Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Sebastian menggenggam tangan Amira erat, menuntunnya menuju ruang kerjanya di lantai paling atas.
Lift bergerak naik perlahan, dan suasana di dalam hening.
Hanya terdengar napas pelan Amira yang masih terengah karena emosi.
Begitu pintu lift terbuka, Sebastian langsung membuka pintu ruang kerjanya dan mempersilakan istrinya duduk di sofa kulit hitam dekat jendela besar.
Ia menuangkan segelas air putih dan memberikannya kepada Amira.
“Sayang, tenangkan dulu dirimu, ya. Mereka sudah keterlaluan. Aku tidak akan biarkan hal seperti ini terjadi lagi,” ucap Sebastian .
Amira menganggukkan kepalanya sambil menatap wajah suaminya.
“Bas, tolong panggil mereka berdua ke sini,” ucapnya pelan tapi tegas.
Sebastian menatap istrinya dengan sedikit heran.
“Sayang, kamu yakin? Kamu masih—”
“Aku yakin,” potong Amira cepat.
“Selama mereka masih bekerja di perusahaan ini, mereka akan terus merasa bisa merendahkanku. Aku tidak mau siapa pun memperlakukan aku, apalagi anak kita, seperti sampah.”
Melihat ketegasan itu, Sebastian mengangguk.
Ia berdiri dan menekan tombol interkom di mejanya.
“Diko, tolong panggil Nakula dan Isabel. Bawa mereka ke ruanganku. Sekarang.”
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka.
Diko masuk terlebih dahulu, diikuti Nakula dan Isabel yang berjalan dengan wajah tegang.
Isabel masih menatap sinis ke arah Amira, sedangkan Nakula mencoba terlihat tenang meski keringat dingin membasahi pelipisnya.
“Silakan duduk,” ujar Sebastian dingin, tapi tak seorang pun dari mereka berani bergerak.
Amira menatap mereka berdua dari kursinya.
Aura lembut yang biasa terlihat di wajahnya kini hilang, tergantikan oleh sorot mata penuh wibawa.
“Barusan kalian memperlakukan aku seperti apa?” ucap Amira pelan.
Suara lembutnya terdengar tenang, namun membuat bulu kuduk berdiri.
“Kalian dorong aku, kalian hina aku di depan orang banyak, dan kalian panggil keamanan untuk mengusirku di kantor suamiku sendiri.”
Isabel mendengus pelan saat mendengar perkataan dari Amira.
“Kami tidak tahu kalau kamu—”
“Bukan itu masalahnya!” potong Amira dengan nada yang tiba-tiba meninggi.
“Masalahnya adalah kalian merasa lebih tinggi dari orang lain. Kalian pikir kalian bisa mempermalukan siapa pun yang kalian mau. Tapi tidak hari ini. Tidak padaku.”
Isabel melipat tangan di dada, menatap tajam.
“Jadi apa? Kamu mau kami minta maaf sambil berlutut? Jangan mimpi! Aku di sini karena kemampuanku, bukan karena tidur dengan bos—”
PLAAKK!!!
Suara tamparan keras menggema di seluruh ruangan.
Semua orang terkejut saat mendengar suara tamparan itu.
Isabel terdiam, memegangi pipinya yang memerah.
Diko berdiri di hadapannya, tatapan matanya tajam dan penuh amarah.
“Jaga mulutmu, Isabel!” bentak Diko.
“Itu istri sah Tuan Sebastian! Dan kalau kamu berani bicara kotor satu kali lagi, aku yang akan pastikan kamu tidak bisa bekerja di manapun!”
Nakula menunduk, tidak berani menatap siapa pun.
Sebastian hanya berdiri diam, matanya gelap menahan marah.
Amira menghela napas pelan dan menatap suaminya.
“Bas,” ucapnya lembut tapi pasti, “pecat mereka berdua. Hari ini juga.”
Sebastian menatap Amira sejenak, lalu mengangguk.
Ia mengambil dokumen di mejanya dan menandatanganinya tanpa ragu.
“Mulai detik ini,” ucapnya dingin, “Nakula dan Isabel resmi diberhentikan dari seluruh jabatan di perusahaan ini.”
Diko segera melangkah maju dan menyerahkan surat pemecatan itu kepada keduanya.
“Silakan keluar sebelum saya panggil keamanan. Kalian berdua sudah tidak punya urusan lagi di sini.”
Isabel menatap Amira dengan mata berapi-api, masih menahan amarah.
