NovelToon NovelToon
Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Time Travel / Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Naniksay Nay

Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.

Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.

Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 – Pencarian Petunjuk

...Petunjuk Pertama...

Di desa terpencil, Sempakwaja menuntun sang ibu dan anaknya ke sebuah pondok kayu sederhana. Setelah memastikan anak itu mendapat pertolongan, ia segera bergegas menuju rumah tabib yang dimaksud. Pintu rumah itu terbuka, namun hawa dingin dan aroma obat-obatan yang sudah lama mengering menyambutnya. Di sudut ruangan, seorang anak lelaki yang bisu duduk meringkuk, matanya memancarkan ketakutan yang dalam. Tubuhnya gemetar hebat, seolah ia trauma akan sesuatu yang baru saja ia saksikan.

Sempakwaja berlutut perlahan, mencoba menenangkan anak itu. "Jangan takut, aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi pada tabib…em ayahmu."

Butuh waktu lama bagi Sempakwaja untuk meyakinkan sang anak. Namun, setelah Sempakwaja melepaskan semua atribut kerajaannya, anak itu dengan gemetar mengulurkan tangan. Ia menuntun Sempakwaja ke sebuah ruang rahasia di balik lemari. Di sana, di bawah tumpukan kain usang, tergeletak sebuah kotak kayu kecil.

Sempakwaja membukanya. Di dalamnya, ada sebuah catatan rahasia yang ditulis dengan tergesa-gesa. Tulisan itu berbunyi:

"Aku dipanggil oleh pihak istana, namun tidak ada surat resmi dari kerajaan. Yang datang adalah prajurit wilayah Jagatpati. Perasaanku tidak enak, seolah ada hal buruk yang akan terjadi. Mereka memintaku membuat racun dari biji jarak, alasannya untuk berburu. Tetapi, aku tahu itu adalah kebohongan. Bukankah berburu dengan racun yang dapat merusak daging buruan? Mereka berbohong. Aku takut, mereka akan membunuhku setelah ini. Aku minta maaf..."

...Petunjuk Kedua...

Mata Sempakwaja membulat. Jantungnya berdebar kencang. Firasatnya benar. Jagatpati memang dalang di balik semua ini. Tabib itu, meski ketakutan, ia tetap berusaha meninggalkan bukti. Ia rela menukar nyawanya dengan sebuah catatan singkat. Catatan ini bukan hanya secarik kertas, melainkan sebuah jejak yang membisikkan kebenaran, sebuah persembahan terakhir dari seorang tabib yang jujur.

Sempakwaja bertanya pada anak itu, “Apakah kau tahu hal lain?”

Anak itu tidak menjawab dengan kata-kata. Ia meraih secuil ranting, lalu menggoreskannya ke tanah. Tangannya yang gemetar membentuk sebuah gambar: sebuah gunung, lalu sebuah batu, dan akhirnya, sebuah garis panjang.

Sempakwaja menatap bingung. “Ini apa? Sebuah jalan?”

Anak itu mengangguk. Tangannya lalu menggenggam kuat catatan yang baru ditemukan, dan menatap Sempakwaja dengan sorot mata memohon. Anak itu lalu menunjuk dirinya, kemudian menunjuk ke arah catatan, dan mengisyaratkan bahwa dia tidak boleh pergi.

Sempakwaja mengerti. Ayah anak itu sudah menduga akhir hidupnya. Ia meminta anaknya untuk tetap tinggal di sana, menjaga bukti yang akan membantu membongkar kejahatan.

Sempakwaja segera beranjak, memeluk anak itu dan berjanji akan menjaganya. Ia tahu, dengan bukti ini, ia bisa melawan Jagatpati.

...Petunjuk Ketiga...

Sempakwaja berjalan menyusuri jalan rahasia yang digambarkan oleh anak tabib itu. Jalan setapak itu curam, berkelok, dan sangat sepi. Hanya suara desau angin yang menemaninya. Saat ia mendekati jurang yang dalam, ia melihat seorang anak lelaki sedang berdiri di tepi, membuang beberapa singkong bakar ke bawah. Anak itu tampak mencurigakan. Saat pandangannya bertemu dengan Sempakwaja, ia langsung membuang sisa singkong bakar ke dalam jurang, lalu berlari menangis.

Sempakwaja mengejarnya. Tidak butuh waktu lama untuk menangkapnya. Saat Sempakwaja berhasil menahan anak itu, ia langsung berlutut. "Ampun, Tuan! Saya janji tidak akan berkata apa-apa! Jangan bunuh hamba, nenek hamba sudah sakit, sendirian di rumah!" isaknya.

Sempakwaja menenangkannya. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Pangeran Galuh. Ia meyakinkan anak itu, “Aku datang bukan untuk menyakitimu. Kau bisa percaya padaku. Aku bersumpah akan melindungimu dan nenekmu.”

