NovelToon NovelToon
Earth Executioner

Earth Executioner

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Balas Dendam / Perperangan / Hari Kiamat
Popularitas:607
Nilai: 5
Nama Author: Aziraa

'Ketika dunia menolak keberadaannya, Bumi sendiri memilih dia sebagai kaki tangannya'

---

Raka Adiputra hanyalah remaja yatim piatu yang lahir di tengah kerasnya jalanan Jakarta. Dihantam kemiskinan, ditelan ketidakadilan, dan diludahi oleh sistem yang rusak-hidupnya adalah potret kegagalan manusia.

Hingga suatu hari, petir menyambar tubuhnya dan suara purba dari inti bumi berbicara:
"Manusia telah menjadi parasit. Bersihkan mereka."

Dari anak jalanan yang tak dianggap, Raka berubah menjadi senjata kehancuran yang tak bisa dihentikan-algojo yang ditunjuk oleh planet itu sendiri untuk mengakhiri umat manusia.

Kini, kota demi kota menjadi medan perang. Tapi ini bukan tentang balas dendam semata. Ini tentang keadilan bagi planet yang telah mereka rusak.

Apakah Raka benar-benar pahlawan... atau awal dari akhir dunia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aziraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 9: The Cleansing Begins - Jakarta Inferno

Perjalanan kembali ke Jakarta terasa seperti penutupan lingkaran bagi Raka. Setelah meruntuhkan pilar-pilar peradaban di Los Angeles, Washington D.C., Beijing, London, dan Tokyo, jet pribadi Eva kini mengukir jalur kembali ke titik awal penderitaannya. Di bawah sana, Samudra Hindia terbentang luas, sementara di kejauhan, Raka bisa merasakan getaran kota yang dulu membuangnya—Jakarta, Indonesia.

Di dalam kabin yang sunyi, Raka menatap Eva. Wanita itu tetap tenang, ekspresinya sulit dibaca, namun jari-jarinya yang pucat mengetuk pelan sandaran kursi dengan ritme yang hipnotis. Raka kini lebih yakin dari sebelumnya bahwa Eva adalah perpanjangan langsung dari kehendak Bumi itu sendiri. Kekayaan tak terbatas, akses global, kemampuan memanipulasi realitas digital—semua ini hanya mungkin dimiliki oleh entitas yang lebih dari sekadar manusia.

"Semua pilar telah runtuh, Raka," Eva berkata, suaranya tenang seperti desau angin malam. "Ekonomi hancur, politik lumpuh, militer paranoid, dan sekarang—kepercayaan pada teknologi mereka juga telah musnah. Mereka telah kehilangan pegangan. Mereka lemah."

Raka mengangguk, merasakan dingin yang akrab menyelimuti tubuhnya. Namun kali ini, dingin itu bercampur dengan sesuatu yang lebih panas—bara dendam yang telah mengkristal selama bertahun-tahun. Jakarta. Kota yang melahirkan penderitaannya. Kota yang akan menjadi saksi kehancuran pertama yang benar-benar masif.

"Di mana kita akan memulai?" tanya Raka, suaranya datar seperti permukaan danau yang membeku.

Eva tersenyum tipis, matanya berkilat dengan antisipasi yang gelap. "Di tempat yang paling tepat untuk memulai kehancuran—di mana penderitaanmu dimulai. Jakarta."

--- Kilasan Pahit: Memori yang Mengkristal

Raka menutup mata, membiarkan kenangan-kenangan pahit mengalir seperti racun dalam pembuluh darahnya. Jakarta, 2019. Dia berumur tujuh tahun ketika bulldozer datang ke permukiman kumuh tempat keluarganya tinggal.