“Kamu pikir kamu menang hari ini, Amira? Kamu cuma beruntung punya suami sekuat Sebastian. Tapi lihat saja nanti—”
“Keluar, Isabel,” potong Sebastian dengan suara tajam dan dingin seperti es.
“Sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran.”
Isabel menelan ludah, menatap Sebastian dengan takut, lalu menyeret Nakula keluar dari ruangan tanpa berkata apa-apa lagi.
Begitu pintu tertutup, suasana ruangan perlahan mereda.
Amira menghela napas panjang, lalu menatap Diko dengan lembut.
“Terima kasih, Diko. Aku tahu kamu hanya ingin melindungi.”
Diko menunduk sopan.
“Itu sudah kewajiban saya, Ibu Amira.”
Sebastian memeluk istrinya dari samping, menenangkan dengan sentuhan lembut di bahunya.
“Sekarang sudah selesai, Sayang. Tidak ada yang bisa menyakitimu lagi.”
Amira bersandar di bahu suaminya, menutup mata sejenak.
“Terima kasih, Bas. Kali ini, aku tidak akan diam lagi.”
Sebastian tersenyum kecil dan mengecup keningnya.
“Dan aku akan selalu di sisimu.”
Pagi di rumah keluarga Mia berjalan seperti biasaaroma kopi hitam dan suara televisi berita memenuhi ruang makan.
Namun, ketenangan itu buyar ketika pintu depan terbuka keras dan langkah kaki cepat terdengar.
Isabel masuk dengan wajah masam, diikuti Nakula yang tampak kusut, dasinya miring, dan wajahnya tegang.
“Mamaaa!!” seru Isabel dengan nada tinggi, langsung menjatuhkan tasnya di sofa.
“Mama tidak akan percaya apa yang terjadi!”
Mama Mia yang sedang menyeruput kopi langsung menoleh dengan dahi berkerut.
“Kenapa kalian pulang pagi-pagi begini? Bukankah hari ini ada rapat besar di kantor Sebastian?”
Isabel menghentakkan kaki kesal.
“Rapat apanya! Kami dipecat, Ma! Dikeluarkan seperti sampah semua karena si Amira itu!”
Cangkir di tangan Mama Mia hampir terlepas.
“APA?! Dipecat?!” serunya kaget. “Kalian bercanda?”
Nakula menghela napas berat, menatap lantai dengan pandangan kosong.
“Tidak, Ma. Semuanya benar. Sebastian memecat kami di depan staf lain... dan Amira sendiri yang meminta itu.”
Mama Mia membulatkan matanya, suaranya meninggi penuh amarah.
“Perempuan tak tahu diri itu! Dulu aku sudah bilang, dia cuma pembawa sial. Sekarang setelah menikah dengan orang kaya, dia berani menginjak-injak kalian?! Dasar wanita murahan!”
Isabel mengangguk cepat, wajahnya penuh kebencian.
“Dan Mama tahu apa yang paling menyebalkan? Dia datang ke kantor dengan wajah baru yang… yang—”
Ia menggertakkan gigi, tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Nakula melanjutkan dengan nada pelan tapi jujur, seolah tak percaya dengan yang dilihatnya tadi.
“Cantik, Ma. Amira sekarang benar-benar cantik. Aku bahkan hampir tidak mengenalinya. Wajahnya jauh berbeda dari dulu. Anggun, tenang, seperti wanita kelas atas.”
“Cukup, Nakula! Jangan bilang kamu masih terpesona dengan perempuan itu!”
Nakula menggeleng cepat, mencoba menutupi rasa malunya.
“Bukan begitu, Ma. Aku hanya kaget saja.”
Isabel langsung memutar bola matanya, bibirnya manyun kesal.
“Tuh, kan! Bahkan setelah semuanya, dia masih bisa bikin Nakula terpesona. Dasar perempuan licik! Aku yakin dia sengaja operasi supaya bisa balas dendam dan mempermalukan kita!”
Mama Mia menepuk meja keras.“Kalau begitu, dia harus diajari lagi siapa yang seharusnya di atas! Tidak bisa dibiarkan, Isabel. Aku tidak akan biarkan perempuan itu hidup tenang setelah menghancurkan nama keluarga kita!”
Isabel tersenyum sinis, matanya menyala dengan amarah.
“Tenang saja, Ma. Aku juga tidak akan diam. Kalau Amira pikir dia menang hari ini, dia salah besar. Permainan baru saja dimulai.”
Mama Mia menatap calon mantunya penuh keyakinan, suaranya rendah namun sarat kebencian.
“Kita lihat seberapa lama dia bisa mempertahankan kebahagiaannya bersama Sebastian.”
karna bastian mandul