Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang Tak Selalu Ramah
Langit Jakarta kelabu saat mobil yang kutumpangi perlahan memasuki kawasan rumah Arka. Aku duduk di kursi belakang dengan perut yang sudah mulai terlihat membulat, mengenakan dress longgar dan cardigan tipis. Tanganku gemetar, meski aku mencoba tenang.
Pulang seharusnya terasa hangat. Tapi bagiku, pulang terasa seperti menginjak ranjau emosi.
Arka menyambutku di depan pintu, tanpa senyum berlebihan, hanya tatapan yang penuh kerinduan dan tangan yang terbuka, seperti yang pernah ia janjikan.
“Selamat datang, selamat kembali pulang, sayang” katanya pelan.
Aku mengangguk.
“Terima kasih sudah tidak mencariku.”
Ia tak menjawab, hanya mengambil koperku, membimbingku masuk dengan hati-hati.
Namun kehangatan itu tak berlangsung lama. Di ruang tengah, duduk dua orang yang tak asing Ibu Arka dan adik perempuannya, Dira.
“Oh jadi kamu sudah cukup tenang ya buat balik ke sini?” suara sang ibu terdengar dingin.
Aku menunduk sopan. “Selamat sore, Mah.”
Ibu Arka hanya melirik tajam.
“Kamu pikir rumah ini tempat transit? Pergi seenaknya, pulang tanpa kabar dan sekarang balik seolah tak terjadi apa-apa.”
“Mah,” tegur Arka, nada suaranya mengeras.
Tapi Dira menimpali, “Kalau memang nggak kuat jadi istri Arka, kenapa dulu mau nikah? Sekarang balik pas hamil kelihatan banget cuma karena butuh tanggung jawab.”
Hatiku mencelos, napasku tercekat, tapi aku menegakkan kepala.
“Aku balik bukan karena ingin disayang. Tapi karena aku ingin anak kami tumbuh di tempat yang utuh. Walaupun aku tahu rumah ini belum tentu ramah.”
Arka berdiri di antara kami, wajahnya tegang.
“Cukup, Mah, Dira. Kalau mau bicara, silakan. Tapi jangan di depan istri saya yang sedang hamil belum sepenuhnya pulih.”
Aku menggenggam pergelangan tangan Arka, berbisik, “Tolong... aku capek.”
Arka mengangguk, menggiringku masuk ke kamar.
Kamar kami tak berubah banyak. Masih ada selimut favoritku dan gantungan scarf di belakang pintu yang dulu kubiarkan tertinggal. Tapi semuanya terasa asing. Seolah aku tamu di rumahku sendiri.
Arka membantuku duduk di ranjang, lalu berkata lirih,
“Aku minta maaf soal Mama dan Dira. Aku nggak tahu mereka bakal datang.”
“Sudah biasa,” aku mencoba tersenyum. “Aku nggak berharap dunia berubah hanya karena aku pulang.”
Arka menunduk. “Tapi aku berubah. Aku belajar. Meski mungkin belum sempurna.”
Aku memejamkan mata. “Belajar butuh waktu. Sama seperti memaafkan.”
Malamnya, aku tidur lebih awal. Tapi seperti malam-malam sebelumnya, tubuhku memanas. Keringat dingin mulai mengucur dari pelipis. Perutku terasa mengencang. Kram kecil muncul dan nafas terasa sesak.
Aku bangun dan berjalan perlahan ke kamar mandi, tapi baru dua langkah, pandanganku berputar, tubuhku oleng.
“Na—Nayra!” Arka menangkapku tepat waktu.
Ia memapahku ke tempat tidur, lalu segera mengambil termometer dan menyeka keningku dengan handuk basah.
“39 derajat…Tuhan, Nayra… kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sering kayak gini?”
Aku mencoba bicara, tapi suaraku lemah. “Sudah biasa, tiap malamdi rumah Tante juga begitu…”
Arka menatapku, air matanya hampir jatuh. “Ini gak bisa dibilang biasa. Ini bahaya. Kita harus ke rumah sakit.”
Aku menggeleng.
“Kalau sekarang aku cuma butuh tidur.”
Arka akhirnya menyerah. Tapi malam itu, ia tidak tidur sama sekali. Ia duduk di tepi ranjang, menggenggam tanganku, sambil membisikkan,
“Aku jaga kamu. Sampai kamu kuat lagi. Sampai kamu bisa tertawa tanpa takut.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa mungkin pulang bukan keputusan yang salah.
***
Pagi itu matahari menyelinap masuk melalui celah gorden kamar. Aku terbangun dengan tangan masih digenggam erat oleh Arka. Matanya merah, tapi tetap waspada. Ia tidak tidur semalaman.
“Ka…” suaraku serak.
Ia tersenyum kecil. “Selamat pagi, Mama Baby.”
