Cerita yang memberikan inspirasi untuk wanita diluar sana, yang merasa dunia sedang sangat mengecewakannya.
Dia kehilangan support system,nama baik dan harapan.
Beruntungnya gadis bernama Britania Jasmine ini menjadikan kekecewaan terbesar dalam hidupnya sebagai cambukan untuk meng-upgrade dirinya menjadi wanita yang jauh lebih baik.
Meski dalam prosesnya tidak lah mudah, label janda yang melekat dalam dirinya membuatnya kesulitan untuk mendapat tempat dihati masyarakat. Banyak yang memandangnya sebelah mata, padahal prestasi yang ia raih jauh lebih banyak dan bisa di katakan dia sudah bisa menjadi gadis yang sempurna.
Label buruk itu terus saja mengacaukan mental dan hidupnya,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penakluk Iblis Jelita
Benar kata Olivia, masalah ini sangat mampu mengalahkan kopi untuk bisa membuat Britania melek seharian. Sudah lewat jam makan siang, wanita independent itu masih saja mondar-mandir ke sana kemari untuk membahas penyelesaian masalah ini.
"Brii... need chocolate?" Birru mencegat Britania di depan pintu masuk, menyodorkan dua batang cokelat di tangannya.
"Thanks..." jawab Brii singkat sambil berlalu. Pikirannya terlalu penuh untuk basa-basi.
"Masih belum nyerah sama Bu Britania?" cibir Olivia pada Birru yang masih saja menatap punggung Briella sampai menghilang di balik tembok.
Birru tersenyum kecut, matanya menerawang. "Gamon gue, Liv... Sekarang dia pasti lagi banyak banget beban pikirannya. Jadi gue kasih cokelat, gue pengin aja lihat dia selalu senyum gitu. Udah cukup gitu aja, Liv, nggak berharap lebih untuk bisa menaklukkan 'iblis jelita' itu," balas Birru sambil terkekeh sendiri, menyembunyikan sisa-sisa harapannya.
Perasaannya tak menuntut sebuah balasan, untuknya melihat Brii selalu ceria dan semangat menjalaniharinya saja sudah cukup.
Sesampainya di ruangan, Briella kembali dikagetkan. Kali ini karena keberadaan Nathan yang tengah duduk bersandar santai di meja kerjanya.
"Kok di sini? Kamu butuh sesuatu? Kan bisa nyuruh Brianda?" Brii terus berjalan mendekat ke arahnya. Nathan masih saja tak bergeming, hanya menatap Britania lekat.
"Capek banget ya? Belum sempat makan, kan? Aku bawain makan siang, makan dulu yaa abis itu baru lanjut ngoceh lagi," ucap Nathan lembut, nadanya penuh perhatian bukan otoriter seperti boss. Dia menarik kursi lain, mendudukkan Brii di sana, lalu mulai membuka kotak makan siang bertuliskan 'take my meals away' yang ia bawa.
"Aku bisa makan sendiri..." ujar Brii padanya, ketika Nathan mulai menyendokkan makanan ke mulutnya. Ada sedikit rasa canggung, sekaligus hangat yang menjalar dalam diri Britania. Nathan berlebihan nggak sih ini??
"Mulai sekarang, yang biasa kamu lakukan sendiri bisa dilakuin juga sama aku. Di depan aku jangan menjadi independent woman seperti biasanya, oke?" balasnya diiringi dengan senyum simpul yang super enak dipandang, membuat hati Britania berdesir halus. Bisa aja itu bapak bikin salting anak orang.
"Nanti kalau Oliv atau staf lain lihat kamu di sini lagi nyuapin aku, bisa geger mereka," Britana mencoba mengelak dengan senyum kecil salah tingkah yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
"Brianda udah mengatur semuanya, tenang ajaa," sahut Nathan enteng, seolah itu adalah hal termudah di dunia.
"Ck, Pak CEO dasarrr, seenaknya sendiri..." Bri berdecih pelan dengan kelakuan seenaknya Nathan.