Mendengar janji itu, anak itu akhirnya berhenti menangis.

Ia menceritakan apa yang ia lihat. "Hamba melihat rombongan orang membuang orang-orang ke jurang, Tuan."

Anak itu tidak tahu siapa mereka, tetapi ia bisa memberikan ciri-ciri bahwa salah satu prajurit menggunakan ikat kain kuning.

Mata Sempakwaja menajam. "Prajurit Wilayah Paman Jagatpati," bisiknya. Ikat kain kuning adalah ciri khas prajurit Jagatpati.

"Jadi, Nak, berapa yang kau lihat? Apakah mereka masih hidup?" tanya Sempakwaja, berharap ada secercah harapan.

“Hamba takut untuk turun, Tuan. Hamba tidak tahu mereka hidup atau tidak,” jawab anak itu. “Jadi, sehari-hari hamba melemparkan singkong bakar, barangkali di dasar sana mereka masih hidup tapi kesulitan naik.”

Hati Sempakwaja teriris. Ia merasa kagum sekaligus sedih melihat kebaikan hati anak ini. Ia menatap anak itu dengan sorot mata lembut.

"Pulanglah, Nak. Jangan ikuti siapa pun jika ada yang datang ke rumahmu selain aku. Atau kau pindah untuk sementara ke desa di balik gunung itu," ucap Sempakwaja. Ia berjongkok, menyamakan tingginya dengan anak itu. "Katakan pada mereka bahwa Pangeran Sempakwaja yang menyuruhmu ke sana. Prajurit di sana akan membantumu mencarikan gubuk tempat tinggal."

...Petunjuk Terakhir...

Langkah Sempakwaja menuruni tebing terasa berat, seolah setiap pijakan membawa beban duka yang baru saja ia saksikan. Ia berjalan dengan hati-hati, memecah kesunyian yang mencekam. Matahari sudah mulai condong ke barat, melemparkan bayang-bayang panjang yang menari-nari di antara bebatuan dan pepohonan. Aroma tanah basah dan lumut yang menusuk hidung tiba-tiba tercampur dengan bau yang memuakkan, bau yang hanya bisa diartikan dengan satu kata: bangkai.

"Apakah aku terlambat?" gumam Sempakwaja. Sebuah ketakutan dingin menjalari punggungnya. Ia mempercepat langkah, bergegas mencari sumber bau itu.

Matanya menelusuri setiap jengkal jurang yang curam. Di hadapannya, tergeletak sosok tak bernyawa yang tersangkut di antara dahan dan bebatuan, tubuhnya sudah membengkak dan membusuk. Sempakwaja menunduk, matanya menatap nanar. Ia menemukan satu persatu mayat lainnya, total ada tiga jasad yang sudah tidak dapat dikenali, tergeletak di dasar jurang. Harapan yang sempat membara di dadanya kini meredup, digantikan oleh kepesimisan yang menggerogoti.

Namun, di tengah keputusasaan itu, ia melihat sesuatu yang ganjil. Di dekat bebatuan besar, beberapa singkong bakar yang ia lihat dilempar anak lelaki tadi pagi tampak tidak utuh, seolah telah dimakan. Jejak gigitan itu bukan jejak binatang. Ada setitik harapan yang kembali menyala, memberi semangat baru pada Pangeran Sempakwaja. Ia menyalakan obor dari ranting seadanya, lalu mengarahkan cahaya ke setiap sudut jurang.

Di balik sebuah ceruk gua kecil yang tertutup rimbunnya semak, Sempakwaja melihat pergerakan. Dengan hati-hati, ia mendekat. Matanya menangkap dua sosok manusia yang meringkuk di dalam kegelapan. Mereka kurus, tubuh mereka diselimuti kain lusuh. Salah satunya terbaring lemah dengan luka yang menganga di perutnya, sementara yang lain duduk di sisinya, matanya penuh ketakutan.

"Jangan bunuh kami! Kami tidak akan ikut campur. Kami hanya ingin hidup," rintih salah seorang dari mereka, suaranya parau dan bergetar.

Sempakwaja mengangkat tangannya, berusaha menenangkan. "Aku datang bukan untuk membunuh. Aku Pangeran Sempakwaja dari Kerajaan Galuh." Ia menunjukkan lambang kerajaan yang terukir di cincin jarinya. "Aku Putra Kedua Raja Wretikandayun."

Kedua orang itu saling berpandangan, mata mereka dipenuhi keraguan. Tetapi ketika mereka melihat ukiran di cincin itu, tubuh mereka lemas. Dengan sisa tenaga yang ada, mereka berusaha berlutut.

"Ampun, Pangeran! Ampun..."

