Namanya Freyanashifa Arunika, gadis SMA yang cerdas namun rapuh secara emosional. Ia sering duduk di dekat jendela kafe tua, mendengarkan seorang pianis jalanan bermain sambil hujan turun. Di setiap senja yang basah, Freya akan duduk sendirian di pojok kafe, menatap ke luar jendela. Di seberang jalan, seorang pianis tua bermain di bawah payung. Jemari hujan menari di kaca, menekan window seolah ikut bermain dalam melodi.
Freya jatuh cinta pada seorang pemuda bernama Shani-seseorang yang tampak dewasa, tenang, dan selalu penuh pengertian. Namun, perasaan itu tak berjalan mulus. Shani tiba-tiba ingin mengakhiri hubungan mereka.
Freya mengalami momen emosional saat kembali ke kafe itu. Hujan kembali turun, dan pianis tua memainkan lagu yang pelan, seperti Chopin-sebuah lagu perpisahan yang seolah menelanjangi luka hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15 : Dimeja Yang Sama Dengan Rahasia Yang Berbeda
Di dalam mobil Shani, dalam perjalanan pulang. Freya bersandar di kursi penumpang sambil menatap keluar jendela. Lampu-lampu kota mulai menyala, menciptakan garis-garis cahaya yang terpantul di kaca jendela. Tapi pikirannya terlalu sibuk untuk menikmati pemandangan.
"Dia teman masa kecilmu?" tanya Shani sambil tetap fokus menyetir.
Freya mengangguk pelan. "Iya, dia Zheng Danni. Aku hampir nggak mengenalinya. Dia berubah total."
Shani melirik sekilas. "Dan dia langsung ngajak kamu makan malam, tanpa basa-basi."
"Aku nggak nyangka juga. Tapi dia bukan orang asing. Aku dan Azizi dulu sering bermain bersamanya. Kami sudah seperti keluarga."
Shani tidak menjawab. Ia hanya mengetukkan jarinya ke setir pelan, seperti sedang menimbang sesuatu. Lalu, dengan suara datar, ia berkata, "Aku tidak terlalu menyukainya."
Freya menoleh, menatap Shani. "Kau cemburu?"
"Bukan soal itu," jawab Shani cepat. "Tapi aku tahu tipe orang seperti dia. Terlalu cepat akrab, terlalu banyak tahu, terlalu halus buat nggak punya niat tersembunyi."
Freya menarik napas. "Shan, dia bukan musuhmu."
Shani tetap diam, tapi tangan di setirnya mengencang. Freya tahu betul bahwa diam Shani bukan tanda menyerah, tapi tanda waspada.
Sementara itu, di rumah Azizi...
Suasana ruang tamu rumah Azizi tenang, hanya ditemani suara AC dan lampu gantung yang menggoyang pelan. Azizi duduk bersandar di sofa, sedangkan Danni berdiri sambil membuka kancing rompinya satu per satu, seolah bersiap menceritakan sesuatu yang berat. "Aku akan cerita, tapi tolong jangan potong dulu," ujar Danni. Azizi mengangguk.
Pertama-tama Danni menunjukan Foto seorang gadis dari handphone-nya pada Azizi. "Kamu harusnya mengenali gadis ini. Dia bersekolah di tempat yang sama dengan kamu dan Freya, kan?" Ucap Danni.
"Ya," jawab Azizi mantap. "Namanya Gracia. Dia satu kelas denganku dan Freya. Tapi ada kabar yang bilang kalau dia sedang hamil. Dia juga tidak pernah datang lagi ke sekolah." Lanjutnya.
"Kamu tau siapa yang menghamili dia?" Tanya Danni. Ia duduk di samping kekasihnya.
Azizi menggeleng, "Aku nggak tau. Trus apa hubungannya dengan dia?" Tanya Azizi.
"Orang tuanya adalah rekan bisnis orang tuaku. Aku pernah sekali bertemu dengan dia 2 Minggu lalu, sebelum aku berangkat ke Indonesia. Dia sekarang berada di Jerman." Ucap Danni.
Azizi mulai penasaran, "Jerman? Sejauh itu?"
"Iya. Saat itu orang tuaku mengajakku untuk menghadiri sebuah acara kecil. Disana ada beberapa pebisnis juga, termasuk orang tua kamu. Kamu pasti sudah tau soal itu?" Ucap Danni. Azizi mengangguk.
