Erlin, gadis mandiri yang hobi bekerja di bengkel mobil, tiba-tiba harus menikah dengan Ustadz Abimanyu pengusaha muda pemilik pesantren yang sudah beristri.
Pernikahan itu membuatnya terjebak dalam konflik batin, kecemburuan, dan tuntutan peran yang jauh dari dunia yang ia cintai. Di tengah tekanan rumah tangga dan lingkungan yang tak selalu ramah, Erlin berjuang menemukan jati diri, hingga rasa frustasi mulai menguji keteguhannya: tetap bertahan demi cinta dan tanggung jawab, atau melepaskan demi kebebasan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Abimanyu masuk ke ruang perawatan dan melihat Riana yang sudah membuka matanya.
"Abi, a-aku minta maaf. Jangan ceraikan aku, Bi. Semuanya ini akal-akalan Erlin." ucap Riana yang masih saja memfitnah Erlin.
"Abi sudah memaafkan kamu dan maaf kalau Abi sudah tidak bisa bersama dengan kamu. Kamu sudah melakukan zina dengan Hayden."
Riana menatap Abimanyu dengan mata terbuka lebar, wajahnya pucat namun masih memelas.
“T-tapi, Abi, aku cuma khilaf! Abi, aku janji tidak akan mengulanginya,” gumam Riana, suaranya lemah dan gemetar.
Abimanyu menarik napas panjang, menahan emosi yang masih menggelegak.
Ia menundukkan kepala sejenak, mencoba menenangkan hati sebelum berbicara.
“Riana khilaf atau tidak, perbuatanmu tetap salah. Abi tidak bisa tinggal diam melihat zina terjadi dalam rumah tangga kita. Ini bukan soal marah, tapi soal tanggung jawab dan batas yang harus dijaga.” ucap Abimanyu tegas namun tetap tenang.
Riana menunduk, bibirnya bergetar, tapi lidahnya masih ingin membela diri.
“Tapi Abi, Erlin, dia yang membuat semuanya terlihat buruk. Abi harus percaya padaku!” seru Riana, nadanya terdengar panik.
Abimanyu menatap Riana dengan mata yang tajam namun lembut.
“Riana! Abi sudah melihat semuanya dengan mata kepala sendiri. Tidak ada yang bisa menutupi kebenaran. Abi tidak menaruh dendam padamu, tapi Abi juga tidak bisa membiarkan rumah tangga kita hancur karena perbuatanmu.”
Ia menarik napas panjang, lalu menambahkan dengan tegas,
“Kamu harus bertanggung jawab atas kesalahanmu. Abi akan memberi kesempatanmu untuk memperbaiki diri, tapi Abi tidak bisa kembali seperti dulu. Rumah tangga ini harus dijaga dari sekarang.”
Riana menggelengkan kepalanya dan ia mengancam akan melakukan bunuh diri lagi kalau Abimanyu tidak mau kembali kepadanya.
Abimanyu menatap Riana dengan tatapan dingin namun tegas, menahan amarah yang masih bergejolak di dadanya.
“Riana, Abi tidak akan pernah kembali seperti dulu. Ancaman bunuh diri bukan jalan keluar. Abi tidak bisa membiarkan kamu menyakiti dirimu sendiri atau orang lain untuk memaksakan kehendakmu,” ucap Abimanyu dengan suara tenang tapi tegas.
"Baiklah kalau begitu, aku akan merebut kembali apa yang aku punya. Jika aku tidak mendapatkan Abi, Erlin juga tidak bisa mendapatkan Abi."
Abimanyu menghela nafas panjang dan keluar dari ruang perawatan.
Ia berpamitan dengan kedua orang tua Riana dan setelah itu ia menuju ke rumah.
Abimanyu melangkah keluar dari rumah sakit dengan langkah mantap, wajahnya menahan lelah namun penuh tekad. Ia menatap kedua orang tua Riana yang berdiri di lorong, wajah mereka masih penuh campuran rasa cemas dan bersalah.
“Abi sudah berbicara dengan Riana. Abi yakin ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah. Rumah tangga harus dijaga, dan semua pihak harus belajar dari kesalahan,” ucap Abimanyu tegas, menenangkan mereka.
Pak Bambang menunduk, tak berani bicara banyak, sementara Ibu Riana hanya terisak pelan, menyesali semua yang terjadi.
Abimanyu menarik napas panjang, lalu menyalakan mobilnya, memutar kunci dan melajukan kendaraan menuju rumah.
Di dalam mobil, pikirannya fokus pada satu hal: melindungi Erlin, menjaga rumah tangganya, dan memastikan Riana sadar akan kesalahannya tanpa menimbulkan kerusakan lebih lanjut.
Sesampainya di rumah, Abimanyu tidak menemukan Erlin.
"Lin, kamu dimana? Erlin!"
Abimanyu menghubungi ponsel istrinya tetapi tidak bisa.
Ia menghubungi Kyai Abdullah dan Abi Husein untuk menanyakan apakah Erlin ada disana.
Mereka berdua mengatakan kalau Erlin tidak ada disana.
