Hanabi di bunuh oleh wakil ketua geng mafia miliknya karena ingin merebut posisi Hanabi sebagai ketua mafia dia sudah bosan dengan Hanabi yang selalu memerintah dirinya. Lalu tanpa Hanabi sadari dia justru masuk kedalam tubuh calon tunangan seorang pria antagonis yang sudah di jodohkan sejak kecil. Gadis cupu dengan kacamata bulat dan pakaian ala tahun 60’an.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Moira sedang naik taksi ketika tiba-tiba mobil itu berhenti mendadak.
Ckiit!
“Ada apa, Pak?” tanya Moira pada sopir.
“Di depan ada tawuran, Nona. Bahaya kalau kita terus.”
Moira menyipitkan mata, mencoba melihat ke arah depan. Saat sosok yang sangat dikenalnya tertangkap pandangan, dia langsung membuka pintu taksi.
“Gentha…? Dan itu anak buahnya Jackson?” gumamnya.
Sopir taksi buru-buru menahan.
“Nona, jangan! Itu berbahaya. Lebih baik kita putar balik saja.”
Moira menggeleng cepat. “Tidak, Pak. Itu teman saya. Ini uangnya, terima kasih. Bapak putar balik saja. Saya harus menyelamatkan dia.”
Sopir menatap khawatir, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau begitu hati-hati, Nona. Semoga selamat.”
⸻
Tap.
Tap.
Tap.
Langkah Moira terdengar jelas saat ia berjalan ke arah keributan itu.
“Ada apa dengan Gentha? Kenapa dia dikeroyok begitu? Bangsat lo, Jackson!” Gumam Moira.
“WOOI!! Babi ngepet!! Kalo mau ngepet jangan di jalan umum! Bikin susah taksi gue lewat, tau nggak?!”
Sontak semua orang menghentikan aksinya. Puluhan pasang mata, termasuk Gentha dan anak buah Jackson, menoleh ke arahnya.
Beberapa anak buah Jackson melotot. Salah satunya maju selangkah. “Anjing, berani banget lo ngatain kita babi ngepet! Lo punya nyawa berapa, hah?! Senggol dikit nangis, lapor damkar!”
Moira melipat tangan di dada, wajahnya sinis.
“Dih, muka lo pada aja udah mirip babi ngepet. Udah jelek hidup lagi nyusahin negara lagi. Gue nangis? Hahaha… dalam mimpi lo! Sorry ya, gue punya banyak stok nyawa. Bahkan gue baru aja bangkit dari kubur.”
Anak buah Jackson saling pandang, beberapa berbisik.
“Bos, perlu dikasih pelajaran, nih?”
“Emangnya dia Suzanna, bos? Beranak dalam kubur eh salah bangkit dalam kubur.”
Ketua anak buahnya Jackson. “Bacot! Hajar aja!”
Moira melangkah cepat, menendang salah satu anak buah Jackson.
Bugh!
Bugh!
Bugh!
“Bedebah!! Serang!!” teriak ketua anak buahnya Jackson.
Keributan pun pecah lagi. Moira dengan cekatan melawan beberapa orang sekaligus, tubuhnya bergerak gesit, penuh pengalaman bertarung.
Namun di sisi lain, Gentha hanya bisa melongo seolah terbawa dalam dejavu.Gerakan Moira, cara bicaranya, bahkan keberaniannya… semua terasa familiar.
Gak mungkin… Hanabi sudah meninggal. Tapi kenapa dia begitu mirip…?
“WOI GENTHA!! Bengong aja lo! Lagi mikirin pinjol, hah?! Bantuin gue, EGE!! Panjul lo ah!!” teriak Moira sambil menangkis serangan.
Gentha tersentak. Matanya membelalak.
“H-Hanabi…?!?”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Beberapa anak buah Jackson tumbang, tergeletak di aspal setelah dihajar oleh Moira dan Gentha.
Moira menatap salah satu yang masih meringis kesakitan. “Bilang ke bos lo yang otaknya sengklek itu… tungguin aja. Akan ada yang datang buat balas dendam.”
Dia menendang kecil kerikil ke arah mereka lalu menambahkan, “Sana, pulang! Atau mau lo diangkut Satpol PP, hah?”
Spontan anak buah Jackson langsung kocar-kacir kabur.
Moira menepuk-nepuk tangannya, seolah membersihkan debu. “Huft! Akhirnya selesai juga. Tapi serius deh, lo ngapain tawuran di jalanan umum, Tha? Taxi gue jadi kabur kan…” gerutunya sambil melirik Gentha.
Namun bukannya menjawab, Gentha menatapnya lekat-lekat. Suaranya bergetar. “Hanabi? Lo Hanabi, kan?”
Moira menoleh pelan, wajahnya tetap tenang. Lalu tawa sumbang keluar dari bibirnya. “Hahaha… tadi lo bilang apa?”
