Queen memilih memendam perasaannya pada Safir, karena tidak ingin merusak hubungan persahabatan mereka berdua. Queen pikir, selama ini Safir juga memiliki perasaan yang sama seperti dirinya. Perasaan itu semakin bersemi di hati Queen karena sikap Safir yang begitu perhatian terhadap dirinya. Meskipun perhatian tersebut tidak terang-terangan di tunjukkan oleh safir karena sikapnya yang pendiam dan juga dingin. Namun, siapa yang bisa menduga jika setelah mereka lulus kuliah, Safir datang ke rumah untuk melamar. Bukan Queen yang di lamar oleh Safir, tapi Divya. Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nia masykur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 Salam Perpisahan
"Hiks ... Hiks ..."
Luruh sudah air mata Queen. Melihat tangannya lagi yang kini di genggam oleh Safir. Mau di tahan seperti apapun, nyatanya tetap sulit. Terlebih lagi Queen selalu menjadikan Safir tempatnya paling nyaman untuk berbicara. Kebiasaan yang sudah pasti sulit untuk di hilangkan. karena hal apapun akan Queen bicarakan pada Safir, kecuali satu hal, yaitu perasaan Queen.
"Kamu kenapa?" Safir jelas bingung karena secara tiba-tiba, Queen menagis hingga cukup kencang. Ia tidak tahu mau mendiamkan Queen dengan cara seperti apa. Mau ia peluk juga tidak mungkin. Sekarang saja Safir menggenggam tangan Queen, agar gadis tersebut tidak meninggalkannya begitu saja dan memberikan penjelasan terlebih dahulu, agar dirinya bisa paham dengan keputusan Queen.
"Tangan aku sakit, Fir. Sakit sekali. Tadi kamu sudah gengam tangan aku sangat kuat. Dan sekarang kamu mengulanginya lagi. Ini sangat sakit," ucap Queen sambil menggenggam pergelangan tangannya yang masih di gengam Safir.
"Maaf, maaf. Aku sama sekali tidak berniat menyakiti kamu, Queen. Aku hanya mencegah kamu agar tidak pergi tinggalin aku begitu saja dan kasih aku alasan yang jelas. Itu yang aku mau dari kamu sekarang."
Queen masih mengusap tangannya yang baru saja di lepaskan Safir. Sebagai tanda tangannya memang sakit. Padahal tangan hanya sebagai alasan Queen untuk meluruhkan air matanya yang sudah tidak bisa di bendung lagi. Padahal saat ini Queen sedang berusaha untuk melegakan hatinya yang terasa sakit sejak tadi. Berharap setelah ini, Queen tidak akan pernah menangisi perasaannya sendiri.
"Ya Allah, Queen. Aku sungguh minta maaf. Memangnya sampai sesakit itu ya?" Safir jelas bertanya-tanya karena ia merasa tidak terlalu kuat menggenggam tangan Queen. Tapi siapa yang menduga jika Queen kesakitan seolah ia telah menggores tangan Queen menggunakan pisau.
Queen menghela nafsnya pelan. Ia mengusap wajahnya yang basah. Sekalipun Queen belum puas menangis saat ini, tapi Queen harus menenangkan diri. Akan terlihat berlebihan jika ia menang sepuas-puasnya.
"Aku akan lanjut S2 di Australia. Setelah pernikahanmu dan Kak Divya nanti, aku akan langsung pergi ke sana. Maka dari itu, aku harus berhenti bekerja lebih awal."
Menjaga jarak dengan Safir adalah keputusan yang paling tepat untuk Queen saat ini. Maka dari itu, berhenti bekerja adalah cara yang paling benar.
"Bagaimana mungkin?" Safir sampai tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Apanya yang tidak mungkin?" Queen menatap Safir yang terlihat tidak terima.
"Selama ini, kamu tidak perah bilang ke aku kalau kamu mau lanjut S2 di Australia. Kenapa tiba-tiba jadi seperti ini?" entah kenapa, Safir jadi merasa di khianati oleh kejutan yang Queen berikan.
"Apa aku harus mengatakan ke kamu kalau aku ingin kuliah di sana?" Queen menatap datar Safir. "Tidak kan?"
"Tapi apapun itu, biasanya kamu selalu bilang sama aku. Diskusi sama aku. Lalu kenapa sekarang jadi tiba-tiba seperti ini. Membuat keputusanmu sendiri tanpa meminta pendapatku lebih dulu?"
"Memangnya siapa kamu sehingga aku harus mengatkan semuanya tentang keinginanku ke kamu?"
