"Janji di Atas Bara" – Sebuah kisah tentang cinta yang membakar, janji yang teringkari, dan hati yang terjebak di antara cinta dan dendam.
Ketika Irvan bertemu Raisa, dunia serasa berhenti berputar. Cinta mereka lahir dari kehangatan, tapi berakhir di tengah bara yang menghanguskan. Di balik senyum Raisa tersimpan rahasia, di balik janji manis terselip pengkhianatan yang membuat segalanya runtuh.
Di antara debu kota kecil dan ambisi keluarga yang kejam, Irvan terperangkap dalam takdir yang pahit: mempertahankan cintanya atau membiarkannya terbakar menjadi abu.
"Janji di Atas Bara" adalah perjalanan seorang pria yang kehilangan segalanya, kecuali satu hal—cintanya yang tak pernah benar-benar padam.
Kita simak kisahnya yuk, dicerita Novel => Janji Di Atas Bara
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 15
Di Kantor Polisi
Lampu neon di langit-langit berpendar dingin, memantul di meja besi penuh bercak kopi.
Irvana duduk bersandar malas di kursi, kaki kanannya terangkat, bertengger di atas meja. Tatapannya kosong, tapi tajam. Seolah menantang siapa pun yang berani menyuruhnya turun.
Pintu ruang interogasi terbuka keras.
Komisaris Maulana Wijaya muncul dengan seragamnya yang rapi, wajah keras seperti batu. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat posisi Irvana.
Sekejap, ruangan jadi senyap.
Tanpa bicara, Irvana menggeser sedikit kakinya. Ujung sepatunya menyenggol gelas di tepi meja.
Prang !
Gelas itu pecah, serpihan kaca berhamburan di lantai.
Rahang Maulana mengeras. "Kau tahu, tempat apa ini?"
Suara beratnya menggema di ruangan sempit itu.
Dia maju cepat, menarik kerah kemeja Irvana hingga tubuh lelaki itu bangkit dari duduknya. Tapi Irvana tak melawan. Ia hanya berdiri tegak, menatap balik.
Tatapannya seperti pisau. Dingin. Dalam. Menantang.
"Berani kau menatapku seperti itu, bajingan?! Kau pikir siapa kau, hah?!"
Nada suara Maulana naik. Tangannya gemetar menahan amarah.
Irvana masih diam. Tak bergeming sedikit pun. Itu yang justru membakar emosi Maulana.
Sabuk kulit di pinggangnya dilepas. Dalam satu gerakan kasar_
Plaak !
Tamparan pertama mendarat di wajah Irvana. Yang kedua membuat pipinya robek, darah mengalir perlahan di pipinya.
Yang ketiga-- gagal. Karena Irvana lebih cepat. Tangannya menangkap sabuk itu, menarik keras hingga tubuh Maulana goyah.
Dalam sepersekian detik, Irvana sudah mengangkat tangan. Kepalan itu hampir menghantam wajah Maulana_sampai satu suara memotong udara.
"Permisi-- ada yang punya korek api?"
Suara itu tenang, tapi punya bobot aneh.
Keduanya menoleh bersamaan.
Seorang pria berdiri di ambang pintu, membawa satu putung rokok, mengenakan jas tua berwarna abu, rambutnya memutih sebagian, tapi sorot matanya tetap tajam.
Darwis. Ayah Irvana.
Dia melangkah masuk pelan, setiap langkah seperti mempersempit jarak antara kuasa dan gentar.
"Hai, Tuan Maulana. Bagaimana kabarmu?" katanya datar, tapi ada nada sinis terselip di ujung kalimatnya.
Maulana diam. Tak menjawab.
Darwis tersenyum tipis. "Tuan Maulana yang terhormat, memberi pelajaran tanpa bukti sama saja seperti anda menonton film tanpa tiket. Kau bisa duduk di kursinya, tapi kau tak akan pernah bisa melihat layar."
Ruangan kembali hening.
Tak ada yang berani bicara.
Semua tahu siapa Darwis. Mantan politisi yang suaranya masih lebih berpengaruh dari sirene polisi. Orang-orang di kota itu menyebutnya orang yang tak bisa disentuh.
Darwis lalu menepuk bahu anaknya pelan. "Ayo, Nak. Kita pulang." Mereka berjalan ke pintu.
Tapi sebelum melangkah keluar, suara Maulana memecah keheningan.
"Hey, Darwis." Langkah Darwis terhenti, tapi ia tak menoleh begitu juga dengan Irvana. "Lain kali, aku akan menonton film itu. Tanpa tiket."
Senyum tipis muncul di wajah Darwis. "Lakukan saja kalau kau bisa," ujarnya tenang.
