NovelToon NovelToon
Miracle Of Love

Miracle Of Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi
Popularitas:388
Nilai: 5
Nama Author: Yulynn

Cerita tentang Dewa dan Dewi Cinta yang awalnya saling mencintai. Mereka bertugas di alam manusia untuk menolong dan meringankan penduduk di bawah bukit cinta. Tetapi semuanya musna ketika Dewi Cinta jatuh cinta kepada manusia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulynn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 4

Pesta buah persik terlaksana dengan sangat meriah. Ratu langit sangat puas dengan hasil panen kali ini. Setiap dewa memberikan hadiah kepada Raja dan Ratu Langit sebagai tanda terima kasih sudah menjaga langit, bumi dan akhirat dengan baik. Ratu sangat suka pada sapu tangan pemberian Fei Yi. Beliau memuji keahlian menyulam Fei Yi terlebih lagi warna benang yang dipakai semua berasal dari warna-warna yang ada di bumi. Ratu sangat takjub melihat sulaman Burung Phoenix yang tampak hidup di atas sapu tangan tersebut. Ratu mengibaskan sapu tangan tersebut di hadapan para dewa-dewi yang ada di situ, kontan wangi yang berasal dari sapu tangan tersebut menyebar ke seluruh taman dan semuanya terpukau dengan perpaduan wangi rempah, bunga, buah yang di formulasikan dengan sempurna oleh Fei Yi. Lu Feng merangkul istrinya dengan penuh rasa bangga. Sedang Fei Yi tidak benar-benar menikmati momen tersebut karena pikirannya bercabang.

Setelah lewat beberapa saat, Raja langit sudah pergi dari kebun persik bersama para dewa untuk menikmati arak terbaik di aula pertunjukan sambil menikmati pertunjukan dari penari dan pemusik. Tinggal Ratu dan para Dewi yang masih bercengkrama di Kebun Persik.

Fei Yi menemukan Dewi Bintang di tengah keramaian lalu menghampirinya.

"Dewi." Sapa Fei Yi sopan

"Oh.. Fei Yi." Dewi Bintang berbalik "Apakah kamu sudah makan persik? Enak sekali hasil panen kali ini."

"Iya, sudah. Benar, enak sekali." Dustanya. Padahal dia tidak berselera sedari tadi karena gelisah terus.

"Dewi, sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan tentang Bukit Cinta." Ujar Fei Yi tanpa basa basi.

Wajah Dewi Bintang berubah menjadi serius. "Tidak ada lagi yang bisa saya katakan lagi, Fei Yi. Ramalanku tentang itu belum berubah."

"Bagaimana agar ramalannya berubah? Apa yang harus saya lakukan?" Tanya Fei Yi cepat.

"Tidak ada, Fei Yi. Semua sudah terjadi. Kita sudah tidak bisa mengubah apapun."

"Tidak mungkin, Dewi. Tolong bantu......." ucapan Fei Yi terpotong karena beberapa Dewi datang nyamperin. Fei Yi sudah hampir menangis.

"Lagi ngomongin apa nih? serius sekali." Dewi kecantikan muncul di antara mereka.

"Maaf aku harus pamit." Fei Yi berlalu sebelum mereka sempat melihat air matanya jatuh di pipi.

Fei Yi pergi ke kamar sumur. Menyendiri di sana sambil mengamati Meng Hao. Sudah masuk musim panen. Tampak Meng Hao bersama dua orang yang lebih tua sedang sibuk memanen. Mereka adalah kedua orang tua Meng Hao dan adik-adiknya yang masih kecil duduk di dangau sambil menikmati mantou. Dangau itu adalah tempat terakhir mereka bertemu. Burung kecil yang membuat sarang di dangau kini sudah punya anak-anak yang lucu.

Hanya memandang dari jauh sudah membuat hatinya hangat, sedikit mengobati rasa kangennya. Tapi apakah Meng Hao juga merindukannya?

Sudah lewat beberapa bulan sejak pertemuan terakhir mereka. Meng Hao selalu memikirkan Fei Yi setiap menit, setiap detik. Dia begitu merindukan suara nyanyian gadis itu, merindukan wajahnya, senyumannya, wanginya yang memabukkan. Meng Hao selalu mengingat janji Fei Yi kalau mereka akan bertemu lagi. Meng Hao memegang janji itu sebagai penyemangat hidupnya. Dia yakin Fei Yi pasti akan menepati janjinya.

