Arlena dan Dominus telah menikah lebih dari enam tahun. Tahun-tahun penuh kerja keras dan perjuangan untuk membangun usaha yang dirintis bersama. Ketika sudah berada di puncak kesuksesan dan memiliki segalanya, mereka menyadari ada yang belum dimiliki, yaitu seorang anak.
Walau anak bukan prioritas dan tidak mengurangi kadar cinta, mereka mulai merencanakan punya anak untuk melengkapi kebahagian. Mereka mulai memeriksakan kesehatan tubuh dan alat reproduksi ke dokter ahli yang terkenal. Berbagai cara medis ditempuh, hingga proses bayi tabung.
Namun ketika proses berhasil positif, Dominus berubah pikiran atas kesepakatan mereka. Dia menolak dan tidak menerima calon bayi yang dikandung Arlena.
》Apa yang terjadi dengan Arlena dan calon bayinya?
》Ikuti kisahnya di Novel ini: "Kualitas Mantan."
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. ❤️ U 🤗
Selamat Membaca
❤️🙏🏻💚
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Arlena CS 2
...~°Happy Reading°~...
Bagi pengacara Samuel, kalau ada bukti nyata perselingkuhan Dominus dan Selina, akan mempermudah rencana Arlena untuk menggugat cerai Dominus, jika berniat mau bercerai.
"Kau punya bukti perbuatan mereka? Maksudku, bukan saja yang kau katakan tadi atau kesaksian karyawan." Pengacara Samuel bertanya lagi untuk meyakinkan. Arlena kembali mengangguk, kuat dan yakin.
"Bagus. Bukan aku tidak percaya yang kau bilang atau karyawan. Kesaksian karyawan bisa berubah, karena bisa dibeli. Apa lagi Dominus adalah boss mereka." Pengacara Samuel serius melihat Arlena dan Calista bergantian.
Calista mengangguk mengerti. Begitu juga dengan Arlena. Mereka sudah lama saling kenal dan seusia, sehingga jika sedang bertiga, mereka tidak berlaku formal.
"Aku mengerti, maksudmu. Kalau diperlukan, aku punya. Aku sempat merekam mereka." Arlena jadi ingat, sebelum berdiri untuk mengagetkan mereka, tanpa sengaja dia merekam yang dilakukan Dominus dan Selina.
"Tapi semoga tidak digunakan...." Arlena sangat malu mau memperlihatkan hasil rekaman kepada orang lain. Dia malah menyampaikan rencana lain untuk hadapi hal terburuk yang akan dilakukan Dominus.
Calista dan Samuel yang mendengar Arlena tidak mau bertemu Dominus, hanya bisa terdiam. Calista yakin sahabatnya sedang berusaha tegar, walau hatinya sangat terluka.
Sebelum berpisah, Calista menahan Arlena tetap di butik untuk menghibur sambil mengajak bicara calon bayi. Agar pikiran Arlena bisa teralihkan dari perbuatan be^jat Dominus dan Selina.
~*
Hari terus berganti. Hari ini, sudah seminggu lebih dari peristiwa me^sum yang terjadi di ruang kerja Arlena. Tidak ada kabar atau sesuatu yang dilakukan Dominus, juga tidak pulang ke rumah.
Arlena tetap tenang sambil konsentrasi menjaga kesehatan demi calon bayi dan mengobati tangannya yang mulai kering. Dia berharap tangannya lekas sembuh seperti sedia kala, agar bisa leluasa bekerja dan hadapi Dominus.
Apa lagi sejak kejadian itu, Dominus tidak berbicara dengannya. Arlena yakin, dia tinggal dengan Selina di suatu tempat, tapi dia tidak ingin menyelidiki tempat tinggal mereka.
Pertemuan terakhir dengan Calista dan pengacara Samuel, memberikan dia kekuatan dan rasa percaya diri untuk hadapi Dominus. Walau tidak pernah lagi masuk kantor, dia tetap menyibukan diri di rumah dengan memeriksa desain yang dikerjakan Benny dan Emma.
Saat dia sedang memikirkan rencana bekerja secara mandiri, ponselnya berdering. Ketika melihat nama pengacara keluarga, Arlena langsung merespon.
"Selamat pagi, Bu. Apa saya bisa datang menemui Ibu di rumah?" Pengacara langsung pada tujuannya menelpon.
"Pagi, Pak Amarta... Silahkan... Saya ada di rumah." Arlena langsung menerima permintaan pengacara Amarta, sebab dia ingin tahu yang akan dilakukan Dominus.
Setelah berbicara dengan pengacara Amarta, Arlena menyiapkan diri juga hati dan pikiran dengan berdoa. Agar tidak keliru menilai atau menanggapi yang akan dikatakan Dominus lewat pengacara Amarta.
Arlena segera turun ke lantai bawah untuk berbicara dengan pelayan. "Tari, tolong siapkan minuman hangat dan cemilan...." Arlena memberitahukan apa saja yang disediakan. Dia yakin, Amarta akan datang sendiri tanpa Dominus.
Sesuai waktu yang disepakati, Amarta tiba di rumah. Arlena membuka pintu sambil tersenyum seperti biasa, lalu mempersilahkan masuk ke ruang tamu.
