SEQUEL KEDUA ANAK MAFIA TERLALU MENYUKAIKU!
Lucas Lorenzo yang mendapati kenalan baiknya Philip Newton berada di penjara Santa Barbara, ketika mengunjunginya siapa sangka Lucas dimintai tolong oleh Philip untuk menyelamatkan para keponakannya yang diasuh oleh sanak keluarga yang hanya mengincar harta mendiang orang tua mereka.
Lucas yang memiliki hutang budi kepada Philip pun akhirnya memutuskan untuk membantu dengan menyamar menjadi tunangan Camellia Dawson, keponakan Philip, agar dapat memasuki kediaman mereka.
Namun siapa sangka ketika Lucas mendapati kalau keponakan Philip justru adalah seorang gadis buta.
Terlebih lagi ada banyak teror di kediaman tersebut yang membuat Lucas tidak bisa meninggalkan Camellia. Ditambah adanya sebuah rahasia besar terungkap tentang Camellia.
Mampukah Lucas menyelamatkan Camellia dari orang yang mengincarnya dan juga kebenaran tentang gadis itu? Lalu bagaimana jika Camellia tahu bahwa Lucas adalah seorang mafia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33. PULANG
Langit di atas Samudra Atlantik terhampar seperti kanvas kelabu. Pesawat jet pribadi yang mereka tumpangi meluncur mulus di antara awan-awan tipis, menyisakan jejak tak terlihat menuju daratan Amerika, menuju kota tempat segalanya pernah dimulai, dan segalanya akan diuji kembali.
Camellia duduk di kursi dekat jendela oval, pipinya menempel lembut pada telapak tangannya. Dari celah jendela kecil itu, ia melihat hamparan langit yang tak lagi sebiru Swiss, tak lagi berpendar keemasan seperti senja Paris. Semuanya kini tampak dingin, jauh, dan nyaris asing. Dalam diam, ia merindukan daratan Eropa itu.
Lucas duduk di seberangnya, menatap wajah Camellia dengan ekspresi tak terbaca. Ada banyak yang mengendap di balik matanya, pikiran yang mengganggu Lucas sejak semalam.
"Love?" panggil Lucas lembut, memecah keheningan.
Camellia menoleh. Matanya tampak lelah, namun lembut.
"Ada satu hal yang ingin kuminta sebelum kita kembali ke Los Angeles," ucap Lucas.
"Apa itu?" tanya Camellia.
Lucas mencondongkan tubuhnya, kedua tangannya saling menggenggam di atas meja kecil yang memisahkan mereka. "Ketika kita sampai nanti aku ingin ... kau berpura-pura masih buta."
Camellia terkejut. Dada kecilnya naik turun. "Apa ... maksudmu?"
Lucas menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu ini terdengar aneh. Tapi tolong percayalah, aku tak akan memintanya jika ini tak penting."
Camellia diam. Matanya menatap lurus ke arah Lucas, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik permintaan itu.
Lucas melanjutkan, suaranya tenang namun tegas. "Aku ingin kau melihat sendiri dengan matamu yang baru, dengan hatimu yang lama, siapa saja yang jujur dan siapa yang tidak. Aku tak ingin kau tertipu lagi oleh senyum palsu, oleh perhatian pura-pura. Aku ingin kau tahu ... betapa jauh kebenaran pernah disembunyikan darimu."
"Ini tentang Briana?" Camellia bertanya lirih.
Lucas mengangguk. "Bukan hanya tentang Briana. Tapi semua orang yang ada di sekitarmu. Aku ingin kau melihat mereka tanpa mereka tahu kau bisa melihat. Aku ingin kau tahu siapa yang menatapmu dengan ketulusan, dan siapa yang menatapmu dengan niat tersembunyi."
Camellia menggigit bibir bawahnya. Ada rasa tak nyaman di dada. Tapi ada pula rasa penasaran yang tak bisa disangkal. Ia pernah hidup dalam kegelapan, bukan hanya secara harfiah, tetapi juga dalam pengkhianatan dan manipulasi. Kini, mungkin, giliran dunia yang dilihatnya tanpa filter, tanpa sandiwara.
"Aku mengerti," ucapnya pelan. "Aku akan melakukannya."
Lucas tersenyum, dan di dalam senyuman itu, ada rasa lega sekaligus rasa bersalah. Ia tahu, permintaannya bukan hal ringan. Tapi ini satu-satunya cara agar Camellia bisa memilih dengan sadar; siapa yang patut dipercaya, dan siapa yang patut dilepaskan.