*Suara mesin diesel yang menggelegar. Debu beterbangan. Teriakan-teriakan panik dari tetangga-tetangga yang kehilangan rumah. Ayahnya, seorang tukang becak kurus yang sudah bekerja keras selama puluhan tahun, berlutut di hadapan pejabat berseragam yang bermuka datar.*

*"Pak, ini sudah rumah kami selama lima belas tahun. Anak-anak masih kecil, pak. Kasihan..."*

*Pejabat itu bahkan tidak menatap mata ayahnya. Matanya sibuk menatap ponsel, jari-jarinya mengetik pesan dengan acuh tak acuh. "Sudah ada keputusan dari atas. Ini akan jadi mal baru. Kalian dapat ganti rugi dua juta rupiah per kepala keluarga. Sudah murah."*

*Dua juta rupiah. Harga yang bahkan tidak cukup untuk menyewa rumah selama sebulan di Jakarta.*

Raka membuka mata perlahan. Kenangan itu masih terasa segar, seolah baru terjadi kemarin. Mal yang dibangun di atas reruntuhan rumahnya itu kini menjadi salah satu pusat perbelanjaan termewah di Jakarta Selatan. Keluarga-keluarga kaya berbelanja di sana, menginjak-injak tanah yang dulunya adalah rumah impian ayahnya.

*Dan setelah penggusuran itu, hidup mereka semakin terpuruk. Kolong jembatan Semanggi menjadi rumah baru. Bau pesing, kebisingan lalu lintas, tatapan jijik dari orang-orang yang lewat dalam mobil mewah. Ibunya yang hamil tua terpaksa melahirkan adiknya di bawah jembatan, dengan bantuan seorang dukun kampung yang datang dengan hati kasihan.*

*Bayinya lahir dalam kondisi lemah. Tidak ada uang untuk rumah sakit. Tidak ada akses ke dokter. Bahkan untuk membeli susu formula pun mereka harus mengemis seharian.*

*Raka masih ingat wajah ibunya yang pucat ketika mengetuk-ngetuk pintu kantor kelurahan, meminta bantuan untuk anaknya yang sakit. Petugas di sana bahkan tidak membuka pintu sepenuhnya.*

*"Ibu, ini bukan tanggung jawab kami. Coba ke puskesmas."*

*"Sudah, pak. Puskesmas bilang harus ke rumah sakit. Rumah sakit minta uang dulu."*

*"Ya sudah, ibu cari uang dulu dong."*

*Pintu ditutup. Tidak ada belas kasihan. Tidak ada kemanusiaan.*

Raka mengepalkan tangan. Bayinya—adik laki-lakinya yang bahkan tidak sempat diberi nama—meninggal tiga hari kemudian. Dimakamkan di sebuah kuburan umum dengan kayu sebagai nisan.

---

Sementara itu, di sebuah gedung pencakar langit di kawasan Sudirman, Hendra Sutrisno, seorang pengembang properti terkemuka, sedang menikmati segelas wine mahal sambil memandang pemandangan Jakarta dari jendela kantornya di lantai 47. Di meja kerjanya tergeletak proposal untuk proyek pembangunan baru—sebuah kompleks apartemen mewah yang akan dibangun di atas lahan bekas permukiman kumuh di Jakarta Utara.

"Berapa keluarga yang harus dipindahkan?" tanya Hendra kepada asistennya yang berdiri di samping meja.

"Sekitar 300 kepala keluarga, pak. Sudah disiapkan ganti rugi minimal. Mereka pasti akan terima."

Hendra tersenyum tipis, memutar gelas wine di tangannya. "Bagus. Pastikan proses evakuasinya cepat. Aku tidak mau ada yang mencari masalah. Bayar oknum yang perlu dibayar."

Dari jendela kantornya, Hendra bisa melihat kemegahan Jakarta—gedung-gedung tinggi, jalan-jalan lebar, kemewahan yang berkilau. Baginya, kemiskinan adalah hal yang tidak perlu dipikirkan. Mereka adalah penghalang bagi kemajuan. Pembangunan membutuhkan pengorbanan, dan pengorbanan itu bukan tanggung jawabnya.

Dia tidak tahu bahwa di atas langit Jakarta, dua sosok sedang melayang dalam kegelapan, mengamati kota dengan mata yang berapi-api.

