“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bejat
Selepas mengetahui kebusukan Baskoro di balik punggung ibunya, Renaya langsung memacu kendaraan pulang. Dia tak peduli dengan larangan Kinasih yang menyuruhnya menahan diri demi kesehatan sang ibu. Baginya, Ratih berhak mengetahui segala kebenaran tentang suami yang selama ini dia percayai.
"Ibu? Bu! Ibu di mana?" teriak Renaya begitu menjejakkan kaki di rumah. Dia menyisir setiap sudut rumah, tapi sosok sang ibu tak terlihat, bahkan kamar pun kosong.
Renaya mengepalkan tangan, gusar. Ia ingin membicarakan semuanya saat rumah sepi, tanpa kehadiran Kinasih yang selalu membungkamnya. Dia ingin duduk empat mata dengan Ratih.
“Ke mana Ibu pergi?” gumam Renaya sembari menyusuri setiap ruangan. Ia bergegas menuju kamar Sandrawi, namun ruangan itu juga sunyi.
Baru saja hendak menghubungi sang ibu lewat ponsel, pintu utama terbuka. Muncul sosok Ratih, dipapah oleh Saras yang kini seakan menjadi bayangan ibunya. Emosi Renaya langsung meledak. Seketika ia menghampiri dan menepis kasar tangan Saras dari bahu ibunya.
“Rena… jangan kasar begitu, Nak…” suara Ratih terdengar serak, diiringi batuk bertubi-tubi. Kalau saja ibunya tahu borok perempuan di sebelahnya itu, ia pasti tidak akan sudi disentuh olehnya.
“Ibu ke mana saja? Kenapa sama dia? Dan batuknya parah begini… harusnya Ibu di rumah saja kalau lagi nggak sehat,” cecar Renaya, matanya menatap tajam Saras.
“Ibumu habis dari rumah sakit, Renaya,” sahut Saras enteng.
Renaya menyipitkan mata, tajam menohok ke arah Saras. “Saya nggak nanya kamu!”
“Rena… Mbak Saras bantu Ibu periksa ke dokter tadi,” Ratih berusaha menenangkan, meskipun suaranya terdengar lemah.
Renaya menahan kesal, memapah ibunya menuju kamar, mengabaikan Saras yang tak tahu malu mengekor di belakang.
“Ibu sakit apa? Kenapa nggak bilang ke saya buat anterin ke rumah sakit?” Renaya menurunkan suara, tetap fokus pada Ratih yang tampak kian lemas.
“Ibu cuma butuh istirahat, Nak,” jawab Ratih sambil tersenyum pudar.
“Dokter bilang anemia,” Saras menyelutuk, seolah ingin mengendalikan percakapan.
Renaya berbalik, nadanya membentak. “Aku nggak butuh komentarmu! Cepat pergi!”
Tangannya bergetar menahan amarah. Ia ingin sekali menampar wajah Saras, perempuan murahan yang berani berpura-pura di depan ibunya, padahal telah mengkhianati kepercayaan keluarga.
“Jangan bentak Mbak Saras begitu, Ren… selama ini dia yang selalu bantu Ibu,” Ratih berusaha menenangkan meski tubuhnya bergetar karena batuk.
Renaya mengambil segelas air, menyuapkannya ke mulut ibunya dengan hati-hati. Ia membantu Ratih berbaring di ranjang, hati Remuk menyaksikan tubuh sang ibu semakin melemah sejak kepergian Sandrawi.
Seharusnya ia lebih peka.
Tak ingin membebani pikiran sang ibu, Renaya membawa Saras keluar kamar. Ia menarik lengan Saras kasar, menjauh dari Ratih yang sudah tertidur.
Begitu pintu kamar tertutup, Renaya melepaskan cengkeramannya. Suaranya pelan tapi dingin, menusuk.
“Daripada tanya soal aku, mending kamu pikirin diri sendiri. Menurutmu, tidur sama suami orang di kamar kos anaknya sendiri… itu masih ada harganya?”
Saras mematung. Raut wajahnya pucat seketika, tak menyangka rahasianya terbongkar.
Renaya menatapnya jijik. “Apa yang kamu cari dari Baskoro? Kamu masih muda, usiamu baru tiga puluhan… kenapa nggak cari pria lajang? Kenapa malah rebut suami orang?”
Saras membuang muka, berusaha menghindari tatapan Renaya.
“Kamu juga nggak jauh beda sama aku, Renaya,” balas Saras dengan nada getir. “Bedanya… aku hanya dengan satu pria, sedangkan kamu… dengan banyak pria. Berapa banyak pelangganmu yang sudah punya istri, hah? Kamu kira mereka nggak punya keluarga? Kamu pikir aku lebih buruk darimu?”