"Di dalam acara itu, dalam satu kesempatan, orang tuaku dan orang tuamu berbincang dengan beberapa pebisnis termasuk orang tua Gracia. Saat itu, orang tua Gracia dengan bangga berkata kalau putrinya sedang hamil. Gracia juga mengaku kalau dia sudah menikah dengan seseorang bernama Shani." Ujar Danni.
"Sayang, tapi nama Shani itu bukan cuma satu." Balas Azizi.
"Aku tau. Tapi saat itu Gracia juga menunjukan Fotonya. Orang tua Shani juga berada di sana. Dan mereka juga mengaku kalau Shani sudah menikah dengan Gracia." Ujar Danni.
"Jadi maksud kamu, Shani yang menghamili Gracia?" Terka Zee. Danni mengangguk.
"Kenapa bisa? Semua orang di sekolah tau Shani orang yang seperti apa. Dia pintar dan tidak pernah sekalipun dia bermain wanita." Ucap Azizi.
"Tidak semua yang terlihat itu adalah kenyataan, Sayang. Penampilan bisa menipu." Balas Danni.
"Tapi aku yakin Shani sama sekali belum menikah, apalagi dengan Gracia yang sering dia tolak. Jika benar Shani yang menghamili Gracia, itu berarti dia hamil di luar nikah. Mungkin itu alasannya kenapa Gracia tidak pernah masuk sekolah. Atau mungkin dia sudah keluar. Mengingat keluarganya kaya raya, orang tua Gracia pasti bisa dengan mudah menutupi kasus ini."
"Sekarang masalahnya, bagaimana kita meyakinkan Freya? Baik kamu ataupun aku, sama-sama tidak ingin menyakitinya." Ucap Danni.
"Kita lihat dulu situasinya, baru kita buat rencana untuk memberitahu Freya. Jika kita memberitahunya begitu saja, Freya tidak akan percaya pada kita." Usul Azizi. Danni mengangguk setuju.
...***...
Cahaya kota berkelap-kelip di kejauhan seperti lautan bintang terbalik. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma asin dari sungai yang mengalir di bawah jembatan kota. Restoran rooftop itu tampak elegan dengan meja-meja bundar berlampu lilin dan denting musik jazz instrumental yang mengalun pelan.
Freya duduk berdampingan dengan Shani, sementara Azizi duduk berseberangan, bersisian dengan Danni. Empat gelas wine non-alkohol terisi rapi di atas meja, dan menu makan malam telah dipesan sebelumnya. Tapi bukan makanan yang jadi fokus malam itu.
"View-nya keren ya," ujar Azizi mencoba mencairkan suasana.
"Ini tempat favoritku waktu masih kecil," sahut Danni. "Dulu aku suka datang ke sini bareng ayah, walaupun dulu rooftop-nya belum sebagus sekarang."
Azizi tersenyum. "Waktu itu kamu masih belum ngerti cara duduk tegak di kursi makan."
"Dan kamu masih belum ngerti cara berhenti mukulin aku." Danni menoleh ke Azizi sambil tersenyum jahil. Mereka berdua tertawa kecil, meski suasana belum sepenuhnya cair.
Shani menyentuh tangan Freya di bawah meja, genggaman singkat, meyakinkan. Freya membalas dengan senyuman kecil.
"Aku senang kamu tetap memilih datang, Frey." ujar Danni tiba-tiba. "Kupikir kamu akan menolak."
Freya menatapnya. "Awalnya aku ragu. Tapi kupikir, mungkin ini momen yang tepat untuk kalian berdua saling mengenal."
Azizi ikut bicara, suaranya tenang tapi terukur. "Ya. Kita semua bisa saling mengenal lebih baik, tanpa prasangka."
Danni menoleh ke Shani. "Tentu. Prasangka sering menipu, bukan?"
Freya melirik Shani dengan khawatir, tapi Shani hanya tersenyum tipis. "Benar. Apalagi jika kita hanya tahu setengah cerita."
Pelayan datang membawakan hidangan pembuka-salad segar dengan saus citrus dan potongan alpukat. Mereka makan dalam diam sesaat. Azizi lalu angkat bicara. "Kalian berdua, sudah melakukan apa saja selama berpacaran?"
Freya mengunyah pelan sebelum menjawab. "Memang pacaran harus melakukan apa." Ucap Freya polos.