"Aku nggak mau kamu kerja terlalu keras sampai lupa makan, ini masalah kita bersama jadi kita selesain bersama. Ada waktunya istirahat juga," Nathan terus saja berbicara banyak hal sambil menyuapi kekasihnya makan, hingga selesai. Sikapnya yang tegas namun lembut ini perlahan meruntuhkan benteng di hati Britania. Dia bisa makin jatuh kalau Nathan ng-threat dia like a princess seperti ini.
"Kamu sendiri udah makan belum?" tanya Brii setelah kotak makan di depannya kosong.
"Kok masih panggil Kamu sih? Sayang kek," rajuk Nathan, dia sudah seperti ABG labil saja. Brii hanya bisa tersenyum kecil melihat ekspresi kesalnya. Hatinya menghangat melihat sisi Nathan yang kekanakan ini.
"Iya deh, mm... Mas Nathan gitu yaaa, gimana? Atauu Ayang Nathan aja... wkwkwk, geli banget nggak sih dengernyaa..." Mereka berdua saling menertawakannya cukup keras bersama, kali ini tawa Britaniabenar-benar lepas setelah seharian dipenuhi ketegangan.
"Mas ajaa, lebih mesra kedengarannya. Oke, sayangg?" Nathan meminta persetujuan. Britania menurut, mengangguk. Kemudian dia meminta Nathan keluar. Sudah hampir sejam Brianda membuat orang-orang sibuk agar tidak masuk ke ruangannya sesuai dengan titah bos. Hal itu membuat Britania tidak enak hati. Meski memang pekerjaan Brianda itu palugada, tetap saja banyak hal lain yang harus dikerjakan di situasi genting seperti saat ini.
"Oh iyaa pulang nanti aku mau ke perusahaan Mitra bentar ya? Mau kasih mereka teman lembur." merasa kini Britania sedikit terikat dengan Nathan, jadi dia ingin memberitahu tiap kali akan pergi.
Kening Nathan mengerut mendengarnya, ada sedikit kebingungan. "Teman lembur...?"
Britania menjawab kebingungannya dengan sedikit tergelak. "Aku cuma mau beliin mereka kopi atau camilan mungkin biar mereka semangat lemburnya, buat ngerjain failure kemarin, Aku tahu mereka masih keberatan untuk bekerja lembur seperti sekarang ini kan? Jadi yaa siapa tahu sediikit camilan bisa untuk menyogok semangat mereka, hihi"
Nathan yang sudah akan keluar, mendadal berputar balik, kembali melangkahkan kakinya menuju ke arah Britaniaa. Sorot matanya menunjukkan kekaguman yang dalam. "Pantesan Ayah sama Bunda suka banget sama kamu, kamu sangat tahu caranya menyayangi perusahaan ini..." ujarnya lagi tulus.
"Ck, biasa ajaaa." Briella hanya tiba-tiba kepikiran hal itu, dia pun pernah menjadi karyawann produksi jadi tahu persis bagaimana perasaan mereka ketika mendapati tekanan dari bossnya.
"Aku temenin nanti, kita ketemu di sana..." ucapnya lagi sebelum benar-benar keluar ruangan. Britania mengangguk saja mengiyakan ucapannya. Dalam hatinya menjerit kegirangan, entah kapan terakhir kali dia diperlakukan manja seperti ini. Nathan juga memberikan satu kartunya padanya, "Bayar pakai ini aja, beli teman lemburnya..." titahnya.
Meski bukan itu niat Britania. Ia tulus ingin memberikan surprise untuk para karyawan perusahaan mitra itu, sama sekali tidak menginginkan donasi dari Nathan. Uang tabungannya masih sangat cukup untuk menghidupi dirinya sendiri dan tujuh anak singgah itu.
"Heii... Nggak usah, kopi doang aku bisa kok beliin buat mereka." Brii jelas bukan tipe yang ingin memanfaatkan perasaan Nathan untuk keuntungan pribadi. Harga dirinya jelas menolak untuk itu.