--- Malaikat Penghancur Melayang di Langit

Jet pribadi Eva telah mendarat di sebuah landasan tersembunyi di luar Jakarta. Namun Raka dan Eva tidak turun dengan cara biasa. Mereka melayang keluar dari jet, tubuh mereka terangkat oleh kekuatan yang tidak kasat mata. Udara Jakarta yang panas dan lembap menyambut mereka dengan aroma knalpot, sampah, dan keringat yang dulu sangat dibenci Raka.

Namun kini, dengan indranya yang telah berevolusi, Raka mampu memilah setiap aroma, setiap detail polusi yang mencemari udara kota. Ia melihatnya sebagai penyakit yang telah menyebar terlalu lama.

Mereka melayang naik, semakin tinggi, hingga mencapai ketinggian seribu meter di atas Jakarta. Dari sana, kota yang membentang luas terlihat seperti organisme raksasa yang bernapas—jutaan lampu berkelip, miliaran kehidupan berdetak, tanpa menyadari takdir yang akan segera menimpa mereka.

"Kau siap?" Eva bertanya, suaranya terbawa angin malam. Matanya yang gelap memancarkan antisipasi yang nyaris tak tertahankan.

Raka tidak menjawab. Ia hanya menatap ke bawah, matanya fokus pada titik-titik tertentu di kota: mal mewah yang dibangun di atas rumah masa kecilnya, kolong jembatan tempat adiknya meninggal, kantor-kantor pemerintahan yang pernah menolak permohonan keluarganya, kompleks perumahan elit tempat para pejabat dan pengusaha korup tinggal dalam kemewahan.

Ia mengulurkan kedua tangannya, membiarkan energi primordial mengalir melalui setiap selnya. Tanah seribu meter di bawahnya mulai bergetar. Udara di sekitarnya berdesir, seolah molekul-molekulnya ketakutan. Langit yang tadinya cerah mulai menggelap, awan-awan hitam pekat berkumpul dengan cepat, memblokir cahaya bulan dan bintang.

Dalam benaknya, bisikan Bumi berubah menjadi raungan yang dahsyat, sebuah jeritan kemarahan yang telah tertahan selama ribuan tahun. Musnahkan mereka! Bersihkan! Aku ingin bernapas!

---

Raka menggerakkan tangannya ke bawah, sebuah gerakan yang sederhana namun memicu malapetaka. Getaran dahsyat menghantam Jakarta—bukan gempa tektonik biasa, melainkan resonansi yang disengaja, frekuensi yang tepat untuk meruntuhkan infrastruktur yang rapuh dan korup.

Gedung-gedung pencakar langit yang dulunya simbol kesombongan manusia kini bergetar hebat. Kaca-kaca jendela berjatuhan seperti hujan berlian yang mematikan. Struktur beton yang dibangun dengan material murahan—hasil dari korupsi dan pemotongan anggaran—mulai retak dan roboh.

Mal mewah yang dibangun di atas rumah masa kecil Raka runtuh dalam hitungan detik. Orang-orang kaya yang sedang berbelanja terperangkap dalam reruntuhan, merasakan ketakutan yang sama dengan yang dulu dirasakan keluarga-keluarga miskin yang digusur.

Jalanan terbelah seperti kulit yang dirobek. Jembatan layang patah dan jatuh, menimpa kendaraan-kendaraan yang lewat. Kolong jembatan tempat Raka dulu tinggal—kini menjadi tempat penampungan gelandangan lain—ambruk, menjadi makam bagi mereka yang sistem gagal lindungi.

"Kalian membangun istana di atas pasir yang mengering," bisik Raka, suaranya bergema hingga ke seluruh kota melalui resonansi yang ia ciptakan. "Dan kini fondasi itu kutarik."

---

Namun gempa hanyalah permulaan. Raka mengangkat kedua tangannya ke langit. Awan-awan hitam yang berkumpul mulai berputar ganas, membentuk spiral raksasa yang menakutkan. Angin topan supernatural terbentuk, dengan kecepatan yang melampaui skala Saffir-Simpson manapun.

Angin kencang menghantam bangunan-bangunan yang sudah rapuh akibat gempa. Atap-atap beterbangan, papan reklame raksasa tercabut dan berputar di udara seperti pisau raksasa. Pohon-pohon tua yang selamat dari pembangunan brutal kota tercabut dari akarnya.