Sempakwaja membantu mereka berdiri. "Tak perlu berlutut. Aku datang untuk mencari kebenaran, dan kalian adalah saksinya," ucapnya dengan nada yang meyakinkan.

Seorang tabib tua yang tampak kurus dan lemah itu memulai ceritanya. Dengan suara parau, ia menjelaskan bahwa dirinya sudah menduga akan dibunuh. "Hamba sudah membuat penawarnya terlebih dahulu," bisiknya. "Maka, ketika mereka meracuni hamba dengan racun yang hamba buat sendiri, hamba hanya pingsan, tak mati."

Di sampingnya, pria pembunuh bayaran yang terluka parah di perutnya melanjutkan. "Tuan Jagatpati memerintahkan hamba untuk mengurus tabib dan para emban yang mengetahui siapa saja yang menuangkan racun itu. Tetapi setelah hamba melakukannya, para prajurit Tuan Jagatpati justru menusuk dan mendorong hamba ke dalam jurang. Mereka ingin menghilangkan semua jejak."

Air mata mengalir di pipi pria itu saat ia menceritakan kebenaran pahit itu. "Hamba tahu istri hamba juga pasti akan dibunuh. Istri hamba bahkan tidak tahu apa-apa,."

Keduanya adalah korban dari ambisi Jagatpati yang membabi buta. Ambisi yang tidak ingin putrinya, Kencana, tersaingi oleh siapa pun.

Rasa sesal dari keduanya yang mendalam dan keinginan untuk melindungi anak-anak mereka, membuat mereka dengan suka rela menjadi saksi.

Sempakwaja menatap mereka, matanya penuh tekad. "Aku bersumpah atas nama Kerajaan Galuh. Aku akan melindungimu dan keluargamu yang tersiksa. Katakanlah semua kebenaran."

Kini, Sempakwaja memiliki bukti yang kuat. Bukan hanya catatan dan petunjuk, tetapi juga saksi hidup. Dengan ini, kejahatan Jagatpati tidak akan bisa lagi disembunyikan. Namun, sebuah pertanyaan muncul di benaknya, "Bagaimana cara mengungkapkannya?" Sempakwaja bergumam, "Aku harus segera kembali, Kakang Suraghana pasti tahu cara terbaik untuk mengungkapnya."

Sempakwaja menatap mereka dengan penuh keyakinan. "Aku akan membantu kalian ke desa di wilayahku. Di sana, para prajuritku akan menjaga keselamatan kalian dan menjemput anak-anak kalian. Tinggalah di sana hingga luka kalian sembuh. Jika saatnya tiba, akan kuutus abdiku untuk menjemput dan membawa kalian bersaksi."

"Baik, Pangeran. Terima kasih atas kehidupan kedua yang Pangeran berikan. Semoga Dewata mengayomi Kerajaan Galuh," jawab tabib itu dengan penuh rasa syukur.

...Siasat...

Pangeran Sempakwaja berdiri di hadapan ayahanda, Raja Wretikandayun, dan kakak sulungnya, Pangeran Suraghana. Di atas meja terhampar bukti-bukti kejahatan Jagatpati. Sebuah catatan usang, laporan tentang dua saksi yang selamat, dan bukti lain yang Sempakwaja temukan. Udara di ruang kerja sang Raja terasa berat, dipenuhi ketegangan yang pekat.

"Anak-anakku," Raja Wretikandayun membuka suara, matanya memandang satu per satu wajah putranya dengan tatapan penuh duka. "Jika semua bukti ini terungkap, maka... aku harus menghukum Jagatpati, adik kandungku sendiri."

Pangeran Suraghana menghela napas panjang. "Ayahanda, kami tahu seberat apa menghukum keluarga sendiri. Tetapi... Ayahanda juga tahu bahwa kemungkinan calon-calon putri yang dikirim kemari dan hilang itu juga ulah Paman, bukan kecelakaan." Suaranya terdengar tegas, namun sarat dengan kesedihan. "Dia bukan lagi adik Ayahanda, tapi sudah menjadi pemberontak."

Raja Wretikandayun terdiam, wajahnya mengeras. "Kau benar, Nak. Aku kira dia sudah tidak berambisi akan tahta... ternyata, ambisinya kini ditumpukan ke putri tunggalnya, Kencana. Entah apa yang Pamanmu pikirkan... sampai-sampai... Puspa..." Pandangannya beralih pada putra ketiganya, Pangeran Wirabuana Jantaka, yang duduk membisu, menggenggam erat permata zamrudnya.

Sempakwaja mendekat, menepuk bahu Wira dengan lembut. "Wira... sebentar lagi nama Puspa akan harum lagi."

Wira mendongak, matanya yang basah menatap sang ayahanda. "Ayahanda," panggilnya lirih. "Hamba mohon ampun. Setelah semua ini berakhir, izinkan hamba mengobati luka hamba dan keluar dari kerajaan."