Nathan menatapnya tidak suka, alisnya sedikit menukik. Raut wajahnya menunjukkan sedikit frustrasi. "Udah aku bilang jangan terlalu independent di depan aku, Brii," bisiknya di telinga Britania sebelum benar-benar keluar ruangan.
Huhh! Kelakuan Nathan memang, membuat Britania makin ingin jatuh cinta padanya. Sejauh ini memang ada beberapa orang yang terang-terangan memberi perhatian padanya tapi rasanya biasa saja, tidak berhasil membuatnya menggila seperti sekarang. Ini adalah hal baru yang menggetarkan seluruh jiwanya.
***
Petang itu, keluar kantor Britania langsung menuju coffeeshop, ia akan membeli kopi dan beberapa camilan untuk dibawa ke perusahaan Mitra.
"Kak Briii..." seru seseorang dari seberang jalan. Cowok berpakaian serba hitam itu melambaikan tangannya. Rayyan. Brii menyambut lambaian tangannya kembali.
Dia terus berlari menghampiri Britania. "Baru pulang?" tanyanya lagi.
"Iyaa, kamu dari mana? Nggak kerja?" tanya Brii balik, melihatnya masih memakai kemeja hitam dan celana hitam plus kacamata hitamnya berarti dia masih bekerja sebagai bodyguard.
"Baru pulang, Kak. Majikan Gue mau ada acara keluarga di rumahnya jadi Gue dikasih pulang lebih awal. Kak Bri bawa apa banyak bangett? Butuh pengawal?" Britania terkekeh mendengarnya. Sebelum bertemu Britania, Rayyan dulunya seorang pecandu narkoba dan sekarang sudah direhab sampai sembuh total.
"Butuh dong! Aku mau ke perusahaan mitra nganterin camilan ini buat orang-orang yang lagi lembur."
"Dihh... baik bangett, manajer nyamperin bawahannya langsung, kasih jajan pulaa. Gue bantuin yukkk..." Rayyan mengambil alih kemudi, bisa membuat Briella istirahat sebentar di mobil.
"Kak, capek banget ya? Tiduran aja, kalau udah sampai Gue bangunin." Tatapan Rayyan selalu nampak mengkhawatirkan sesuatu tiap kali melihat Britania terlihat lelah atau bad mood. Ada rasa protektif yang tulus terpancar dari matanya. Biasanya ia akan langsung menghiburnya kalau melihat Brii sedang lelah atau stres dengan pekerjaan.
"Ada masalah di kantor, Ray, seharian kita dibuat sibuk bahkan belum menemukan solusinya sampai sekarang." curhat Britania padanya.
Rayyan dengan gaya dewasanya meraih tangan Britania, menggenggamnya erat. "Sejauh ini lo selalu hebat dalam menyelesaikan banyak masalah di kantor, Kak, ini bukan kali pertama. Gue yakin pasti Lo bisa ngatasinnya." Rayyan memang jago kalau soal memperlakukan wanita, meski begitu Britania selalu mengingatkan dia juga Dave agar menjadi cowok yang selalu pandai memperlakukan dan memuliakan, wanita. Kadang dia memang menjadi tempat curhat Briella, di antara semua penghuni rumah singgah itu Rayyan-lah yang paling dewasa. Dia masih kuliah sambil kerja paruh waktu.
Sampailah mereka di tempat yang dituju. Dari halaman parkirnya sudah terlihat masih banyak motor dan mobil karyawan yang terparkir, itu cukup menandakan banyak yang masih lembur di dalam.
Rayyan membantu Briella membawa camilan dan kopi yang dibeli tadi, setelahnya dia kembali ke mobil untuk menunggunya selesai. Rayyan duduk bersandar pada mobil Britania, sambil sesekali memainkan ponselnya. Sampai dia sadar ada seseorang yang tengah berjalan ke arahnya.