Beberapa jam kemudian, roda pesawat menyentuh landasan Bandara Internasional Los Angeles dengan lembut. Namun yang dirasakan Camellia bukanlah kelembutan, melainkan guncangan yang aneh. Dunia yang baru ia lihat seakan kembali berubah wujud.
Begitu ia melangkah keluar dari kabin pesawat, suhu udara yang lebih kering dan hangat menyambutnya. Tak ada semilir angin pegunungan. Tak ada harum bunga liar. Tak ada suara lembut lonceng gereja dari kejauhan. Yang terdengar hanyalah deru mesin, langkah kaki tergesa-gesa, suara pengumuman berulang-ulang dalam bahasa mekanis.
Los Angeles.
Kota beton. Kota yang hidup dalam garis-garis lurus dan lampu-lampu neon. Langitnya luas tapi terasa berat, seperti menindih gedung-gedung tinggi yang menjulang seperti tombak-tombak baja.
Camellia berdiri di samping Lucas, mengenakan kacamata hitam besar dan tongkat penuntun yang kembali ia genggam; tongkat yang kini hanya simbol.
Mobil hitam mereka melaju melewati jalan bebas hambatan, membelah hiruk pikuk lalu lintas. Camellia menempelkan kepalanya ke jendela mobil, menatap ke luar dengan diam-diam. Ia melihat papan reklame raksasa, trotoar padat manusia, kafe modern, layar digital, dan gedung-gedung tinggi yang memantulkan cahaya matahari dengan silau yang kejam.
"Swiss seperti negeri dongeng," ucap Camellia. "Tapi Los Angeles ... seperti mesin raksasa yang tak pernah tidur."
Lucas menoleh. "Kau benar. Setelah sebulan di Swiss dan Paris, rasanya aku jadi merindukan ketenangan alam dibandingkan kebisingan kota."
Camellia mengangguk pelan. Tapi hatinya mulai merasakan sesuatu yang dingin, ketegangan, kecurigaan, dan bayang-bayang yang mulai tumbuh panjang kembali. Hal yang akan segera ia hadapi.
Di kejauhan, langit senja Los Angeles tampak berbeda dari Paris, tak berpendar keemasan, melainkan teredam oleh kabut polusi dan cahaya neon. Namun dari balik kacamata hitamnya, Camellia tahu, di kota ini, cahaya sejati tak bersinar di langit, melainkan di hati mereka yang masih sanggup mencintai dengan jujur.
Dan ia bersumpah, kali ini ia akan melihat semuanya, dengan mata yang tak lagi buta, dan jiwa yang tak lagi bisa dibohongi.
Gerbang besi hitam yang tinggi itu terbuka perlahan, menyambut mobil hitam Lucas dan Camellia dengan decit lembut yang seperti helaan napas masa lalu. Di balik pagar yang mewah itu, berdirilah rumah megah bergaya klasik Amerika, tempat segala kenangan manis dan luka sunyi bertumbuh dalam diam.
Mobil berhenti di depan arah pintu masuk. Camellia mengencangkan genggaman pada tongkat penuntunnya. Ia menarik napas dalam, lalu mengenakan kembali wajah lamanya, wajah gadis buta yang lembut dan tak tahu apa-apa, padahal dalam dirinya, mata telah terbuka dan hati telah bersiap.
Lucas turun lebih dulu, memutar ke sisi lain untuk membuka pintu bagi Camellia. Tangannya hangat saat menggandeng gadis itu keluar, namun ada desakan lembut di genggamannya, pengingat sunyi bahwa permainan telah dimulai.
Dan di puncak anak tangga itu, berdiri sosok yang telah menunggu dengan senyum selembut madu, sehangat matahari.
Briana Dawson.
Rambutnya ditata anggun, gaun berwarna pastel membalut tubuhnya yang sempurna, dan senyumnya merekah seperti bunga musim semi.
"Camellia?!" serunya, berlari menuruni tangga.
Camellia nyaris lupa cara menahan napas, tapi ia berhasil. Ia menoleh pelan ke arah suara sepupunya, seolah masih perlu menebak dari arah mana suara itu datang.
"Briana?" ucapnya pelan, lembut, nyaris lugu.
"Oh sayang, akhirnya kau kembali juga!" Briana langsung memeluknya erat, terlalu erat.