“Lo Hanabi, kan? Bilang aja kalo lo itu Hanabi. Gue bakal percaya.”
Moira mendecak sambil menyentil dahi Gentha. “Bego! Gampang banget lo dibohongin orang kalau gitu.”
Tapi Gentha tiba-tiba menangkap tangan Moira erat-erat. Matanya tajam, penuh emosi.
“Lo hidup lagi, Hanabi? Ayo bilang… lo Hanabi, kan?”
Moira menarik napas panjang. Sial… udah kebablasan. Gentha terlalu peka. Emang cowok satu ini kenapa selalu bisa ngerasain gue?
“Jawab, Bi!!! Lo Hanabi, kan?!” Gentha sampai mengguncang tubuhnya.
“Wooii!” Moira mengeluh sambil memukul pelan bahunya. “Vertigo gue kumat kalau lo goyang-goyangin badan gue gini! Lepasin dulu, Tha!”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Moira menghentikan taksi di pinggir jalan, lalu tanpa basa-basi menarik lengan Gentha masuk bersamanya.
“Eh,… kita mau kemana?” tanya Gentha bingung begitu pintu ditutup.
Moira nyengir santai. “Mau pulang ke akhirat kita.”
BRAAK!
Sopir taksi refleks menginjak rem mendadak. Kepala Moira dan Gentha terlempar ke belakang jok.
Dugh!
Moira mengelus kepalanya. “Pak, kenapa lagi sih? Demen banget ngerem mendadak. Ada tawuran lagi di depan, ya?”
“Bukan, Neng…” sopir menoleh panik. “Tapi tadi Neng bilang mau ke akhirat. Itu beneran? Kalau beneran jangan ajak saya, Neng. Saya baru kerja jadi sopir taksi, baru nikah kemarin sama Surti. Kasihan Neng, nanti dia jadi janda mendadak, terus kawin lagi sama Tukimin tetangga lima langkah dari rumah saya.”
Moira melongo. “Lah, kok jadi adu nasib gini, sih… Tadi saya cuma berjanda, Pak eh Bercanda. Saya lagi bercanda sama temen saya yang otaknya ketinggalan di Bantar Gebang ini.” Ia menepuk bahu Gentha dengan tawa garing. “Hehe…”
Gentha menambahkan dengan wajah serius, “Iya, Pak. Maklum, temen saya ini baru bangkit dari kubur.”
Moira langsung melotot ke arah Gentha. “Tha!!!”
Sopir taksi sontak melirik lewat spion, wajahnya pucat pasi. “K-kalian… setan…?”
Moira menepuk dahinya sendiri, lalu menjawab cepat, “Setan apaan, Pak? Mana ada setan cantik gini. Ngadi-ngadi aja.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sesampainya di apartemen milik Hanabi, Gentha mendadak bengong. Matanya menyapu setiap sudut ruangan yang begitu familiar. Ini kan apartemennya Hanabi… kenapa dia bisa bawa gue ke sini? Perasaan di hatinya makin kuat—gadis itu pasti Hanabi.
“Lo bengong lagi, Tha? Demen banget bengong, ya. Udah kayak patung Pancoran. Lagi mikirin cicilan pinjol apa? Nih, minum.” Moira nyodorin segelas air. “Sorry, adanya air galon yang udah lima bulan nggak diganti. Kalau keracunan ya udah, anggap aja ada topping lumut.”
“Ck…” Gentha menatap tajam. “Lo beneran Hanabi?”
Moira menaikkan sebelah alisnya. “Kalau iya kenapa? Lo mau umumkan di masjid biar orang-orang percaya Hanabi bangkit dari kubur? Nggak bakal ada yang percaya, Tha.”
“Ja… jadiii beneran lo Hanabi, Bi?” Gentha melotot, nadanya gemetar.
Moira mendengus. “Gue timpuk nih pake gentong, ya. Tanya lagi, gue lempar lo ke Pulau Ular!”
Tapi Gentha malah tertawa kecil, matanya basah. “Ya Allah… akhirnya gue ketemu sama lo. Kirain lo udah jadi kuntilanak, Bi…”
Pluk!
Bantal melayang tepat kena muka Gentha. Moira mendengus. “Sembarangan lo! Mana ada kuntilanak secantik gue, hah? Denger ya, Tha… lo jangan bilang siapa-siapa dulu kalau gue masih hidup. Gue punya rencana. Paham?”
Gentha terdiam. Senyumnya samar, tapi matanya penuh kelegaan. “Paham, Bi… asal lo balik, gue ikut lo.”
“Oke kita ke kuburan.. katanya lo mau ikut gue.”canda Moira.
ini lagi si Stella, harusnya dia buktikan dong, bahwa dia bisa, bukannya malah jadi iri/Sweat/