"Selamat siang, Bu. Maaf, menganggu."
"Tidak, Pak Amarta. Saya sedang istirahat. Silahkan duduk..." Arlena menggerakan tangan ke arah kursi kayu antik dan mewah di ruang tamu.
"Terima kasih, Bu." Amarta jadi segan melihat sikap Arlena terhadapnya. Tidak ada yang berubah, ramah dan hangat seperti biasanya.
Pengacara Amarta jadi tidak enak hati berhadapan dengan Arlena, mewakili Dominus. Padahal sebelumnya, dia selalu mewakili mereka berdua, jika berkaitan dengan hukum.
"Bagaimana, Pak Amarta?" Arlena duduk tenang di depan pengacara Amarta dan memulai percakapan. Dia menolong Amarta untuk bersikap profesional.
"Saya minta maaf terlebih dulu, karena kali ini saya datang mewakili Pak Dominus."
"Tidak apa, Pak. Kita sudah lama kenal dan Pak Amarta pengacara keluarga. Pak Dominus kepala keluarga, dia yang putuskan. Silahkan, Pak."
Ucapan Arlena membuat Amarta makin tidak enak. Dia yakin, Arlena sudah tahu maksud kedatangannya mewakili Dominus.
"Kali ini saya diminta Pak Dominus mewakilinya untuk menyampaikan surat gugatan cerai kepada Bu Arlen. Maksud saya, Pak Dominus mau mengajukan cerai."
"Silahkan, Pak..." Arlena tetap tenang.
"Ini surat gugatan cerai. Pak Dominus berharap bisa langsung ditanda tangani. Dan ini pembagian harta bergerak dan tidak bergerak yang akan diberikan kepada Ibu." Pengacara Amarta menyerahkan lembaran dokumen berisi tuntutan cerai Dominus.
Arlena tetap tenang menerima, sebab dia sudah menunggu. Dia yakin, mereka akan bercerai, tapi dia tidak mau ajukan tuntutan. Dia menunggu keputusan Dominus.
Sambil memegang dokumen yang diberikan pengacara Amarta, Arlena tersenyum sinis dalam hati. 'Dia mau tunjukan tidak pengecut atau sudah tidak sabar bebas?' Arlena serius membaca tuntutan cerai dan persyaratan yang diberikan Dominus.
Ketika membaca bagian yang akan diterima kalau tanda tangan surat cerai, rasa hati dan isi kepalanya bergolak seperti lahar panas gunung Semeru. Pembagian harta yang diberikan sangat tidak adil. Seakan dia bukan istri selama hampir 6 (enam) tahun yang menopangnya.
Walau dia sudah menyiapkan diri hadapi hal terburuk, emosinya ingin meledak. Sehingga dia perlu membaca berulang kali, sambil menurunkan emosinya.
Dia tidak mau tunjukan emosinya di depan pengacara. 'Kau akan terima akibatnya.' Arlena membatin dan tidak mau terus memikirkan hasil kerja kerasnya akan dinikmati oleh perempuan lain. Agar dia tidak makin emosi, dan menumpahkan kepada pengacara yang hanya lakukan tugasnya sebagai pengacara.
Dia terus baca berulang kali sampai level emosinya mereda. "Baik, Pak. Saya belum bisa tanda tangan sekarang. Saya perlu bicara dengan pengacara saya. Nanti saya hubungi Pak Amarta." Ucap Arlena setelah tenang. Dia meletakan dokumen di atas meja.
Reaksi Arlena membuat pengacara Amarta terkejut. Dia tidak menyangka Arlena sangat tenang setelah membaca pembagian harta gono-gini.
Padahal dia sempat protes kepada Dominus, saat mendengar apa saja yang akan diberikan kepada Arlena, kalau mau tanda tangan surat cerai.
Pengacara Amarta sudah siap hadapi amukan Arlena. Namun apa yang dikatakan Arlena sangat bertolak belakang, beda 180 derajat dari bayangannya. Arlena tetap tenang dan elegan hadapi tuntutan cerai dan pembagian harta gono-gini yang diberikan Dominus.
'Pak Dominus akan menyesali keputusannya untuk bercerai.' Amarta membatin melihat respon Arlena yang berkelas dan menunjukan tingkat pendidikannya.
"Silahkan diminum Pak Amarta. Nanti saya atau pengacara saya yang akan hubungi untuk pertemuan berikutnya." Arlena menggerakan tangan ke suguhan di atas meja.
"Terima kasih, Bu." Pengacara Amarta mengalihkan pikiran dan coba tenang dengan minum. Namun hanya sedikit minuman yang bisa diminum. "Saya pamit, Bu." Amarta langsung pamit, karena tidak tahan melihat Arlena.
"Silahkan, Pak." Arlena pun tidak mau Amarta berlama-lama. Dia perlu waktu untuk melampiaskan emosinya yang sudah di ubun-ubun.
'Perempuan itu sudah bikin dia lupa diri dan tidak tahu diri.' Arlena sangat geram menatap punggung pengacara Amarta.
...~*~...
...~▪︎○♡○▪︎~...
up Thor makin penasaran aja aku