Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Perintah itu meluncur dari bibir Lusi dengan ringan. Datar. Tanpa beban.
Seolah-olah ia hanya sedang membuang sesuatu yang tak berguna.
Para bodyguard bergerak.
Mawar dan Anjani menjerit. “T-Tidaaaak! J-Jangaaan!”
Tubuh mereka meronta sekuat tenaga, berusaha menarik kursi roda ibu mereka agar tidak didorong lebih jauh. Namun mereka kalah.
Jumlah mereka terlalu sedikit. Kekuatan mereka tak sebanding.
Kaki mereka hampir tergelincir di tepi jurang.
Angin laut berembus kencang, mencambuk wajah dan menyusup hingga ke tulang. Aroma asin yang menyengat bercampur dengan rasa takut yang menggantung di udara.
Dan di tengah kepanikan itu…
Ibu Resti, yang sedari tadi hanya bergumam dalam dunianya sendiri, tiba-tiba terdiam.
Tangan lemah yang gemetar di pangkuannya kini mencengkeram kain gaunnya erat-erat. Punggungnya yang biasanya membungkuk perlahan-lahan menegak.
Lalu ia mendongak.
Matanya bertemu dengan mata Lusi.
Tatapan kosongnya kini berubah tajam.
Seolah-olah, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kesadarannya kembali.
Suasana di tebing itu mendadak senyap.
Tak ada jeritan. Tak ada suara deburan ombak.
Hanya tatapan itu.
Tatapan seorang ibu yang telah kehilangan segalanya—dan kini, bersumpah untuk mengambilnya kembali.
Suaranya pelan, bergetar… tapi di baliknya, ada sesuatu yang membuat udara seakan membeku.
“Tunggu pembalasanku, Lusi…”
Lusi mengangkat alis.
Tubuhnya bergidik tanpa alasan yang jelas.
“Aku akan kembali…”
Nada suara itu bukan sekadar ancaman.
Bukan sekadar harapan kosong dari seorang wanita yang telah jatuh ke titik paling rendah dalam hidupnya.
Itu adalah janji.
“Aku akan mengambil semua yang kau rampas dariku…”
Hening.
Lusi menatapnya beberapa detik, lalu…
Ia tertawa.
Bukan tawa lega. Bukan tawa hangat.
Melainkan tawa yang dingin, meremehkan.
Tawa seolah ia baru saja mendengar lelucon paling konyol di dunia.
Ia mendekat perlahan, wajahnya dipenuhi dengan seringai meremehkan.
“Kau akan kembali? Oh, Resti... Resti... Kau bahkan tidak bisa melindungi anak-anakmu sendiri.”
Ia menghela napas dramatis, lalu menyentuh dagu Resti dengan ujung jarinya, mengangkat wajah wanita itu yang lemah.
“Kau tahu apa bedanya kita?” bisiknya. “Aku bertahan. Aku menang. Sementara kau? Kau hanya sisa-sisa masa lalu yang menyedihkan.”
Resti tetap diam. Namun tatapannya tidak goyah.
Tatapan itu… untuk pertama kalinya, membuat Lusi merasa gelisah.
Namun, ia menepisnya cepat-cepat.
Ia menegakkan tubuh dan melirik bodyguard-nya.
“Buang mereka. Aku sudah bosan mendengar rengekan ini.”
Dan dalam hitungan detik—
Dorongan terakhir itu datang tanpa ampun.
“J-Jangan! A-awas, lepas…!!”
Mawar dan Anjani menjerit, tangan mereka menggapai udara kosong, berusaha mencari pegangan yang tak pernah ada.
“AAAAAAAHHHH!!!”
Teriakan mereka menggema, bercampur dengan deru angin yang menghantam wajah dan tubuh mereka tanpa belas kasihan.
Mereka jatuh.
Terlempar dari tebing tinggi, tubuh mereka melayang di udara sebelum akhirnya—
BYUUURR!!
Mereka tenggelam ke dalam laut yang gelap dan ganas, tubuh mereka terseret arus yang dingin dan kejam.
Di atas tebing, seorang wanita berdiri tegak, gaunnya berkibar tertiup angin malam.
Lusi.
Ia tertawa.
Suara tawanya nyaring, bergema di antara deburan ombak yang mengamuk, bercampur dengan jeritan putus asa yang kini perlahan memudar, tenggelam bersama malam yang tak berbelas kasihan.
***
Kembali ke Masa Kini...
Lusi tersentak dari lamunannya. Dadanya naik-turun, napasnya tersengal, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tangannya bergetar tanpa ia sadari.
“T-tidak... tidak mungkin...” bisiknya parau. Matanya terpaku pada gadis muda di depannya—berdiri dengan tenang, namun kehadirannya terasa begitu menyesakkan.
Gadis ini…
Jantungnya berdebar kencang, seakan ingin melompat keluar dari dadanya. Bayangan masa lalu yang selama ini berusaha ia kubur mulai merayap naik ke permukaan. Suara deburan ombak, jeritan memohon, dan tatapan penuh ketakutan yang dulu ia anggap telah lenyap bersama gelapnya lautan kini terasa begitu nyata.
Tidak… Tidak mungkin…
Pikirannya berteriak, mencoba menepis ketakutan yang mulai merayapi dirinya.
Gadis ini bukan Mawar. Tidak mungkin.
Mawar sudah mati.
Mawar sudah tenggelam.
Mawar sudah lenyap bersama malam itu.