Satu tangannya mengepal keras, begitu juga dengan rahang kokohnya yang ikut mengatup erat. Nampak jelas ia sedang memendam rasa kebencian dan amarah yang besar pada orang tersebut, pupil matanya menyempit tajam.
"Kamu ngapain di sini?" tegur seseorang yang kini berada di hadapannya. Suaranya penuh dominasi.
"Nganterin Kak Brii. Lo kenapa deketin Brii?" jawab Rayyan tak kalah dingin, tiap katanya penuh penekanan, seolah ingin menunjukan betapa ia membencinya.
"Aku sayang sama Britania," kali ini suara Nathan melunak, terdengar lebih lembut, mencoba meredakan ketegangan, namun tetap tegas.
"Sedikitttt aja lo nyakitin Britania, Gue akan balas itu berkali lipat! Gue orang pertama yang nggak akan rela kalau Britania disakiti!" tegas Rayyan lagi, bahkan sampai mengangkat jari telunjuknya di depan wajah Nathan, penuh ancaman, kemudian berlalu dari depannya dengan langkah cepat.
Tersisa Nathan sendirian di sana, menghela napas panjang. Tidak berselang lama wanita yang mereka perdebatkan keluar ruangan.
Gaya berpakaian Nathan agaknya kali ini membuat Britania sedikit terhipnotis. Padahal hanya menggunakan celana kargo pendek dan longsleeve salur dengan warna senada tapi damage-nya parah. Brii cukup tertegun untuk beberapa detik, setiap hari selalu melihatnya menggunakan pakaian formal jadi melihat Nathan seperti ini sangat jauh berbeda.
"Kenapa? Aku kelewat tampan ya, haha..." Nathan tersenyum geli ketika Britania keluar dan tak memutus pandangnya tanpa jeda. Sorot mata Briella terlalu mudah dia tebak.
"Ck, biasanya lihat kamu pakai pakaian formal terus sekarang lihat gini kayak pangling gitu, hihi," Brii membalas kikuk.
Pria itu terkekeh sambil meneliti kembali outfit-nya. "Aku cuma mengikuti kamu aja biar nggak terlalu kayak sugar daddy," candanya.
Briella terkikik mendengarnya, kenyataannya memang benar kalau melihat Nathan sekarang akan sangat berbeda dengan Nathan yang biasa dilihatnya saat di kantor. Dan kalau Nathan memakai outfit seperti ketika di kantor, dan ia berjalan dengan Brii sekarang pasti akan banyak yang salah mengira dia sugar daddy'nya Brii.
"Ehh kamu lihat Rayyan? Tadi dia nganterin aku." Brii celingukan mencari keberadaan Rayyan, dan cowok itu tengah berjalan ke arahnya dengan membawa kantong belanjaan di tangan.
"Lo mikirin beli camilan untuk orang lain pasti lo sendiri belum makan, kan... Nih," Rayyan memberinya sekotak susu dan roti, selain kopi Britaniaa juga sangat menyukai susu memang.
Nathan terpaku sejenak. Nada suara Rayyan melembut saat bicara pada Britania, sangat kontras dengan saat ia bicara padanya tadi.
"Thanks Ray... Oh iyaa kamu balik duluan aja nggak apa-apa. Nanti adik-adik nungguin pasti. Bawa mobilku nih..." Rayyan menangkap kunci mobil yang dilemparkan Britania padanya, awalnya dia ragu tapi ya menerimanya juga dan segera pulang setelah memberikan tatapan mautnya pada Nathan sekali lagi.
***
"Sayangg, di kulkas kamu banyak banget susu. Suka banget yaa?" Nathan berseru dari balik kulkas. Awalnya tadi mereka sudah sepakat mencari makan di luar tapi mendadak gerimis. Daripada terjebak hujan di luar, Bri memilih mending pulang ke apartemennya saja, dan Nathan yang sudah bersedia akan memasak untuk mereka.
