Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.
Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.
Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.
Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.
Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.
Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 9
Malam itu…Oma Ririn sedang asik menyantap keripik kentang di ruang tengah. Di belakangnya, Zia dengan penuh semangat memijat bahunya.
"Aduh, Zia... Oma bilang enggak usah, ini anak malah maksa," gerutu Oma Ririn sambil tertawa kecil.
"Soalnya kerjaanku hari ini dikit banget, Oma. Gaji segunung, kerja segaris. Masa Zia diam aja, kan gak enak," sahut Zia polos sambil tetap memijat.
Oma Ririn menghela napas, lalu menoleh setengah. "Zia, menurut kamu... gimana sifat Azka sama Aksa?"
Zia langsung nyengir. “Mereka baik kok… tapi agak serem.”
"Serem?" tanya Oma Ririn heran, nyaris tersedak tawa.
Zia mengangguk cepat. “Iya Oma… kadang kalau mereka liat aku tuh, tatapannya kayak... mau ngubur hidup-hidup.”
Oma Ririn tertawa. “Ada-ada aja kamu, Zia.”
Tiba-tiba—
"ZIAAAA!!"
Suara Aksa menggema dari lantai atas. Zia langsung berdiri tegak, wajahnya masam.
“Huft... Zia naik dulu ya, Oma,” pamitnya.
“Iya, ati-ati ketemu naga,” jawab Oma Ririn sambil tergelak.
---
Di kamar Aksa
Zia membuka pintu perlahan. Dan seperti yang sudah ia duga… pemandangan klasik: bungkus snack berserakan, Aksa rebahan di sofa, dan laptop menyala menayangkan film aksi yang entah sudah ditonton untuk keberapa kali.
Zia menghela napas berat. “Aksa... kamar kamu kenapa sih selalu kayak kapal pecah? Baru aja tadi aku beresin, eh sekarang udah kaya gini lagi.”
Aksa menoleh sekilas tanpa rasa bersalah. “Udah, jangan banyak bacot. Ambilin HP gue di rak atas. Makasih.”
Zia melongo. “Kamu manggil aku cuma buat ambilin HP?”
Aksa duduk, menatap Zia dengan santai. “Lo kan yang kerja di sini. Harusnya lo siap diminta apa aja. Jangan makan gaji buta, dong.”
Zia mendesis pelan, menahan emosi. “Iya, iya... aku ambilin.”
Ia mengambil ponsel itu, menyerahkannya dengan malas.
“Sana keluar,” ucap Aksa sambil fokus lagi ke layar laptop, nadanya seperti mengusir nyamuk.
Zia menatap langit-langit, lalu bergumam pelan, “Sabar Zia... orang sabar suaminya banyak.”
Aksa menoleh cepat. “Emang ada yang mau sama lo?”
Zia nyengir. “Ada kok. Tujuh orang!”
“Pasti tujuh suami haluan lo, ya?” sindir Aksa, menyipitkan mata.
Zia menoleh sambil nyengir bangga. “Kok tau? Hebat juga kamu nebak.”
Aksa menghela napas. “Cewek emang gitu, ya. Ngarep cowok kayak di drama—ganteng, tajir, green flag, full paket hemat.”
Zia sudah sampai di depan pintu, lalu menoleh sebentar. “Daripada cowok kayak kamu. Isinya cuman makan dan game.”
Zia pun pergi meninggalkan kamar, sementara Aksa menatap pintu dengan senyum kecil. “bisa bisanya gue senyum karena gadis miskin kaya dia.”
_____
Zia berdiri di depan pintu kamar Azka. Tangannya menggenggam gagang pintu, tapi belum juga bergerak. Ia masih diam, mematung. Wajahnya diliputi ragu—takut kalau-kalau Azka masih marah karena kejadian tadi.
“Huft…” Zia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdetak cepat.
“Gak usah takut, Zia. Kamu cuma mau bantu doang. Itu bagian dari tugas.”
Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar Azka. Namun, alih-alih melihat Azka, ruangan itu ternyata kosong.
Kamar itu begitu bersih dan rapi. Wangi parfum maskulin yang segar memenuhi udara. Zia menoleh ke sekeliling, takjub.
“Wow… ini beda banget sama kamarnya Aksa,” gumamnya pelan sambil melangkah masuk. Kamar itu terkesan elegan—gelap, tenang, dan minimalis. Persis seperti kepribadian pemiliknya.
Tapi saat ia sedang mengagumi interior kamar, tiba-tiba…
“Kenapa lo masuk kamar gue tanpa izin?”
Sebuah suara berbisik pelan, namun dingin, menyusup tepat di telinganya.
Zia nyaris lompat saking kagetnya. Kepalanya menoleh cepat dan menemukan Azka berdiri di belakangnya—baru keluar dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk putih sebatas pinggang. Tetesan air masih menetes dari rambutnya yang basah, dan abs-nya… benar-benar seperti drama Korea yang sering dia tonton bareng sahabatnya.