Ia menelan ludah dengan susah payah, berusaha mengendalikan pikirannya yang berantakan. Perlahan, ia menggeleng pelan. Tidak. Ini bukan dia.
Hanya kebetulan. Ya, hanya kebetulan.
Lagi pula, gadis ini tampak berbeda. Wajahnya lebih dewasa, lebih keras. Tidak ada lagi kepolosan dalam tatapannya. Ya, benar. Ini hanya kebetulan. Hanya kebetulan saja namanya sama. Tapi aku yakin, orangnya berbeda.
Lagipula, tidak ada yang bisa selamat setelah jatuh dari tempat setinggi itu.
Aku hanya berhalusinasi… Ini bukan Mawar. Tidak mungkin.
Di seberang sana, Mawar menatapnya lekat-lekat. Sorot matanya tajam, menangkap setiap gerakan kecil, setiap perubahan ekspresi di wajah Lusi. Perlahan, senyum tipis mulai terbentuk di bibirnya—senyum samar yang menyimpan makna tersembunyi.
Ia bisa merasakan ketakutan yang terpancar dari wanita itu. Syok, kecemasan, kepanikan—semuanya menguar begitu nyata, seolah mengisi udara di antara mereka.
Namun, Mawar menyembunyikan semuanya dengan sangat baik.
“Maaf, Ibu kenapa?” tanyanya lembut, suaranya terdengar penuh kepedulian, seakan benar-benar tulus.
Tapi matanya...
Oh, matanya berkata lain. Begitu tajam, begitu menusuk. Seperti belati yang siap mengoyak perlahan, menikmati setiap kepingan ketakutan yang kini mulai melilit Lusi.
Lusi masih terdiam, pikirannya belum sepenuhnya kembali ke dunia nyata. Cahaya di matanya bergetar, seolah jiwanya tengah berjuang menepis sesuatu yang tak ingin ia percayai.
Mawar, yang menyadari itu, tersenyum lebih lebar—senyum penuh misteri, penuh rahasia, dan yang terpenting… penuh kebencian.
Sebuah kebencian yang hanya ia sendiri yang tahu seberapa dalamnya.
Karena di dalam benaknya, kenangan itu pun masih terpatri jelas.
Kenangan tentang malam itu.
Malam di mana semuanya berubah.
Empat belas tahun yang lalu… Saat Lusi membuang mereka ke laut.
Byuuuur!
Mawar, Anjani, dan Resti jatuh dari tebing.
Dingin. Gelap.
Tubuh mereka menghantam permukaan laut dengan keras, seperti dilempar ke dunia yang asing dan kejam.
Mawar tersentak, paru-parunya terasa terbakar saat ia berusaha menghirup udara di tengah gelombang yang menggulung. Air asin menusuk tenggorokannya, membuatnya terbatuk.
Di antara ombak yang liar, ia melihat bayangan kakaknya.
“M-Mbak Anjani!” Mawar meraih tangan kakaknya, mencengkeramnya sekuat tenaga, seolah nyawa mereka bergantung pada genggaman itu.
Anjani terengah-engah, tatapannya liar, wajahnya dipenuhi ketakutan. “Ibu! Kita harus cari Ibu!” suaranya bergetar di tengah deburan ombak yang menggila.
Tanpa berpikir panjang, mereka menyelam ke dalam laut yang gelap. Mata mereka mencari-cari dalam pekatnya air. Jantung mereka berdegup kencang, paru-paru mereka menjerit minta udara, tapi mereka tidak peduli.
Mereka tidak bisa menyerah.
Hingga akhirnya—
Di sana.
Tubuh Resti mengambang di antara ombak, nyaris tenggelam ke dasar.
“Ibuuu!”
Dengan sisa tenaga, Mawar dan Anjani berenang sekuat tenaga, meraih tubuh ibu mereka sebelum terlambat.
Resti setengah sadar. Bibirnya membiru, matanya setengah terbuka, tangannya lemah. Tapi jari-jarinya masih berusaha mencengkeram mereka, seolah berusaha memastikan bahwa ia tidak kehilangan mereka.
Namun, ombak semakin kuat. Angin semakin menggila.
Mawar dan Anjani mulai kehilangan harapan. Dingin itu terasa semakin dalam, menyusup hingga ke tulangnya.
Mungkinkah ini akhir mereka?
Tidak!
Mereka tidak boleh mati di sini.
Tidak boleh!
Dan saat itulah…
Sebuah cahaya muncul di kejauhan.
Cahaya dari sebuah kapal.
Teriakan samar terdengar di antara deburan ombak. Suara laki-laki dan perempuan bersahutan, memberi aba-aba.
Seseorang melompat ke dalam air.
Tangan-tangan kuat menarik mereka dari kegelapan, mengangkat mereka ke atas kapal. Nafas-nafas tersengal terdengar, tubuh mereka yang basah kuyup segera diselimuti kain tebal yang hangat.
Mereka selamat.
Mereka hidup.
Dan di antara wajah-wajah yang menatap mereka dengan cemas, ada seorang anak laki-laki.
Masih muda, sekitar sebelas tahun. Matanya penuh kebingungan, tetapi juga keteguhan. Tangannya sigap membantu kedua orang tuanya menyelimuti tubuh Mawar, Anjani, dan Ibu Resti yang menggigil.
Aryo. Ya, Aryo—anak laki-laki yang kini telah tumbuh dewasa dan menjadi kekasih Anjani.
Malam itu, mereka diselamatkan.
Malam itu juga, mereka bersumpah.
Dendam ini… harus dibayar.