Danni hanya mengangguk, lalu menatap Freya. "Kalian berdua bahagia?"
Freya menatap Shani sejenak, lalu mengangguk. "Iya."
"Meski misalkan salah satu menyimpan banyak hal?"
Pertanyaan itu membuat Shani menegakkan tubuhnya. Napas Freya tertahan.
"Danni..." tegur Azizi pelan, tapi terlambat.
Shani menatap Danni. Pandangannya tidak mengancam, tapi jelas tidak senang. "Maksudmu?"
"Tidak ada. Tapi karena aku tahu sebagian cerita, aku bertanya," sahut Danni tenang. "Karena aku peduli. Pada mereka berdua." Ucapnya sambil menoleh pada Azizi kemudian pada Freya.
Freya menghela napas. "Kalian bisa berhenti saling menilai satu sama lain malam ini? Kita datang untuk makan, bukan berdebat."
Azizi ikut bicara. "Benar. Kalau ada sesuatu yang perlu dibahas, kita bisa bahas di lain waktu. Bukan di hadapan lilin dan salad."
Danni menyesap minumannya, lalu menatap Freya. "Maaf. Aku hanya ingin memastikan kamu tidak disakiti."
Shani menjawab tanpa menoleh. "Kalau ada yang menyakitinya, orang pertama yang akan kubenci adalah diriku sendiri." Pernyataan itu membuat Danni sedikit terdiam. Bahkan Azizi ikut tercenung. Kalimat Shani terlalu jujur, terlalu dalam untuk dianggap defensif.
Pelayan kembali datang, kali ini membawa hidangan utama-steak wagyu medium rare untuk Shani dan Danni, salmon panggang untuk Freya dan Azizi. Asap tipis masih mengepul dari daging dan ikan yang baru matang. Mereka mulai makan. Pembicaraan berubah menjadi topik netral. Kuliah, masa kecil, dan rencana masa depan. Danni menyebutkan rencananya untuk membuka cabang bisnis teknologi keluarganya di kota ini, dan Azizi menceritakan keinginannya untuk melanjutkan kuliah psikologi. Freya lebih banyak diam, sesekali mencuri pandang ke arah Shani, yang tampak tenang namun sesekali mencengkeram sendok terlalu kuat.
Setelah makanan utama selesai dan dessert disajikan-tiramisu lembut dan es krim matcha-suasana sedikit lebih rileks. Tawa kecil mulai terdengar. Bahkan Danni sempat bercanda soal gaya makan Azizi yang tetap barbar meskipun di rooftop mahal.
Namun sebelum mereka beranjak, Danni menatap Freya sekali lagi.
"Jika suatu hari kamu merasa tidak aman, kamu bisa datang pada kami berdua, kapanpun."
Freya tersenyum sopan. "Terima kasih, Danni. Tapi aku sudah cukup kuat untuk menjaga diriku sendiri."
Shani menoleh dan menatap Freya. Sekilas saja, tapi itu cukup. Tatapan itu mengandung rasa terima kasih dan rasa hormat, sekaligus mungkin Rasa bersalah.
Malam pun berakhir. Mereka berpisah di lobi restoran. Danni dan Azizi naik lift lebih dulu. Tinggal Freya dan Shani di belakang.
Freya menggenggam lengan Shani pelan. "Kau tahu, Danni mungkin terlalu khawatir. Tapi dia bukan orang jahat. Sejak dulu dia memang menjadi pelindung untuk aku dan Azizi."
"Aku tahu," ucap Shani pelan. "Tapi aku juga bukan."
Freya menatap Shani lekat-lekat. "Kita akan cari tahu kebenaran sama-sama. Tapi kamu harus jujur. Tanpa menyembunyikan apapun lagi."
Shani mengangguk. "Mulai malam ini, aku akan jadi buku terbuka."
Freya tersenyum. "Oke. Tapi jangan lupa, bukunya jangan halaman kosong, ya."
Shani tertawa kecil. "Kalau begitu, kamu harus jadi pembacanya yang sabar."
Mereka berdua turun tangga bersama. Di bawah, angin malam masih sejuk, dan langit kota masih terang oleh cahaya yang tak pernah tidur. Tapi bagi mereka berdua, malam ini bukan akhir dari cerita-melainkan awal dari kebenaran yang akan mulai terkuak.