“Maaf…” ucap Zia cepat-cepat, wajahnya langsung memanas. “Aku cuma mau ngurus semua keperluan kamu malam ini…”
Azka mengerling sekilas ke arahnya lalu berjalan santai ke arah lemari besar. “Gue bukan anak kecil,” ucapnya datar, membuka walk-in closet dan masuk ke dalamnya tanpa menoleh lagi.
Zia menghela napas panjang sambil memalingkan wajah, berusaha mengusir bayangan otot perut itu dari pikirannya.
“Adik sama kakak… nyebelin semua,” gerutunya dalam hati, lalu melangkah keluar dari kamar karena merasa tak ada lagi yang bisa ia bantu—toh Azka juga menolaknya.
Setelah membersihkan diri, Zia memilih salah satu baju tidur dari lemari yang sudah disiapkan. Ia memilih baju tidur sepaha berwarna pastel, karena semua pakaian yang ia bawa dari rumah menurutnya jelek dan kumal.
“Siapa tau besok-besok bisa jadi artis cantik kayak Song Hye Kyo,” katanya sambil tersenyum kecil, lalu merapikan skincare yang disiapkan Oma dan mulai merawat wajahnya dengan hati-hati.
Saat sedang mematut diri di depan meja rias, tiba-tiba—
Tok tok tok.
Zia menoleh cepat ke arah pintu. Ketika dibuka, Azka berdiri di sana. Tatapannya tajam, seperti sedang menyelidik.
“Kenapa lo keluar dari kamar gue gak bilang? Katanya mau ngurusin semua keperluan gue?” ucapnya datar.
Zia mengerjapkan mata, bingung. “Kan tadi kamu bilang kamu bukan anak kecil… yang harus diurus…”
“Masih bisa jawab, ya, lo?” sahut Azka dingin.
Zia menahan napas. Serba salah banget deh aku sama nih anak… batinnya frustrasi.
“Oke, sekarang kamu mau apa?” tanyanya akhirnya, dengan nada pasrah.
“Buatin gue nasi goreng,” ucap Azka santai, lalu menambahkan, “Dan gak boleh pembantu lain yang bikin.”
“Iya…” jawab Zia pelan, lalu segera berjalan menuju dapur.
Dari kursi dapur, Azka duduk diam memperhatikan punggung Zia yang sedang memasak. Pandangannya tak lepas dari sosok gadis itu—penampilannya kini sangat berbeda dari saat pertama kali menginjakkan kaki di mansion.
saat masuk pertama kali ke mansion ini, wajah Zia tampak lelah, kulitnya kusam, bajunya jadul. Tapi sekarang… dia terlihat segar, bersih, dan cantik. Baju tidur sepaha yang dipakainya terlihat pas, rambutnya terikat rapi, dan wajahnya memancarkan aura berbeda.
“Lo pake baju dan skincare dari Oma gue, kan?” tanya Azka tiba-tiba.
Zia menoleh cepat, sedikit panik. “Iya… gak cocok ya?”
“Cocok kok.” Azka mengangkat alis. “Cuma… gue heran aja. Penampilan lo yang awalnya jadul kayak Nokia… sekarang udah kayak iPhone Pro Max. Fresh.”
“Kamu muji atau ngeledek?” tanya Zia sambil duduk di sebelah Azka. Ia menyilangkan tangan, menatap wajah cowok itu dengan tatapan tak terima, tapi ujung bibirnya justru membentuk senyum kecil.
Azka tak langsung menjawab. Pandangannya tetap tertuju pada piring di depannya, menyendok nasi goreng buatan Zia tanpa ekspresi. Setelah mengunyah pelan, ia akhirnya melirik ke samping, menatap Zia dari ujung matanya.
“Gak dua-duanya, kenapa lo duduk di sebelah gue?” ucapnya datar, suaranya terdengar malas seperti biasa.
Zia mendengus pelan. “Ck, pelit amat. Emangnya sebelah kamu dibatasi, ya?”
Azka tidak menanggapi. Ia kembali fokus pada makanannya. Nasi goreng itu… sebenarnya enak. Bahkan sangat enak. Bumbu yang meresap, rasa gurih yang pas, dan tekstur nasinya pun tidak lembek. Tapi lidahnya seolah terkunci oleh ego—ia terlalu gengsi untuk mengakui bahwa masakan gadis itu lebih enak dari buatan koki pribadi mereka.
Zia yang sedari tadi memperhatikan wajah Azka mulai bertanya dengan suara hati-hati, “Enak nggak?”
Ada harapan kecil dalam suaranya. Matanya menatap Azka penuh ekspetasi. Tapi cowok itu hanya melirik sekilas lalu berkata pelan, “Biasa aja.”
Jawaban itu menampar harapan Zia.
“Oh...” gumamnya pelan, mencoba tersenyum walau hatinya sedikit menciut. Ia pun menunduk, jari-jarinya memainkan ujung baju, mencoba menyembunyikan rasa kecewanya.
Azka tetap makan tanpa bicara. Tapi di balik ekspresinya yang dingin, bibirnya hampir tertarik membentuk senyum tipis—meski hanya sejenak.
Dia tahu Zia akan kesal. Tapi entah kenapa… justru itu yang membuat hari-harinya terasa lebih hidup.