Di kompleks perumahan elit Pondok Indah, rumah-rumah mewah milik para pejabat korup roboh satu per satu. Hendra Sutrisno, yang tadi malam masih menikmati wine mahal di kantornya, kini terperangkap dalam reruntuhan rumah mewahnya, merasakan ketakutan yang sama dengan keluarga-keluarga yang pernah ia gusur.

"Kalian meracuni udaraku dengan asap kebodohan," suara Raka bergema, kini beresonansi dengan kekuatan angin topan. "Sekarang, aku mengirimkan badai untuk membersihkan racun itu."

---

Bersamaan dengan badai, Raka mengarahkan perhatiannya ke Teluk Jakarta. Dengan kekuatan telekinetik yang dahsyat, ia memanipulasi massa air laut, mengangkatnya hingga membentuk dinding raksasa setinggi lebih dari seratus meter. Air laut yang kotor, yang telah tercemar oleh limbah industri dan sampah manusia selama puluhan tahun, kini diangkat dan dilemparkan ke daratan dengan kekuatan destruktif yang mengerikan.

Gelombang tsunami raksasa menerjang garis pantai Jakarta Utara dengan kecepatan kereta cepat. Permukiman padat penduduk di pesisir—tempat keluarga-keluarga miskin terpaksa tinggal karena tidak mampu membeli rumah di tempat yang lebih aman—tenggelam dalam sekejap.

Namun tsunami tidak berhenti di pesisir. Air terus mengalir masuk ke daratan, menelan jalan-jalan utama, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan kompleks perumahan tanpa pandang bulu. Kekuatan air yang dahsyat menyeret mobil-mobil mewah, truk-truk besar, bahkan bus-bus transjakarta seperti mainan.

Raka menyaksikan semua ini dari ketinggian seribu meter, wajahnya tenang seperti permukaan danau yang membeku. Tidak ada penyesalan di matanya. Tidak ada kesedihan. Hanya kepuasan yang dingin dan terukur.

Kalian harus merasakan apa yang kurasakan, bisik suara di kepalanya—suara yang kini sepenuhnya milik Raka, namun diperkuat oleh kemarahan primordial Bumi. Kalian membangun kebahagiaan di atas kehancuran, dan kini kalian akan merasakan kehancuran itu sendiri.

--- Dampak Sekunder: Chaos yang Bercabang

Ketika struktur kota runtuh akibat gempa dan tsunami, dampak sekunder mulai bermanifestasi. Pipa-pipa gas yang putus akibat getaran menciptakan ledakan-ledakan yang menyala seperti bunga api raksasa. Fasilitas penyimpanan bahan kimia di kawasan industri Cakung bocor dan terbakar, menciptakan asap beracun yang mengepul ke langit.

Korsleting listrik massal terjadi di seluruh kota ketika sistem kelistrikan terendam air tsunami. Percikan-percikan api elektriks menyala di mana-mana, menambah kekacauan yang sudah mencapai puncaknya.

Sistem komunikasi lumpuh total. Menara-menara telekomunikasi roboh, kabel-kabel bawah laut putus, dan satelit komunikasi kehilangan koneksi dengan stasiun bumi yang hancur. Jakarta terisolasi dari dunia luar.

--- Reaksi Global: Dunia yang Terguncang

Di CNN International, seorang anchor bernama Sarah Chen sedang memimpin siaran berita malam ketika laporan pertama tentang bencana Jakarta mulai masuk.

"We're receiving unconfirmed reports of what appears to be a massive earthquake hitting Jakarta, Indonesia," katanya, matanya menatap monitor dengan ekspresi tidak percaya. "The magnitude is... this can't be right. Our seismologists are saying it's off the charts."

Gambar satelit pertama yang berhasil ditransmisikan menunjukkan pemandangan yang mengerikan: hampir seluruh Jakarta tertutup asap dan debu. Area pesisir yang dulu padat penduduk kini terendam air. Tidak ada tanda-tanda kehidupan dari udara.