Abimanyu kembali mengambil kunci mobilnya dan mencari keberadaan Erlin.
"Lin, jangan tinggalkan aku. Aku mohon, Lin." gumam Abimanyu.
Sementara itu Erlin bangkit dari tempat tidurnya dan menghidupkan ponselnya.
Ia melihat banyak sekali pesan dan telepon dari suaminya.
Erlin langsung menghubungi suaminya yang sedang khawatir mencarinya.
Abimanyu meminggirkan mobilnya saat mendengar suara ponselnya.
"Lin, kamu dimana? Aku jemput sekarang."
"Bi, maafkan aku. Aku ingin menenangkan diri dulu supaya Abi bisa fokus sama Riana."
"Lin, aku sudah tidak bersama dengan Riana. Dan istriku hanya kamu. Ayo, pulang Lin. Segera share lokasi kamu. Abi tunggu."
Erlin menghela nafas dan segera mengirimkan alamat apartemennya.
Abimanyu segera melajukan mobilnya menuju ke apartemen Erlin.
Sesampainya di apartemen, Abimanyu menuju ke lantai delapan.
"Lin, bukan pintunya."
Erlin membuka pintu dan melihat suaminya yang sudah ada dihadapannya.
"Lin, kamu sakit?" tanya Abimanyu yang melihat istrinya sedikit pucat
"Nggak apa-apa, Bi. Aku hanya sedikit pusing." jawab Erlin.
Abimanyu membopong tubuh istrinya dan membawa ke tempat tidur.
"Panas kamu tinggi sekali, Lin."
Abimanyu mengambil termometer yang ada di kotak obat dan segera menaruhnya di ketiak Erlin.
"40' Lin, ayo kita ke rumah sakit sekarang."
Abimanyu kembali membopong tubuh istrinya dan membawanya ke mobil.
Setelah itu ia melajukan mobilnya menuju ke rumah rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Abimanyu langsung menuju UGD.
Para perawat sudah menunggu, melihat Abimanyu membopong Erlin.
“Cepat, dokter! Pasien ini demam tinggi dan terlihat lemas!” teriak Abimanyu sambil meletakkan Erlin di ranjang perawatan.
Perawat segera menstabilkan posisi Erlin, memasangkan selang infus ke pergelangan tangan Erlin dan menyiapkan alat pengukur suhu tubuh.
Abimanyu berdiri di samping ranjang, menggenggam tangan Erlin dengan lembut.
Dokter meminta perawat untuk mengambil sampel darah Erlin.
Perawat mengikat pergelangan tangan Erlin dan siap mengambil darah.
"A-abi....,"
Abi menenangkan Erlin yang kesakitan saat perawat mengambil darahnya.
Abimanyu menatap wajah Erlin yang pucat dan lemah, hatinya terasa perih melihat kondisi istrinya.
Ia mengusap lembut rambut Erlin sambil menenangkannya.
“Tenang, Lin, Abi ada di sini. Sabar ya, ini cuma sebentar.”
Erlin mengerang pelan saat jarum memasuki kulitnya, namun tangan Abimanyu yang menggenggam tangannya membuatnya sedikit lebih tenang.
“Abi, sakit…” ucap Erlin lirih.
“Aku tahu, sayang. Tapi ini demi memastikan kamu sehat. Abi janji, setelah ini kamu akan langsung bisa beristirahat dan minum obat,” jawab Abimanyu lembut, menatap mata Erlin penuh perhatian.
Perawat menyelesaikan pengambilan darah dengan cepat.
“Selesai, Bu. Sekarang kita lanjutkan pemeriksaan dan stabilisasi suhu tubuhnya,” ucap perawat sambil melepaskan ikatan pergelangan tangan Erlin.
“Sudah selesai, Lin. Abi bangga sama kamu karena kuat menghadapi semuanya.”
Erlin menutup mata sejenak, napasnya mulai lebih tenang.
“Abi, terima kasih sudah ada di sampingku,” bisiknya.
Abimanyu menunduk, menempelkan dahinya ke pelipis Erlin,
“Abi akan selalu ada, Lin. Kita akan hadapi semuanya bersama, apapun yang terjadi. Sekarang istirahatlah, Abi yang jaga kamu.”
Dokter masuk dan mulai mengevaluasi kondisi Erlin.
“Demam tinggi kemungkinan karena kelelahan dan stres berat. Kita akan beri cairan infus, obat penurun panas, dan observasi ketat. Kalau kondisinya stabil, kemungkinan bisa pulang dalam beberapa hari dengan istirahat penuh,” jelas dokter.
Abimanyu mengangguk, menatap Erlin, dan mengusap rambutnya lagi,
“Lin, Abi pastikan kamu benar-benar sehat sebelum pulang. Abi akan jaga kamu, tenang saja.”
Erlin tersenyum tipis meski lemah, merasa hangat dan aman dengan kehadiran suaminya.
Ia menutup mata, mulai membiarkan tubuhnya beristirahat, sementara Abimanyu tetap berada di sisi ranjang, menjaga, menenangkan, dan berdoa agar istrinya cepat pulih.