Menjadi sekretarisnya saja sudah sulit, apalagi kini aku jadi istrinya.
Dia bos galak yang tak kenal kompromi.
Dan aku… terjebak di antara cinta, gengsi, dan luka masa lalu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Tubuh Rani gemetar hebat. Kedua tangannya berusaha meraih sandaran kursi agar tidak terjatuh, tapi langkahnya terasa goyah. Semua tatapan menusuknya, semua kata-kata Arkan masih menggema di telinganya. Ia tidak punya alasan lagi, tidak ada jalan keluar selain satu—pergi.
Dengan wajah berlumur air mata dan riasan yang berantakan, ia berbalik. “Aku… aku tidak bermaksud… aku cuma…” suaranya tercekat, patah-patah, hingga akhirnya lenyap begitu saja.
Tak ada satu pun yang menahannya. Tak ada satu pun yang peduli dengan alasan yang ingin ia ucapkan. Rani melangkah cepat ke arah pintu, hampir tersandung karena lututnya lemas. Pintu itu terbuka dengan suara keras, lalu menutup kembali di belakangnya.
Hening.
Rumah keluarga Arkan seperti baru saja dilanda badai. Semua orang masih memandang ke arah pintu yang baru saja ditinggalkan Rani.
Arkan menarik napas panjang, dadanya naik turun dengan keras. Ia memejamkan mata sejenak, menahan amarah yang masih bergejolak. Tapi ada satu hal yang kini lebih kuat daripada marahnya—rindu.
“Aruna…” gumamnya lirih.
Ia tak bisa lagi diam di sana. Dengan langkah panjang, ia meraih kunci mobil di meja dan berdiri.
“Arkan,” suara ayahnya berat, berusaha menahan. “Kamu mau ke mana?”
Arkan menoleh, sorot matanya penuh tekad. “Aku harus menemui Aruna. Dia sendirian. Selama ini dia menanggung semuanya sendirian. Aku nggak bisa lagi biarkan dia merasa sendirian.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar.
Sementara itu, di ruang tamu rumah keluarga Arkan, suasana masih tegang. Ayah Aruna duduk kaku dengan rahang mengeras, masih sulit menerima kenyataan betapa keji tindakan Rani barusan. Ibu Aruna duduk di sampingnya, wajahnya pucat tapi tegar, menggenggam tangan suaminya erat.
Ibu Arkan memandang mereka dengan tatapan sayu. Ia mengguncang kepalanya pelan, berulang kali mengusap dada seakan tak percaya. “Bagaimana bisa… Rani yang dulunyabaik… sekarang tega melakukan hal seperti itu? Aku pikir… dia hanya cemburu. Tapi ternyata…”
Ayah Aruna menoleh padanya dengan sorot tajam. “Nyonya… anak itu hampir menghancurkan nama baik anak saya. Bahkan hampir membuat dua keluarga besar ini bermusuhan. Kalau bukan karena Aruna yang mengirim bukti… mungkin sampai sekarang kita masih dibutakan kebohongannya.”
Ibu Arkan menggigit bibirnya, matanya berair. “Saya… saya kasihan dengan Aruna.”
Ayah Arkan, yang sejak tadi terdiam, akhirnya angkat bicara dengan suara berat. “Kita semua sudah tertipu. Dan yang paling menderita dari semua ini adalah anak kita sendiri, Arkan, dan juga Aruna. Kita harus bicara baik-baik nanti. Tapi yang jelas, saya tidak akan biarkan pernikahan mereka batal hanya karena ulah satu orang yang nggak tahu malu itu.”
Ibu Arkan menunduk, air matanya jatuh, hatinya teriris karena ia sendiri hampir percaya pada kebohongan Rani. “Aku… aku nyaris menghancurkan anakku sendiri,” lirihnya.
Arkan keluar dari rumah dengan langkah tergesa, seolah udara di sekelilingnya terlalu sesak untuk ia hirup. Ia masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin, dan langsung melaju di jalanan. Napasnya berat, matanya menatap lurus, tapi pikirannya hanya terarah pada satu hal—Aruna.
Udara siang itu begitu terik. Matahari memancarkan panas yang membakar kulit, membuat kemeja yang dipakainya menempel di tubuh karena keringat. Meskipun berada di dalam mobil dengan pendingin udara, panas itu masih terasa menusuk. Arkan bahkan sempat membuka dua kancing teratas kemejanya sambil mengelap dahi dengan punggung tangan.
Ketika berhenti di lampu merah, matanya sekilas melirik ke sisi jalan. Sebuah kedai kecil dengan papan kayu sederhana menjual es krim. Entah mengapa, langkahnya seakan terhenti. Ingatan akan senyum Aruna saat makan es krim rasa vanila dulu muncul begitu saja. Gadis itu selalu terlihat sederhana saat menikmati hal-hal kecil—dan itu justru yang membuatnya makin istimewa.
Tanpa pikir panjang, Arkan menepi, memarkirkan mobil di depan kedai, lalu membeli dua cup es krim, vanila untuk Aruna, cokelat untuk dirinya sendiri. Tangan yang menggenggam plastik berisi es krim itu terasa hangat, seakan hatinya sedikit lega karena tahu ada hal kecil yang bisa ia berikan nanti.
“Semoga ini cukup untuk meredakan sedikit sakit hatimu, Na…” gumamnya lirih, mencoba tersenyum meski wajahnya masih diliputi kegelisahan.
Perjalanan berlanjut. Mobilnya melaju cepat menuju rumah keluarga Aruna. Begitu sampai, ia langsung memarkirkan di halaman depan. Dari luar, rumah itu tampak sunyi. Tirai jendela tertutup rapat, menciptakan kesan bahwa penghuninya tak ingin diganggu.
Arkan turun dari mobil, keringat membasahi pelipisnya meski ia sudah memutar AC sedari tadi. Panas siang semakin menyengat. Dengan napas memburu, ia membawa kantong es krim itu dan berjalan cepat ke arah pintu utama.
Tok! Tok! Tok!
“Aruna…” panggilnya, suara bergetar.
Tok! Tok! Tok!
Ia mengetuk lebih keras, menahan sabar meski hatinya sudah dipenuhi kecemasan.
“Aruna, ini aku, Arkan. Tolong buka pintunya…”
Hening.
Ia menempelkan telapak tangannya ke daun pintu kayu itu, mencoba merasakan kehadiran Aruna di balik sana. “Aku tahu kamu ada di dalam. Aku nggak akan pergi sebelum ketemu kamu, Na. Aku nggak peduli seberapa marah kamu sekarang. Aku cuma mau lihat kamu… aku cuma mau pastikan kamu baik-baik aja.”
Tok! Tok! Tok!
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih pelan, lebih memohon daripada menuntut.
Tak lama kemudian, terdengar suara langkah ringan dari dalam rumah. Jantung Arkan berdetak kencang, seakan setiap detiknya adalah ujian kesabaran. Lalu—
Klek.
Pintu terbuka perlahan.
Dan di sana, berdiri Aruna. Wajahnya sembab, mata merahnya jelas menunjukkan betapa lama ia menangis. Rambutnya sedikit berantakan, dan ekspresinya dingin, penuh jarak.
Arkan menelan ludah, lalu mengangkat plastik kecil yang dibawanya. “Aku… beliin kamu es krim. Panas banget siang ini. Aku tahu kamu suka vanila.”
Aruna menatap kantong itu sekilas, lalu kembali mengangkat pandangan ke wajah Arkan. Tatapannya menusuk, seolah sedang menguji apakah ketulusan pria di hadapannya benar atau hanya ilusi lagi.