Ibunda Ratu, yang sedari tadi terdiam, memegangi dadanya. "Tapi, Nak..."

"Ibu, menjaga satu nyawa saja hamba gagal. Hamba tidak layak," jawab Wira, suaranya bergetar. “Biarkan sesuai adat, Kakang Suraghana lebih berhak. Hamba yakin, sekarang ilmu kanuragan dan pemerintahannya sudah jauh di atasku setelah belajar lama di Kadewaguruan."

Pangeran Suraghana terkejut mendengar ucapan adiknya. "Tapi aku..."

"Kakang Suraghana bisa tenang menyusun siasat kali ini, Kakang Sempakwaja berhasil melacak jejak yang hilang. Bukankah kalian berdua akan menjadi pilar Galuh yang kuat?" Wira menambahkan, mencoba menutupi kepedihannya dengan kata-kata yang menenangkan.

Ayahanda menunduk, matanya berkaca-kaca. "Kau juga pilar Galuh, Nak."

"Jalanku akan berbeda, Ayahanda. Pilar ini sudah pincang..." Wira menyentuh hatinya.

Seketika, Raja Wretikandayun berdiri, wajahnya menunjukkan tekad yang bulat. Ia memanggil para pengawal. "Beritakan kepada seluruh bangsawan dan kerajaan tetangga. Setengah purnama dari sekarang, akan ada Pasewakan Agung di Istana. Kita akan mengumumkan pertunangan dan pengangkatan calon raja." Raja melirik kearah putra-putranya dan tersenyum tipis. "Sambil menjebak Jagatpati."

1
SENJA🍒⃞⃟🦅
keris kak? bukan kujang?
Naniksay Nay: betul sekali kak... sbnrnya naskah awal saya kujang... krn literasi Galuh dan Padjajaran, ada Guru Teupa yang membuat Kujang tapi trs ada tmn yg baca, dng beberapa pertimbangan...ya trs begitu...nanti kak selesai bab 30 sy masukin beberapa plot, skalian balikin ke teks awal
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm ini adegan yang lalu kan? ini dari sudut wisnu yang jadi wira 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
laaah kesurupan dia eh mimpi juga dia 🤣
SENJA🍒⃞⃟🦅
kok bisa main pergi gitu aja , kasian kan rendi 😤
SENJA🍒⃞⃟🦅
waddduh ...apa dia turunan jagatpati? weeeh 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
jadi ketagihan mimpi🤭
Irmha febyollah
lanjut kk
SENJA🍒⃞⃟🦅
ya balon gas yang tetiba gas nya dibuang yah .... pupus harapmu
SENJA🍒⃞⃟🦅
wah yah bagus itu jalurnya nay ikutin rendi aja kamu kan tinggal molor doang 🤭
SENJA🍒⃞⃟🦅
berdebar karena rendi atau wira? 😂😂😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
modusmu diskusi padahal kencan 😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
ihhh jagatpati, itu isterimu lhooo astaga jahatnya. kamu kencana durhaka banget ke ibu sendiri😤
SENJA🍒⃞⃟🦅
waaah penghinaan ini ngatain rajanya bodoh! wah hukum mati aja udah 😂
SENJA🍒⃞⃟🦅
hilih belangmu terlihat 😂 lagian wira ga mau sama anakmu lho 🤭
SENJA🍒⃞⃟🦅
bukannya dewi parwati dari kalingga yak? nanti mandiminyak sama parwati jadi penguasa kalingga utara atau bumi Mataram 🤭
Naniksay Nay: thx kak...

betul kak...
Pangeran Mandiminyak atau Prabu Suraghana atau Suradharmaputra emang berkuasa didua negara, yaitu Kerajaan Kalingga (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan Kerajaan Galuh (di Tatar Sunda).

hanya saja disini biar bisa menggambarkan aja bahwa Sempakwaja dan Mandiminyak itu saling terkait...

sama kaya Pangeran Jantaka, saya tambahkan nama Wirabuana krn dibuat cinta2an biar ga diprotes ahli sejarah, masa resi love2an ....
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
udah banyak buktinya itu jagatpati, serang aja daerahnya kan sempakwaja penguasa Galunggung , ehh belom kejadian yah 😂
Naniksay Nay: 😭nggak bs kak.... bs2 dia di killkill jg sm pamannya
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
naaah ini jejak yang di hilangkan 😳
SENJA🍒⃞⃟🦅
hilih jahatnya kamu 😤 wira mana mau sama kau
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm bener kan jahat dia ini si kencana 😳
Naniksay Nay: jangan ditemenin dia kak... bapaknya jahat🤭
total 1 replies
SENJA🍒⃞⃟🦅
hmmm kencana ini nampaknya jahat ini 🥺😳
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!