Aku tersipu meski tubuh masih lemas.
“Demammu udah turun,” katanya sambil memeriksa dahiku dengan tangannya.
“Tapi aku tetap panggil dokter kandungan ke rumah hari ini. Dan kamu nggak boleh bantah.”
Aku mengangguk lemah. Kali ini aku tidak ingin keras kepala. Aku mulai sadar ada seseorang yang kini benar-benar ingin menjaga, bukan mengendalikan.
Beberapa jam kemudian, dokter kandungan datang dan memeriksaku dengan seksama. Alat USG mini di ruang tidur menunjukkan detak jantung bayi kami yang kuat.
“Janin stabil. Tapi Bu Nayra harus total istirahat. Saya sarankan beberapa hari rawat inap di rumah sakit untuk pantauan. Stresnya sudah mengganggu hormonal dan sistem imun.”
Aku menoleh ke Arka, dan sebelum aku bisa protes, ia sudah mengangguk ke dokter.
“Kami akan ke rumah sakit siang ini. Saya akan atur semua.”
Setelah dokter pergi, aku menatapnya.
“Ka, kamu kan lagi sibuk. Jangan karena aku, semuanya jadi berantakan.”
Arka menggeleng.
“Aku sudah delegasikan semuanya. CFO yang baru sangat bisa diandalkan. Aku bisa kerja remote dari rumah sakit. Dan lebih penting dari semua proyek itu adalah kamu.”
Hening sebentar.
“Dulu aku pikir membuktikan cintaku berarti hadir terus-menerus. Tapi ternyata, yang kamu butuh bukan hadiran, tapi ruang bernapas.”
Matanya menatapku dalam.
“Kali ini aku tetap di sampingmu, tapi gak akan membekapmu.”
Aku menunduk, air mataku menetes.
Saat kami bersiap ke rumah sakit, suara ketukan pintu mengejutkan kami. Ternyata asisten Arka datang membawa berkas.
“Ini hasil final dari kantor hukum, Pak,” ujarnya.
Arka membukanya. Aku ikut duduk di sampingnya.
Isi surat itu adalah pemberitahuan resmi bahwa Reno telah mencabut tuntutannya.
Tidak hanya itu, ternyata ada rekaman tambahan yang dikirim oleh mantan staf Reno sendiri, yang membuktikan bahwa Reno memang melakukan manipulasi percakapan dan menyebarkan video secara internal sebagai alat untuk menekan Nayra.
Arka membaca sambil menghela napas lega. “Dia pikir bisa main bersih, tapi karma lebih cepat dari yang dia kira.”
Aku tersenyum tipis. “Kamu tidak mengumumkan ke media?”
“Tidak perlu. Cukup kita tahu siapa yang benar. Aku tak mau kamu harus melalui media sosial lagi. Kali ini selesai secara diam-diam. Damai.”
Aku memandangnya dengan mata berkaca-kaca. Ini bukan lagi Arka yang dulu. Ini seseorang yang akhirnya tahu cara mencintaiku dengan bijak.
Hari-hari di rumah sakit berjalan dengan damai. Arka menemaniku setiap malam, bekerja di samping tempat tidurku, mengurusku tanpa membuatku merasa bersalah.
Ibu Arka sempat datang. Awalnya ingin mengajak bicara dengan nada tinggi, tapi Arka langsung berdiri dan berkata:
“Mah, kalau ke sini untuk nyalahin Nayra, lebih baik pulang saja. Dia sedang hamil dan tidak perlu beban tambahan. Kalau Mama mau dukung kami, silakan. Tapi kalau cuma mau mengatur, saya pasang batas hari ini.”
Dira bahkan tidak berani menatapku ketika datang. Mungkin karena tahu bahwa aku kini bukan perempuan yang sama. Aku tidak lagi diam saat disindir. Dan kini, aku punya pelindung yang tahu caranya melindungi tanpa mengurungku.
Dua minggu kemudian, kami pulang dari rumah sakit.
Aku berjalan pelan masuk ke kamar kami, kini jauh lebih tenang. Semua yang kupikir akan runtuh saat aku kembali ternyata bisa dibangun ulang.
Tidak semua luka sembuh dengan cepat. Tapi saat kau punya seseorang yang sabar menunggumu pulih, tanpa memaksa, segala ketakutan jadi bisa dihadapi.
Di meja kamarku, sebuah bingkai foto kecil telah berdiri. Foto USG bayi kami dengan tulisan tangan Arka di bawahnya:
“Kamu adalah rumah yang kami tunggu pulang. Dan kali ini… aku akan menjadi pintu, bukan pagar.”
Aku tersenyum.
Dan untuk pertama kalinya, aku berkata dalam hati aku siap jadi istri. Bukan karena dipaksa, tapi karena aku memilihnya.