Lalu mereka pergi. Suara pintu menutup pelan. Meninggalkan Maulana berdiri sendiri di tengah ruangan_dengan rasa kalah yang tak perlu diucapkan.
~~
Di Dalam Jeep terbuka
Langit subuh menggantung sedikit terang. Di dalam mobil jeep tua yang melaju pelan, hanya suara mesin dan deru angin yang terdengar.
Irvana duduk di kursi penumpang, menatap lurus ke depan. Sepasang matanya kosong, tapi gelapnya menyimpan bara. Di ujung jarinya, sebatang rokok menyala, asapnya melingkar tipis di udara.
Darwis di balik kemudi sesekali melirik putranya. Napasnya berat, seperti menahan sesuatu yang lama tak terucap.
"Irvan," suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh suara mesin. "Pergilah ke Kota Tua. Di sana, kau bisa hidup lebih tenang. Tak perlu lagi memikirkan dia."
Irvana tak langsung menjawab. Asap rokok keluar dari bibirnya pelan, nyaris bersamaan dengan ucapannya.
"Hidupku baru akan tenang kalau pria tua itu mati di tanganku."
Darwis menarik napas panjang. "Hentikan amarahmu, Nak. Kau bisa bekerja di sana. Dan memulai hidup baru."
Irvana menatap jalan di depan dengan mata kosong. "Tak ada pekerjaan yang lebih baik daripada membuat pria tua itu mati... tanpa sempat melihat putrinya lagi."
Sebelum Darwis sempat membalas, tangan Irvana sudah menarik rem tangan.
Mobil berhenti mendadak. Ban berdecit di atas aspal jembatan, suara burung beterbangan di kejauhan.
Irvana membuka pintu, turun tanpa menoleh. Langkahnya lebar, santai, tapi penuh dendam.
Jeans hitam. Kemeja hitam. Wajah kusam dengan jambang tak terurus. Sosok yang terlihat seperti seseorang yang sudah kehilangan segalanya_kecuali amarah.
Ia menyalakan rokok lagi, mengisapnya dalam-dalam, lalu membuang puntungnya yang sudah habis sembarangan.
Dari kejauhan, terlihat motornya terparkir di dekat rumah Roy_tempat ia meninggalkannya malam itu, sebelum polisi datang.
Irvana menaiki motornya. Sekali putaran gas, suara mesin meraung keras.
Dia melaju. Cepat. Seolah kecepatan adalah satu-satunya bahasa yang bisa ia pahami sekarang.
Angin pagi menghantam wajahnya. Jalan berliku tak membuatnya melambat. Setiap tikungan seperti menghapus sedikit rasa sakit, tapi menggandakan kenangan.
Sampai akhirnya-- ia tiba di jembatan itu. Tempat ia dan Raisa dulu sering berdiri. Tempat yang sekarang hanya jadi reruntuhan kenangan yang menolak mati.
Motor berhenti mendadak.
Di balkon jembatan, berdiri seorang perempuan_ siluet tubuhnya mirip Raisa. Rambutnya tertiup angin, membuat dada Irvana bergetar sesaat.
Tanpa pikir panjang, ia turun, melangkah mendekat, dan memeluknya dari belakang.
"Raisa-- aku sangat merindukanmu," bisiknya lirih. "Jangan pergi lagi."
Tapi tubuh itu menegang.
"Lepaskan!"
Suara perempuan itu jelas bukan Raisa.
Irvana melepas pelukannya perlahan. Wajahnya hancur saat melihat siapa yang berdiri di depannya_ bukan Raisa, hanya perempuan asing dengan wajah bingung dan takut.
Perempuan itu menampar pipinya yang masih terluka. Suara tamparan itu seperti gema yang lama tak hilang. Irvana tak membalas. Hanya menoleh pelan, menatapnya dengan tatapan kosong.
"Maaf," suaranya nyaris tak terdengar. "Aku pikir-- kau kekasihku. Dia dulu sering menungguku di sini."
Ia berbalik, melangkah pergi. Menyalakan motor tanpa lagi menatap ke belakang. Mesin meraung lagi, kali ini lebih keras.
Mobil-mobil di depannya mencoba menghalangi, tapi Irvana hanya menyalip, terus memacu gas. Kecepatan tinggi. Angin makin kencang. Bagi orang lain, mungkin itu tampak seperti pelarian.
Tapi bagi Irvana, itu satu-satunya cara untuk tetap hidup_karena mati pun, sudah terlalu dekat untuk ditakuti.
...----------------...
To Be Continue
oh cintaaaa
kumaha ieu teh atuh nya
lanjut
badai akan segera d mulai
hm
lanjut
haruskah