Di Gedung Putih, presiden Amerika Serikat yang baru saja tertidur terbangun oleh telepon darurat dari kepala stafnya.

"Mr. President, we have a situation. Jakarta is... gone."

"What do you mean, gone?"

"Complete devastation, sir. We're talking about a city of ten million people. Our satellites show... there's almost nothing left."

Di Beijing, para pejabat Tiongkok menggelar rapat darurat. Jakarta adalah mitra dagang penting, dan kehancurannya akan berdampak besar pada ekonomi regional.

"Apakah ini serangan teroris?" tanya seorang jenderal.

"Tidak mungkin, Jenderal. Skala kehancurannya terlalu besar. Ini seperti bencana alam, tapi..."

"Tapi apa?"

"Pola kerusakannya tidak normal. Seolah-olah ada yang mengendalikan bencana ini."

---

Eva berdiri di samping Raka, wajahnya tanpa ekspresi, namun matanya berkilat dengan kepuasan yang dalam dan gelap. Ia mengangkat tangannya, seolah ikut merasakan energi destruktif yang Raka lepaskan. Angin topan yang diciptakan Raka mengibas rambut hitam legam Eva, namun ia tetap tenang, seolah ia adalah pusat dari badai itu sendiri.

"Pembersihan telah dimulai," Eva berbisik, suaranya nyaris tenggelam dalam deru kehancuran. "Dan ini hanyalah awal, Raka. Masih banyak simpul kotor di planet ini yang harus dihancurkan. Namun, Jakarta... Jakarta adalah pernyataan pertama. Sebuah pesan untuk dunia."

Raka menoleh ke Eva, mengangguk perlahan. Ia merasakan sesuatu yang aneh—bukan kepuasan dari balas dendam, tetapi ketenangan yang lebih dalam. Seolah-olah ia baru saja menyelesaikan sebuah tugas yang sudah lama tertunda.

Di bawah sana, Jakarta telah berubah menjadi lautan kehancuran. Asap mengepul ke langit, membentuk jamur raksasa yang terlihat hingga ke kota-kota tetangga. Tsunami surut, meninggalkan lumpur, reruntuhan, dan jutaan jasad yang terseret arus.

Tidak ada suara lagi. Tidak ada teriakan. Tidak ada rintihan. Jakarta, kota dengan sepuluh juta penduduk, kini sunyi seperti kuburan raksasa.

--- Fajar Kehancuran

Ketika fajar mulai menyingsing, bukan cahaya harapan yang menyinari Jakarta, melainkan cahaya merah dari asap dan debu yang mengepul ke langit. Matahari terbit di balik lapisan polusi tebal, menciptakan pemandangan apokaliptik yang mengerikan.

Raka dan Eva masih melayang di langit, mengamati hasil karya mereka. Bagi Raka, ini adalah permulaan—bukan akhir dari penderitaannya, tetapi awal dari misinya sebagai algojo Bumi. Bagi Eva, ini adalah langkah pertama dari rencana besar yang telah direncanakan selama ribuan tahun.

"Dunia akan segera menyadari," Eva berkata, suaranya dingin seperti angin pagi. "Bahwa zaman manusia telah berakhir. Dan zaman pembersihan telah dimulai."

Raka tidak menjawab. Matanya menatap ke timur, ke arah matahari yang terbit. Di sana, ada kota-kota lain yang menanti. Ada orang-orang lain yang perlu dihakimi. Ada dunia yang perlu dibersihkan.

Jakarta hanyalah permulaan. Dan dunia belum siap untuk apa yang akan datang selanjutnya.

Dunia akan berubah, bisik suara di kepalanya. Dan kau adalah pusat dari perubahan itu, Raka. Kau adalah tangan kanan Bumi. Kau adalah harapan terakhir untuk keseimbangan.

Saat dua sosok itu melayang menjauh dari reruntuhan Jakarta, meninggalkan kota yang dulunya hidup kini menjadi monument kehancuran, dunia mulai menyadari bahwa sesuatu yang mengerikan telah dimulai. Sesuatu yang akan mengubah peradaban manusia untuk selamanya.

---

awal babak 2

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!