Panen kali ini sungguh sukses. Orang tua Meng Hao menerima hasil yang sangat memuaskan. Beberapa orang dari lembah menerima kabar tersebut dan hendak membeli hasil panen untuk di jual kembali. Menurut kabar yang beredar, hasil panen dari ladang keluarga Meng Hao adalah yang terbaik dari pada ladang yang lain. Semakin banyak warga lembah yang datang berebut untuk membeli dan akhirnya terjadi kericuhan. Dari yang bermaksud hendak membeli menjadi perebutan secara paksa dari tempat penyimpanan keluarga Meng Hao.

"Fei Yi, ngapain kamu di kamar sumur?" Lu Feng mendadak muncul dari balik pintu memergoki Fei Yi.

Fei Yi kaget dan segera menghilangkan pantulan dari sumur.

"Aku hanya khawatir dengan keadaan lembah." Ucapnya gugup karena kepergok.

"Aku lebih mengkhawatirkan dirimu. Beberapa Dewi mencarimu karena kamu mendadak hilang dari kebun persik." Ujar Lu Feng sambil mengusap wajah Fei Yi yang tampak kusut.

"Aku tidak apa-apa." Dusta Fei Yi

"Kita akan tinggal di langit untuk sementara waktu sambil menunggu ramalan selanjutnya dari Dewi Bintang. Semoga saja nasib lembah bisa berubah."

Fei Yi tidak menjawab usul Lu Feng. Dia tidak mau tinggal di langit lebih lama lagi. Dia sempat melihat kericuhan yang di alami keluarga Meng Hao. Hatinya sudah kalut dan kacau. Dia bertekad akan turun ke lembah begitu ada kesempatan. Hati dan pikirannya di penuhi dengan Meng Hao. Berkali-kali dia di hantui pertanyaan 'Apakah Meng Hao baik-baik saja?'

Lu Feng dan Fei Yi pergi ke kediaman mereka yang di langit. Fei Yi lebih memilih menyendiri di kamar, menangis sambil memandang sisir pemberian Meng Hao. Dia tidak tahu sudah melewatkan berapa hari di bumi semenjak dia pergi dari kamar sumur. Karena ada perbedaan waktu antara Langit dan Bumi yang cukup jauh. Fei Yi tidak sanggup lagi berlama-lama di langit. Dia mencari cara bagaimana bisa menyelinap dari kediaman dan turun ke bumi tanpa ketahuan oleh Lu Feng.

Fei Yi keluar dari kamarnya dan menyuruh pelayan-pelayannya menyiapkan teh dan beberapa macam makanan ringan untuk di antarkan ke ruang kerja Lu Feng. Begitu pelayannya berpencar, Fei Yi keluar dari gerbang kediaman dan mengatakan pada prajurit yang berjaga kalau dia ada janji dengan Dewi Buah. Fei Yi bergegas turun dari langit menuju ke lembah dan langsung turun ke halaman rumah Meng Hao.

Fei Yi disambut oleh beberapa orang pria berwajah seram dan bertelanjang dada.

"Kamu siapa? Mau beli beras juga? Sudah tidak ada lagi. Pergi!" Kata salah satu pria yang bertubuh kekar sambil mengayunkan balok kayu di sebelah tangannya.

"Aku mencari Meng Hao." Kata Fei Yi.

"Mau apa? Kalau mau beli beras, sudah tidak ada." Ujar pria itu lagi berjalan mendekati Fei Yi.

"Apa aku tampak seperti mau beli beras? Aku hendak mencari Meng Hao." Suara Fei Yi meninggi.

Dari balik pintu muncul seorang pria paru baya yang tampak rentan.

"Jangan ganggu nona ini. Kalian pulanglah." Serunya pada beberapa pria berwajah seram tersebut dengan suara gemetaran dan tertahan.

"Jadi kamu bermaksud menjual beras pada Nona ini, bukan pada kami?"

"Beras kami sudah benar-benar habis diambil paksa oleh teman-teman kalian. Di lumbung sudah tidak ada apa-apa lagi. Persediaan untuk kami menyambung hidup juga sudah habis." Tangis pria paru baya itu yang semakin rentan sampai berlutut karena kakinya yang lemas.

Tidak menyerah, pria-pria itu semakin mengamuk dan menendang apa saja yang ada di dekatnya. Membuat cabe yang sedang dijemur berhamburan di lantai.

"Tuan-tuan." Panggil Fei Yi memasukkan sedikit sihir melalui suaranya yang kontan membuat pria-pria tersebut menoleh ke arah Fei Yi. "Pergilah dan lupakan tempat ini."

Pria-pria bertubuh kekar dan berwajah menyeramkan mendadak patuh dan pergi.