Namun kini, Camellia tahu. Ia bisa melihat tatapan Briana dari dekat. Senyum itu terlalu rapi. Pelukan itu terlalu sempurna. Warna bibirnya merah menyala, tapi mata Briana berbeda, mata itu dingin seperti permukaan logam. Matanya tidak bersinar karena rindu. Matanya menyelidik. Mencari.
Camellia memejamkan mata sesaat, berpura-pura meresapi pelukan itu, padahal ia sedang mengamati wajah yang pernah ia percayai lebih dari siapa pun, kini tampak seperti topeng indah yang terbuat dari kebohongan.
"Aku ... merindukan rumah," ujar Camellia dengan suara pelan yang nyaris bergetar.
Lucas berdiri tak jauh, tangannya masih ada di punggung Camellia, seperti jangkar yang menjaganya tetap tenang. Tatapan pria itu dingin, penuh waspada, mengarah lurus pada Briana, yang seperti biasa, mengabaikannya.
"Bagaimana perjalananmu?" tanya Briana dengan suara manis yang dibuat sedemikian rupa hingga hampir terdengar tulus.
"Oh, sangat indah. Seperti mimpi," jawab Camellia lembut dan merangkai tentang liburan palsu yang telah diberitahukan Lucas sebelumnya. "Florida benar-benar hangat."
Briana mengerutkan alis sesaat. "Benarkah?" ucapnya, agak gugup. Tapi hanya sekejap. Ia kembali tersenyum. "Maksudmu ... kamu bisa merasakannya, ya? Suasana Florida memang indah."
Camellia mengangguk pelan. "Sangat berbeda dari sini." Lalu Camellia menoleh ke arah Lucas dan berkata pelan, "Bolehkah aku masuk dulu? Aku lelah."
Lucas mengangguk lalu menjawab untuk mengizinkan dan membimbingnya naik. Briana berjalan di depan, seperti biasa mengambil peran sebagai sang nyonya rumah, namun kini Camellia melihat lebih dari sekadar langkah kaki yang anggun. Ia melihat bagaimana tangan Briana mencengkeram pegangan tangga sedikit terlalu kuat. Bagaimana mata itu kadang menoleh ke belakang, memerhatikan Lucas dan dirinya bukan dengan kasih melainkan dengan kalkulasi.
Kamar Camellia tetap seperti terakhir ia tinggalkan. Tirai tipis berwarna putih dibiarkan terbuka, membiarkan sinar sore menari masuk ke dalam. Vas bunga segar, bantal empuk, dan aroma sabun favoritnya masih menguar lembut dari lemari. Namun kini, semuanya terasa seperti panggung sandiwara yang terlalu sempurna.
Lucas membaringkan Camellia di sofa panjang dekat jendela.
"Aku keluar dulu untuk mengambil barang," ucap Lucas lembut, mengecup dahi Camellia yang dapat Lucas lihat bagaimana perubahan air muka Briana ketika Lucas melakukan itu.
Camellia mengangguk. Dan saat pintu menutup di belakang Lucas, Briana pun duduk di tepi ranjang, wajahnya masih dilukis oleh senyum ramah.
"Kau terlihat bahagia, Camellia," kata Briana.
Camellia menoleh pelan, menundukkan wajahnya. "Mungkin karena aku merasa bebas untuk sesaat."
Briana tertawa kecil. "Ah, tentu. Kau pergi bersama pria paling memesona. Siapa yang tak akan bersinar?"
Camellia hanya tersenyum samar. Ia tahu arah kalimat itu. Bahkan Camellia mengerti sekarang arti nada itu adalah nada mengejek.
"Bagaimana hubungan kalian?" tanya Briana, nada suaranya manis, tapi ujungnya runcing.
Camellia berpura-pura ragu sejenak. "Lucas sangat baik padaku. Terlalu baik, mungkin. Tapi aku tak tahu, apakah seseorang sepertiku bisa benar-benar memilikinya."
Briana menatapnya dengan mata berbinar yang terlalu mencolok untuk sebuah simpati. "Lia, jangan terlalu berharap pada sesuatu yang tak bisa kau lihat."
Camellia tersenyum tipis. Kini dapat melihat sepenuhnya bagaimana raut wajah Briana sebenarnya. Penuh kebencian dan merendahkan akan diri Camellia. Membuat Camellia paham atas apa yang dimaksud oleh Lucas saat di pesawat.
"Ingatlah, Lia. Pria bisa berubah kapan saja, ingat seperti yang terjadi pada Jeremy, Dasthan dan Herold?" ucap Briana yang mulai menyebarkan racunnya.
