(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nona bukan pembawa sial
Baby girl atau Serena, terus menangis tersedu di kamar barunya, ruangan kecil yang didedikasikan khusus untuknya. Melly, wanita sabar yang kini bertugas merawat bayi mungil itu, sudah mencoba segala cara. Susu formula hangat sudah ia siapkan dan berikan, tapi Serena menolaknya dengan tangisan yang semakin merobek hati.
Sejak kepergian kedua orangtuanya, bayi itu tak kunjung menemukan kedamaian. Deru tangisnya seolah mengisi ruang kosong itu. Banyak pengasuh sebelumnya yang menyerah dan pergi, namun Melly tetap bertahan meski rasa lelah terus menggerogotinya.
“Tenanglah, sayang. Aku tahu kau merindukan mereka... kedua orangtuamu,” bisik Melly lirih, suaranya pecah oleh perih yang ia tahan. “Kasihan sekali kau, masih kecil, tapi sudah ditinggalkan. Untunglah mereka meninggalkan sahabat-sahabat yang peduli padamu...”
Tiba-tiba, pintu terbuka perlahan. Roslina masuk dengan langkah lembut, meraih Serena dan membawanya ke pelukan. “Apakah dia sering seperti ini, Melly?” tanyanya penuh kekhawatiran.
Melly mengangguk dengan wajah penuh kelelahan, “Iya, Bu... dia sering menangis tanpa henti dan menolak minum susu. Kadang aku merasa, bukan hanya rasa lapar yang dia tolak, tapi juga dunia yang terasa hampa untuknya.”
Pintu kamar kembali terbuka perlahan. Michelle melangkah masuk dengan senyum hangat yang biasanya menenangkan, tapi matanya segera membelalak panik melihat Serena terus menangis dalam gendongan Roslina.
“Bu, kenapa bayi ini menangis terus?” Michelle bertanya dengan suara penuh kekhawatiran.
Serena, masih menangis kencang, tak mau berhenti. “Dia susah sekali minum,” jawab Roslina.
Michelle segera mengulurkan tangannya. “Serahkan padaku, Bu.”
Roslina menyerahkan bayi itu dengan hati-hati. “Hati-hati ya, Non...”
Michelle menimang Serena lembut, seolah mengisyaratkan bahwa dunia ini tak akan pernah meninggalkan sang bayi sendirian. “Serena sayang, kenapa kamu menangis? Tenang, Tante di sini. Kau tak akan sendiri di dunia kejam ini.”
Tangis bayi itu perlahan mereda. Mata bulat yang berair itu menatapnya, dan tanpa sadar, Michelle tersenyum kecil penuh kasih sayang. “Akhirnya diam juga, ya?” bisik Michelle penuh kelegaan. “Kamu jauh lebih cantik tanpa air mata, sayang. Tapi kenapa kamu jadi kurus begini...”
Michelle melangkah, membawa bayi itu dan duduk di sofa, sambil menatap Roslina dengan mata yang tak bisa menyembunyikan kesenangannya. “Lihatlah, Bu. Serena sudah berhenti menangis.”
"Berarti Serena menyukai Anda, nona," ujar Roslina dengan senyum mengembang.
Michelle mengangguk pelan, matanya berbinar bahagia. "Senang sekali mendengarnya."
Tiba-tiba Melly mengulurkan botol susu yang sudah dipegangnya sejak tadi. "Nona, coba berikan susu ini. Pasti dia haus."
Michelle menerima botol itu dan langsung mencoba memasukkan ke mulut Serena. Tapi, tiba-tiba bayi itu menolak, membelalakkan mata dan memalingkan kepalanya seolah menolak dengan keras.
"Dia tidak suka susu formula," kata Michelle lirih.
Mendengar itu, Roslina perlahan melangkah mendekat, menatap Michelle dengan sorot mata penuh harap. "Nona, coba berikan ASI-mu. Mungkin itu yang dia butuhkan."
Michelle tersentak, wajahnya membeku sekejap. Jantungnya berdetak tak karuan saat kepala pelayan itu menyebut hal itu di depan Melly. Ia takut rahasianya terkuak, takut semua akan berubah mengejeknya jika Melly tahu.
Roslina sadar dan beralih menatap Melly, suaranya turun pelan namun tegas, "Melly, nona Michelle bisa mengeluarkan ASI di usia remaja. Jadi, jaga rahasia ini dengan baik, jangan sampai tersebar."
Melly menatap dengan mata penuh pengertian. "Bu, tenang saja. Aku akan menyimpannya rapat. Aku pernah bertemu gadis seperti itu dulu, saat aku masih sekolah."
“Nona, tenang saja. Rahasia nona akan aman tersimpan di sini. Aku paham betul betapa memalukannya jika orang tahu—apalagi jika yang tahu itu adalah mereka yang membenci kita.” Melly berusaha menenangkan kegelisahan nona barunya.
Senyum lega mengembang di bibir Michelle, penuh rasa lega. Ternyata, bertambah satu orang lagi yang mengerti dirinya. “Ayo, nona. Coba sekarang!” desak Roslina dengan nada lembut.
Michelle menggigit bibir, dadanya berdebar tak menentu. “Bu... aku takut, aku tak berani memberikannya. Bagaimana kalau aku ternyata membawa penyakit yang bisa menyerang Serena? Padahal, aku sangat ingin asiku itu bermanfaat untuk anak-anak lain yang membutuhkannya, daripada terbuang sia-sia. Tapi... aku benar-benar takut.”
Roslina menatapnya lembut, meyakinkan. “Oke, nona. Berikan saja. Besok kita akan pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan. Asalkan nona yakin selama ini tubuhmu tak menunjukkan tanda aneh.”
Michelle menelan ludah, berjuang menaklukkan rasa takutnya. “Baiklah... aku akan mencobanya.”
Perlahan, dengan wajah merona dan tangan gemetar, dia menyerahkan Serena kepada Melly. Melly menghela napas dalam, menatap Michelle dengan penuh pengertian.
“Berikan padaku.” Minta Michelle setelah membuka bajunya.
Dengan napas tersengal dan dada berdegup tak menentu, Michelle mengarahkan p*yud*ra nya ke mulut Serena. Keajaiban pun terjadi—bayi kecil itu meneguk ASI dengan lahap, suara hisapan yang lembut membuat hawa hangat merambat ke seluruh tubuh Michelle serta ada kesan geli. Ini pertama kalinya, sentuhan manusia yang menghisap pemberian hidup darinya.
Senyum bahagia mekar di wajah Michelle, air mata mengalir perlahan, membasahi pipinya karena haru yang tak terhingga. “Aku senang sekali... asiku akhirnya berguna,” bisik Michelle penuh syukur, suaranya nyaris pecah.
Melly dan Roslina pun ikut terhanyut dalam keharuan yang sama, mata mereka berkaca-kaca menyaksikan momen penuh makna itu. “Mulai sekarang, jangan pernah anggap dirimu pembawa sial. Nona bukan pembawa sial. Kau diciptakan bukan untuk menjadi beban, tapi untuk memberi manfaat bagi orang lain.”
“Aku tidak akan berpikir seperti itu lagi.”