Fei Yi menghampiri pria paru baya yang kebingungan melihat tingkah mereka yang nurut pada Fei Yi.

"Paman, di mana Meng Hao?" Tanya Fei Yi dengan wajah risau sambil memapah pria itu untuk berdiri.

"Meng Hao ke gunung mencari bahan makanan." Ucap pria paru baya yang merupakan ayah Meng Hao.

"Apa yang sebenernya telah terjadi, Paman?" Tanya Fei Yi sambil memapah Ayah Meng Hao masuk ke dalam rumah yang sudah reyot sana sini.

"Hasil panen kami diambil orang-orang dengan paksa. Katanya hanya sawah kami yang berhasil panen. Dan yang lain rusak dimakan hama. Jadi mereka yang awalnya mau beli, malah jadi merampas. Bahkan untuk makan kami sekeluarga sudah tidak ada lagi." Tangis nya. "Istri saya sedang sakit dan sedang dijaga oleh kedua anak kami. Uang hasil penjualan beras tinggal sedikit karena sudah dibelikan obat-obatan. Harapan kami sekarang tinggal menunggu Meng Hao pulang membawa bahan makanan dari gunung."

"Dimana Tante? Bolehkah saya melihatnya?" Tanya Fei Yi.

"Dia di dalam sana. Masuklah. Aku tidak tega melihat keadaannya lagi. Aku sungguh tidak berguna." Tangisnya menyalahkan diri.

Fei Yi masuk ke dalam kamar yang ditunjuk Ayah Meng Hao. Dua orang anak kembar sekitar umur tujuh tahun, satu perempuan dan satu laki-laki. Satu sedang mengompres kepala ibunya dan satu lagi sedang membersihkan kain bercak darah diember. Seorang Ibu yang usianya sekitar empat puluhan sedang terbaring lemah dengan mata setengah terbuka berusaha melihat siapa  sosok yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.

"Adik-adik. Bolehkah kalian meninggalkan Ibu kalian pada saya sebentar saja?" Ijin Fei Yi.

Sepasang anak itu menghentikan pekerjaannya dan saling menatap dengan bingung.

"Pergilah." Ucap suara lemah itu kepada kedua anaknya.

"Jangan kuatir, Ibu kalian akan segera membaik." Fei Yi meyakinkan kedua anak yang tampak pucat dan kurus itu.

Fei Yi segera duduk di sisi tempat tidur batu beralas tikar tipis yang sudah robek di mana-mana. Kemudian menggengam tangan Ibu Meng Hao dengan pelan dan hati-hati. Fei Yi mengusap punggung tangan sambil mengajak Ibu Meng Hao mengobrol ringan. Pelan-pelan, suara yang tadinya serak, kini terdengar lebih baik. Wajah yang pucat sudah berwarna merah muda. Bibir yang kering menjadi lembab. Kantong mata juga menipis. Ibu Meng Hao ternyata memiliki paras cantik yang belum dimakan oleh usia.

Fei Yi membantu Ibu Meng Hao untuk duduk dan memapahnya berjalan. Ibu Meng Hao menangis bahagia dan memeluk Fei Yi sangkin senangnya. Dia tidak tahu mengapa hanya dengan mendengar suara gadis yang memiliki wajah yang bagaikan dewi itu, tubuhnya semakin bertenaga.

Ayah dan kedua adik Meng Hao berhambur masuk ke dalam kamar karena mendengar suara Ibu Meng Hao.

"Sayangku." Tangis Ayah Meng Hao melihat istri tercintanya berdiri tegak di hadapannya.

Istrinya menyambut mereka dengan mencium kedua anaknya dan memeluk suami tercintanya.

"Terima Kasih Nona. Terima Kasih." Ayah Meng Hao bersujud memberi hormat pada Fei Yi. "Anda pasti seorang Dewi yang diturunkan untuk membantu keluarga kami yang malang ini."

Fei Yi mengangkat Ayah Meng Hao untuk bangkit.

"Tekad untuk sembuh Tante yang membuatnya pulih. Saya tidak berbuat apa-apa." Dustanya.

"Meng Hao sudah pulangkah? Aku mendengar suara langkah nya." Ujar Ibu Meng Hao.

"Iya Ibu. Kakak sudah pulang." Ucap adik perempuan yang di susul adik laki-lakinya berlari ke pintu depan menyambut kakak mereka.

"Ibu." Seru Meng Hao tidak percaya melihat Ibu nya berjalan keluar kamar menyambutnya.  Meng Hao meletakkan karung dari punggungnya dan meraih tangan Ibunya.