Tatapan Safir seketika meredup saat melihat pancaran mata Queen yang kini nampak marah dan juga seolah menusuk dirinya. Entah kenapa, tiba-tiba hatinya jadi merasa sakit saat Queen berucap seperti itu. Membuat Safir tidak bisa menggerakkan bibirnya.
"Kita hanya bersahabat," sesungguhnya hati Queen lebih sakit karena harus mengatakan itu semua. Tapi sekarang Queen harus tegas. Queen sedang membuat benteng yang tinggi agar tidak mengharapkan Safir lagi.
"Jika kita sahabat, lalu kenapa cara kamu seperti ini, Queen? Sejak dulu, kamu selalu membicarakan apapun sama aku saat ingin melakukan sesuatu. Maka sekarang aku terkejut dengan keputusan kamu yang tiba-tiba ini."
"Sebenarnya keputusan ini tidak tiba-tiba juga. Aku sudah memikirkan ini sejak beberapa bulan yang lalu," tutur Queen pelan sambil berusaha menyembunyikan kebohongannya. "Kenapa aku tidak bicara ke kamu, itu karena aku juga memiliki hal yang tidak ingin aku ceritakan ke kamu, Safir. Seperti halnya kamu yang memiliki privasi kehidupan yang tidak seorangpun tahu. Aku juga begitu. Tapi sekarang aku sudah mengatakan ke kamu, kalau aku akan melanjutkan studyku ke Australia."
"Kamu juga pergi masih satu bulan lagi. Kenapa harus sekarang kamu berhenti bekerja. Kita membangun kantor ini bersama-sama, Queen. Kurang lebih satu bulan lagi juga kantor yang kita buat ini sudah bisa kita tempati. Setidaknya kamu berhenti bekerja setelah gedung ini kita resmikan bersama," tutur Safir mengungkap perjuangan mereka.
"Kamu yang membangun kantor ini, sesuai dengan mimpi kamu kan? Aku tidak menyumbang apapun dalam hal ini. Aku bekerja, dan kamu membayarku. Selain persahabatan kita, tapi pekerjaan kita adalah hubungan yang saling menguntungkan. Aku pasti ikut senang dengan semua kesuksesan kamu, Fir. Aku harap, semua mimpi kamu segera terwujud."
"Tolong pikirkan sekali lagi. Atau setidaknya bantu aku mengurus pekerjaan ini, sampai setelah aku menikah dengan Divya."
Biarlah Safir di nilai oleh Queen kalau ia hanya akan memanfaatkan Queen saja. Padahal saat ini, Safir sedang tidak rela dengan keputusan Queen sekarang ini. Safir sedang mencari celah untuk mempertahankan Queen, setidaknya untuk satu bulan kedepan.
"Apa kamu juga akan menuruti permintaanku saat aku bilang ke kamu untuk memikirkan ulang atau menghentikan apa yang ingin kamu lakukan selama ini dan hal itu sudah kamu rencanakan sejak awal?" pertanyaan Queen tersebut berhasil membuat kerutan di kening Safri. Membuat Safir dengan erat mengepalkan tangannya. "Tidakkan? Begitu juga dengan aku yang tidak bisa mengubah keputusanku saat ini. Aku akan menyelesaikan laporan keuangan setidaknya kurang lebih 3 harian. Karena setelah itu, aku ingin bersantai di rumah dan banyak menghabiskan waktu dengan keluargaku," Queen tersenyum samar pada Safir. "Sukses selalu buat kamu, Safir. Aku pulang sekarang."
Safir hanya bisa melihat punggung Queen yang kini sudah memasuki mobil. Tatapannya bahkan tidak beralih saat mobil itu meninggalkan area tersebut. Safir menunduk. Ia membuka tangannya yang sejak tadi tergenggam erat.
"Apa itu tadi salam perpisahan? Kenapa jadi seperti ini? Rasanya sangat aneh."
Untuk beberapa saat, Safir terpaku. Diam mematung pada tempatnya tersebut. Hingga sampailah lelaki muda itu kembali mengepalkan tangannya dan segera memasuki mobil.
Baru saja Safir menghidupkan mesin mobil dan hendak melaju. Tapi kini Safir harus meraih ponselnya yang terdengar bergetar. Terlihat nomor baru yang kini menghubungi Safir. Membuatnya mengira kalau mungkin saja itu panggilan dari klien baru, Safir segera mengusap icon berwarna hijau.
"Selamat siang. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam. Safir ada di mana sekarang?"
demo rumah emak guys