicara dengannya." Papa Gleen segera menarik anaknya masuk ruangan, meski Sky kesal namun bagaimanapun Sania adalah ibu kandungannya.
Terlihat Sania tidak mau melihat Sky, yang dicari hanya Lilia.
"Lilia, maafkan ibu sudah membuat mu khawatir."
Lilia menggelengkan kepala lalu menjawab dengan bahasa isyarat. "Ibu jangan ulangi lagi, aku sangat khawatir dan takut kehilangan mu. Cukup ayah yang pergi, ibu jangan."
Kurang lebih begitu yang Lilia sampaikan lewat isyarat tangan.
"Bagaimana ibu bisa pergi jika kamu masih sendiri. Siapa yang akan menjaga mu? Memperhatikan dirimu?" kata Sania membuat dada Sky terasa sesak.
"Kenapa selalu Lilia yang dipedulikan? Kenapa aku tidak?" batin Sky kembali kecewa.
Mama Indira langsung mengusap lembut punggung Sky seakan tahu isi hati putranya satu ini.
"Ibu, jangan menyiksa diri sendiri. Minumlah obat sesuai resep, jika memang itu di perlukan. Ibu seperti ini membuat kami khawatir terjadi sesuatu padamu." Sky berusaha bicara dengan pelan agar tidak menyinggung perasaan ibunya.
Namun sayang respon Sania malah tidak mengenakkan. "Jika kamu khawatir ibu kenapa-napa, nikahi Lilia secepatnya. Kecuali kamu memang ingin ibu mati cepat, tidak perlu mengkhawatirkan ibu."
"Aku tidak mau menikahi Lilia tapi bukan berarti tidak sayang ibu. Tolong sekali ini saja mengerti aku, bu." Sky benar-benar memohon pada ibunya.
Dengan gerakan cepat, tiba-tiba Sania mengambil pisau yang ada di pring buah dekat meja.
"Astaga, Sania apa-apaan kamu?" teriak Gleen lebih dulu.
"San, buang pisau itu. Bahaya!" Indira ikut berteriak memperingati.
"Bu, jauhkan pisau itu. Jangan melakukan sesuatu yang membahayakan." kata Sky turut panik dibuatnya.
Sedangkan Lilia mencoba mendekat tapi Sania langsung mendorongnya.
"Menjauh dari ibu, Lilia." kata Sania membuat Lilia kembali menangis tanpa suara.
"Ibuu.... " panggil Sky.
"Jangan panggil aku ibu. Kamu tidak bisa berbakti padaku. Menikahi Lilia saja menolak, padahal ibu hanya punya satu permintaan itu saja, Sky." jawab Sania membuat keadaan mendadak mencengangkan.
"Bu, aku benar-benar tidak bisa menikahinya. Ada alasan kuat yang memang belum bisa aku katakan. Tapi yang jelas, aku tidak bisa menikahi Lilia." sahut Sky mencoba mendekat tapi Sania semakin mendekatkan pisau ke lehernya.
"Sania, itu bahaya." Gleen kembali berseru memperingati.
"Tidak mau, aku lebih baik bunuh diri daripada hidup tapi tidak bahagia. Putraku sendiri tidak bisa menyenangkan aku. Dia juga selalu memuji kamu, Indira." ungkap Sania menatap sinis Indira.
"San, bukan begitu." Indira mencoba menjelaskan tapi Sania menghentikannya.
"Jangan bicara apapun, Indira. Aku membencimu. Dulu Gleen kamu rebut dari ku. Lalu sekarang, Sky juga kamu rebut dari ku. Jadi jangan bersikap kamu wanita baik di depan ku."
"Bu, jangan berpikir buruk seperti itu. Jika tidak ada Mama Indira aku mungkin tidak tumbuh seperti sekarang." Sky menyaut, membela mamanya.
"Jika tidak ada Indira, kita sudah menjadi keluarga bahagia bersama papamu, Sky. Ibu tidak perlu menahan cemburu dan berbagi suami dengannya. Kamu tahu alasan ibu pergi karena apa? Bukan karena bosan dengan papa mu tapi karena tidak mau berbagi cinta dengan orang lain. Dan ternyata benar, setelah ibu pergi malah lebih bahagia karena bertemu dengan ayahnya Lilia. Ibu dicintai sebagai istri satu-satunya. Jadi kamu harus balas budi dengan Lilia, karena dia dan ayahnya sudah membahagiakan ibu." perintah Sania membuat mereka kompak menggelengkan kepala.
"Bukan seperti itu cara balas budi, bu. Masih banyak hal lain yang bisa aku lakukan untuk Lilia." Sky mencoba membujuk ibunya.
"Sania, bukankah dulu kamu setuju kita berbagi kasih sayang dari Gleen. Jika memang tidak bahagia kenapa kamu tetap diam dan pergi dengan alasan bosan? Lalu kini malah menyalahkan aku?" ucap Indira.
"Itu karena aku tahu Gleen sudah jatuh cinta juga padamu. Memang jika aku bicara kalian mau bercerai? Tidak mungkin kan."
"Mungkin saja, jika memang kamu ingin dengan Gleen aku tidak masalah mundur. Kamu pikir 5 tahun pernikahan aku bisa mencintai Gleen? Tidak Sania. Aku tetap bertahan karena janji dengan almarhum mama tidak akan berpisah sampai usia pernikahan 5 tahun. Jika memang kami tidak bisa saling cinta, maka baru boleh berpisah. Tapi saat itu aku memiliki Ronal dan Sky, mereka butuh kasih sayang penuh dari kami. Baru seiring berjalannya waktu aku bisa mencintai dan menerima Gleen sebagai pasangan hidupku."
Indira bercerita dengan mata terurai air mata, mengingat betapa sulitnya saat itu harus hidup dengan pria yang belum dicintai sepenuhnya. Ditambah dua anak yang masih balita.
"Jangan bicara omong kosong, San. Sedari awal kita menikah, baik aku, kamu dan Indira sudah bicara bersama mendiskusikan masa depan kita. Jadi sekarang jangan bawa-bawa Sky untuk menuruti keinginanmu." tambah Gleen terlihat sangat kecewa sekali. Padahal dulu ia sangat mencintai Sania dibandingkan Indira.
"Kalian bohonnggg..." teriak Sania tetap tidak terima. "Sky, ibu beri pilihan untukmu. Berjanjilah menikahi Lilia atau ibu mati saja?"
Sania benar nekat, pisau sudah mulai ia goreskan sedikit di lehernya. Jelas itu membuat Sky panik setengah mati.
"Ibu, jauhkan benda itu. Aku mohonnn... " pinta Sky dengan suara bergetar.
"Sania, jangan seperti ini. Ayo kita bicara baik-baik. Kamu mau apa? Rumah untuk Lilia? Tanah? Mobil? Perusahaan? Aku bisa memberikan apa yang kamu mau demi masa depan kamu dan Lilia." Gleen memberikan penawaran tidak main-main.
"Iya, San. Kamu mau apa akan kami turuti. Tapi jangan seperti ini. Sky juga harus bahagia. Dan Lilia, kita cari solusi untuknya ya?" Indira juga tetap berusaha ikut membujuk Sania.
"Tidak mau, aku hanya mau Sky menikahi Lilia." sahut Sania kekeh dengan pendiriannya. "Sky, sepertinya kamu lebih ingin ibu mati, ya?"
Sania lebih nekat, ia semakin menekan pisau di lehernya hingga darah mulai terlihat.
"Baikkk, baikk aku akan menikahi Lilia."