"Meng Hao, Ibu sudah sehat. Maaf sudah menyusahkan kamu, Nak." Tangis Ibu Meng Hao.

"Aku tidak susah, Ibu. Ibu yang susah harus menanggung penyakit sampai begitu menderita." Meng Hao memeluk Ibunya dan menangis bahagia seperti anak kecil.

Tangisan Meng Hao terhenti ketika melihat sosok di depan pintu kamar Ibunya. Sosok yang sudah dia rindukan selama setengah tahun ini. Gadis yang selalu muncul di pikirannya setiap menit dan setiap detik kini ada di hadapannya.

"Fei Yi?" Panggilnya

"Meng Hao. Kamu baik-baik saja?" Raut kekhawatiran belum hilang dari wajah Fei Yi.

"Benarkah itu kamu?" Tanya Meng Hao tidak percaya seraya berjalan menghampirinya. Dia tidak gila, dia tidak berimajinasi, dia tidak sedang mimpi. Gadis yang kini berdiri di hadapannya adalah Fei Yi. Gadis idamannya telah menepati janji untuk bertemu kembali.

Meng Hao menggengam kedua tangan Fei Yi untuk membuktikan kalau gadis ini nyata. Kemudian mereka berdua menangis bahagia saling berpelukan.

***

Yang pertama dilakukan Fei Yi di rumah Meng Hao adalah, mengusir preman, mengobati Ibu Meng Hao, mengisi lumbung dengan beras dan bahan makanan lainnya, memperbaiki sudut-sudut rumah yang rusak. Hal ini tentu saja dilakukan secara diam-diam. Setelah itu, sebagian waktu dihabiskan bersama Meng Hao, sebagian lagi untuk menolong warga lembah yang kesulitan. Fei Yi tidak lupa akan tugasnya, hanya saja di pikirannya selalu ada Meng Hao yang membuatnya selalu kembali pada laki-laki itu begitu dia menyelesaikan tugasnya.

Sore itu Meng Hao sedang menyikat badan kerbaunya di pinggir sungai sambil bersenandung. Sang Kerbau diam menikmati apa yang dilakukan tuannya. Tapi tiba-tiba si kerbau menggerakkan kepalanya beberapa kali hingga badannya bergoyang.

"Jika kamu bergerak terus, sampai kapan aku baru bisa selesai menyikat badanmu?" Katanya pada kerbaunya yang masih bergoyang-goyang.

"Tuan Kerbau pasti tau kalau aku datang." Fei Yi tiba-tiba muncul di pinggir sungai.

Meng Hao terkejut dan menoleh. Gadisnya sedang duduk di pinggir sungai mengamatinya. Kakinya menyipak-nyipak air yang menerbangkan butiran-butiran air menjadi pemandangan yang indah sekali bagi Meng Hao. Sampai-sampai dia lupa dan berhenti menyikat badan si kerbau. Si Kerbau menjadi bosan dan berjalan menjauhi sungai dan naik tanah menghampiri Fei Yi. Fei Yi mengelus si kerbau dan membisikkan sesuatu di telinganya. Detik berikutnya, si Kerbau tampak melenguh seperti sedang tertawa. Fei Yi ikut tertawa melihat tingkah si Kerbau. Meng Hao beneran hanyut pada pemandangan di depannya sampai tidak sadar kalau sedang menyikat udara. Fei Yi dan si Kerbau menertawakannya.

"Meng Hao ayok ! Tuan Kerbau bilang dia sudah lapar !" Seru Fei Yi

Meng Hao yang tersadar dari lamunannya langsung bergegas berlari kecil hingga beberapa kali tersandung batu  dan naik ke tanah dengan susah payah. Fei Yi tertawa melihat tingkah Meng Hao yang ceroboh. Detik itu dia benar-benar lupa status Dewi nya, istana langit bahkan Lu Feng.

"Lapar? Sebelum kemari dia baru saja makan. Memang dasar tukang makan." Seru Meng Hao sambil menepuk-nepuk perut si kerbau.

Mereka bertiga berjalan pulang sebelum matahari terbenam. Meng Hao memberanikan diri menggengam tangan Fei Yi saling berjalan. Jantung Fei Yi berdebar-debar, dia bisa merasakan wajahnya panas dan merah. Hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan. Dari gengaman tangannya, Fei Yi menyalurkan sedikit energi kepada Meng Hao yang telah lelah bekerja seharian. Agar keesokan paginya badan Meng Hao kembali dipenuhi tenaga dan semangat lagi untuk bekerja.

1
suhardi wu
ceritanya menarik, gaya bahasanya mudah dimengerti. mantap lah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!