Renaya mengepalkan jemarinya begitu kuat hingga buku-buku jarinya tampak memutih. Lidah Saras benar-benar lancang. Ia tahu dirinya tidak pantas menyandang gelar wanita suci, tetapi setidaknya dia tak pernah menjual dirinya cuma-cuma kepada suami orang.
“Tutup mulutmu, Saras. Aku tidak sudi disamakan dengan perempuan sepertimu,” desis Renaya penuh amarah sebelum kakinya melangkah pergi, menahan tangan yang nyaris saja terangkat untuk melayang di wajah perempuan itu.
Malam itu, tidur Renaya kacau. Rasa kesal bergulung-gulung di kepalanya, menyisakan penyesalan karena lagi-lagi ia gagal membuka mata ibunya soal perselingkuhan Baskoro. Namun, semakin ia memikirkannya, semakin ia sadar bahwa mengungkap kematian Sandrawi jauh lebih penting sekarang.
“Mungkin aku harus menemui Yudayana,” gumamnya lirih.
Tak menunggu lama, Renaya mengirim pesan singkat pada pria itu. Yudayana langsung membalas, menyuruhnya datang malam ini juga ke klub tempatnya bekerja.
Renaya memilih menunggu larut malam, menapaki koridor rumah dengan langkah senyap menuju pintu.
“Kemana malam-malam begini, Renaya?”
Suara berat itu sukses membuat jantungnya melompat. Renaya menoleh, mendapati Bagantara bersandar santai di kusen dapur. Tatapan pria itu menelusuri tubuh Renaya dari ujung rambut hingga ujung kaki—celana pendek di atas lutut, tank top hitam dibalut blazer panjang yang jatuh selutut.
“Betah banget ya, Mas, tinggal di sini? Pulang sana, ngapain betah di rumah orang?” sentil Renaya tanpa basa-basi.
Bagantara menyeringai, langkahnya malas namun pasti mendekat. “Kamu juga betah banget kayaknya jadi perempuan malam begini. Butuh uang berapa sih, Renaya?”
Seketika dada Renaya mengeras. Kalimat Bagantara merendahkannya tanpa ampun. Ia maju satu langkah, mendongak menghadapi pria itu, sorot matanya tajam menusuk balik.
“Uang sebanyak apapun yang kamu punya, Mas… nggak akan cukup buat bayarin aku!” suaranya tajam, menghantam ego Bagantara sebelum ia berbalik meninggalkan pria itu.
Bagantara menggeleng, geli. “Sombong amat kamu, Renaya!” ejeknya lantang.
Renaya tak repot-repot membalas, hanya mengacungkan jari tengah sebelum terus melangkah, menyisakan umpatan kesal dari Bagantara.
“Sialan!” dengusnya.
Renaya memilih diam. Dia membuka aplikasi ponsel, taksi online sudah menunggunya beberapa meter dari rumah. Ia melangkah cepat, menumpang perjalanan yang mengantar menuju pusat keramaian malam.
Lampu warna-warni menyilaukan mata kala ia tiba di klub. Suara musik membelah udara. Renaya melangkah menuju meja bar, berhenti di hadapan bartender yang sedang sibuk meracik minuman untuk pelanggan.
“Aku mau tanya sesuatu,” katanya datar.
Yudayana hanya melirik singkat ke arahnya tanpa berkata apapun, kedua tangannya tetap lincah meramu pesanan lalu menyodorkannya ke pelanggan lain.
Renaya tak surut. “Kamu tahu perusahaan Indo Contractor?”
Yudayana sempat mengernyitkan dahi, tapi tak menjawab. Ia sibuk mengelap gelas-gelas sloki yang tersusun rapi.
“Mungkin Sandrawi pernah kerja di sana? Atau kenal orang dari sana?” desak Renaya.
Yudayana menggeleng ringan, tetap berusaha mengabaikan keberadaannya.
Renaya mendesah frustrasi, menunduk sejenak sebelum kembali menatap tajam. “Kamu yakin nggak tahu?”
Sorot mata Yudayana mulai terlihat jengah. Ia bersandar ke meja, menatap Renaya malas.
“Nggak tahu, Mbak. Lagi pula… Sandrawi nggak mungkin kerja di perusahaan kayak gitu,” jawabnya, nada suaranya sedikit mengejek.
“Kenapa nggak mungkin? Dia kan kuliah. Mungkin saja dia magang atau kerja paruh waktu,” ucap Renaya, tak rela keyakinannya goyah.
Yudayana menghela napas panjang, tubuhnya sedikit condong ke depan, bersandar lebih dekat.
“Sandrawi nggak pernah kuliah, Mbak. Dia nggak kuliah sama sekali.”
Jantung Renaya mencelos. Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari semua hinaan yang pernah ia terima.