"Susu menduduki peringkat ketiga memang setelah kopi dan cokelat, wkwk..." jawab Britania sambil berlalu menuju kamar mandi. "Aku mandi dulu, Mas, sambil nunggu masakan Kamu matang."
Nathan mulai mengambil bahan-bahan makanan dari dalam kulkas. Meskipun Bri sangat jarang memasak, namun dia selalu memenuhi kulkas dengan bahan-bahan masakan. Kalau-kalau Rayyan atau Dave yang menginap, mereka biasanya akan dengan senang hati memasak untuknya. Satu-satunya skill yang belum Britania kuasai dengan baik yaitu memasak.
Hampir duapuluh menit berlalu, Briella keluar mandi. Langsung tercium aroma lezat yang memenuhi seisi ruangan. "Duhh, harum bangett, masak apa Mas?" Britania yang sudah akan menuju kamar jadi berbelok ke dapur lebih dulu. Mengikuti arah hidungnya mengendus aroma masakan yang sangat menggugah selera. Bisa juga pak CEO masak.
"Di kulkas kamu ada mi udon sama pangsit udang, jadi aku masak itu aja sama aku bikinin kuahnya biar lebih enak. Sini duduk cicipin," Nathan sigap menyajikan hidangan hasil karryanya dengan bangga.
Sementara Briella sedang mencicipi masakannya, Nathan terus menatapnya. Tatapannya penuh kekaguman yang tak tersembunyi. "Kenapa? Aku lagi nggak pakai make up apapun, baru kubersihin semuanya, jelek banget jangan diliatin," ujar Britania tanpa menoleh, sedikit tidak nyaman dengan tatapan itu.
"Cantikk, kamu cantik banget." Tangan Nathan terulur merapikan rambut Briella yang basah, lalu dia beranjak meraih hair dryer di depan wastafel untuk mengeringkannya. Dengan telaten dia mengeringkan rambut Brii yang basah hingga setengah kering.
"Sayangg, nikah yukk," ucapnya tiba-tiba setelah beberapa detik sibuk dengan rambut Britania, nadanya terdengar serius namun penuh harap.
"Mass, don't say that. Kalimat itu membuat aku kehabisan oksigen rasanya." Britania menarik napas dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang mendadak berdebar tak karuan. Berbeda dengan isi pikiran wanita lainnya, yang begitu bahagia ketika dilamar, Brii justru ketakutan.
Bri mengangkat wajahnya untuk menatap Nathan, bukan rasa bahagia yang muncul kalau ada seseorang yang mengajaknya menikah, itu justru seperti sebuah pisau yang dihunuskan di dadanya. Untuk melihat resepsi pernikahan di televisi atau di medsos saja, dadanya akan terasa sesak seketika, apalagi kalau harus menjalaninya sendiri. Belum lagi bayangan-bayangan kemungkinan hal buruk yang akan terjadi, dalam otaknya masih terpatri ingatan pernikahannya yang gagal dulu. Betapa meriah resepsi yang diadakan, seolah semuanya penuh suka cinta dan cinta yang besar, namun berakhir dengan mengenaskan.
Untuk sebagian orang pasti akan menganggapnya lebay, Britania sendiri ingin protes jika bisa. Kenapa harus mempunyai mental selemah ini? Rasa sakit mendalam yang dirasakannya dulu terlalu mengguncang mental dan pikirannya. Sampai dia lupa bagaimana caranya untuk baik-baik saja saat berada di dalam situasi seperti ini.
Kadang Britania pun iri melihat teman-teman yang bisa dengan mudahnya gonta-ganti pasangan, atau yang dengan mudahnya bisa mempunyai sebuah mimpi menjalankan resepsi pernikahan impian mereka, meski bukan pernikahan yang pertama. Sedangkan Britania... dia masih terus saja terbelenggu oleh rasa sakit yang teramat menyiksa jika dihadapkan pada situasi tentang pernikahan.
Terima kasih yang masih mengikuti ceritanya. Semoga kalian suka. Jangan lupa like dan komennya.