Amarah terkumpul di dada Camellia ketika mendengar itu. Setelah tahu kebenarannya, Camellia benar-benar ingin memukul wajah Briana. Tapi ia harus tahan.
Camellia menundukkan kepala seolah menerima perkataan itu, padahal di dalam dirinya, senyum itu mengeras menjadi batu tekad.
Namun sebelum Briana bisa melanjutkan kalimat manisnya yang mengandung racun, pintu kamar terbuka dengan bunyi lembut.
Lucas masuk lebih dulu, mendorong koper hitam besar, diikuti oleh Jane, pelayan muda yang setia menemani Camellia sejak kecil, membawa tas tangan dan buket kecil bunga Edelweiss yang sempat mereka beli di pegunungan Swiss. Tapi tentu perjalan di Eropa itu hanya menjadi rahasia Lucas dan Camellia.
"Miss, kenapa tidak mengabariku kalau akan pulang?!" sambut Jane yang sepertinya baru mendengar tentang kepulangan Camellia.
"Jane?" Camellia terkejut melihat betapa cantik Jane sebenarnya. Dengan wajah ramah dan penuh senyum, rasanya seperti apa yang Camellia bayangkan selama ini. "Akhirnya aku bisa bertemu denganmu juga. Aku merindkukanmu," sambungnya.
"Maaf, kami agak lama," ujar Lucas sambil meletakkan koper di sudut ruangan. "Camellia sempat lupa lukisan kecil yang dia beli dari Florida."
Wajah Briana seketika berubah mendengar itu. Ia tahu kalau Lucas sedang memanasinya.
"Lukisan?" tanya Briana cepat, berusaha terdengar netral. "Bukankah itu percuma mengingat Camellia tidak dapat melihatnya?"
"Tidak ada yang sia-sia jika itu semua menyangkut Camellia," kata Lucas tegas.
Jane mengangguk riang. "Oh ya, Miss. Camellia, Lucas bilang kalau kau berkeliling kota dan menikmati pantai Florida yang menyenangkan!"
Camellia hanya tersenyum pelan, mengangguk kecil seolah semua itu hanya sekedar cerita.
Namun mata Briana, mata itu kehilangan cahayanya sesaat. Tatapan itu menusuk pada koper, lalu beralih ke tangan Lucas yang dengan begitu ringan membetulkan bantal di kursi Camellia. Perhatian itu terlalu lembut. Terlalu tulus. Terlalu ... memilukan untuk seorang Briana yang merasa dirinya lebih pantas mendapatkannya.
"Oh, kurasa aku harus pergi sekarang," ucap Briana, berusaha menjaga suaranya tetap manis. "Kau tentu ingin beristirahat. Satu bulan perjalanan, pasti melelahkan, meskipun menyenangkan, ya?"
Camellia menoleh pelan ke arah suara itu. "Iya, sangat menyenangkan," jawabnya lembut, nyaris seperti bisikan.
Tapi Lucas menangkap nada halus dalam suara itu, dan Jane, yang sudah bertahun-tahun mengenal Camellia, tahu betul: gadis itu sedang bersikap tidak seperti biasanya. Seperti singa betina yang sedang memerhatikan mangsa sebelum menerkam.
Briana berdiri, menyeka lipstik yang tak perlu diperbaiki dari sudut bibirnya. Matanya menatap Jane, lalu Lucas, lalu Camellia dengan tatapan lama dan dalam, seolah mencoba membaca sesuatu dari wajah buta yang selama ini tak pernah bisa melawan.
Namun kini, Camellia hanya menunduk, tersenyum, dan berkata, "Terima kasih sudah menyambutku pulang, Briana."
Sebuah ucapan yang terdengar lembut, namun penuh ironi. Dan Briana tahu itu.
"Selamat istirahat" ucap Briana akhirnya.
Lalu melangkah pergi, menyembunyikan amarah yang mendidih di balik langkah kaki yang tetap berayun anggun.
Pintu tertutup.
Keheningan kembali melingkupi ruangan.
Dan saat itu, Camellia menoleh perlahan ke arah jendela, membiarkan angin malam menyentuh wajahnya yang tak lagi takut.
Perang telah dimulai. Dan ia tidak lagi buta.
Camellia akan membayar perbuatan Briana selama ini.
karna saking kaget nya Cammy bisaa meliy lagi, dan orang² yg pernah mengkhianati Cammy menyesal
oiya btw kak, kan kemarin ada part yg Lucas bilang " dia lebih tua dari mu " itu Arthur atau Rose, terus umur Rose berapa sekarang, aku lupaa eee