Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.
Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.
Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.
Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.
Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?
Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.
Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudah Cut Tapi Ciuman Berlanjut
Langit siang berwarna cerah dengan awan tipis menggantung di atas gedung universitas megah itu. Aluna melangkah keluar dari gerbang utama, masih mengenakan kemeja putih dan jeans putih. Ransel kecil tersampir di bahu. Di sampingnya berjalan Kenzie, dengan setelan kasual semi-formal dan ransel laptop menggantung santai di satu bahu.
“Syuting episode selanjutnya katanya ambil lokasi di pabrik farmasi, ya?” tanya Kenzie sambil menyipitkan mata ke arah sinar matahari.
Aluna mengangguk, rambutnya berayun pelan tertiup angin. “Iya, katanya mau dibikin lebih real dan ada adegan riset laboratorium juga. Pake mikroskop segala.”
“Wah, pasti banyak yang nunggu. Di perusahaan gue sendiri, ada dua artis muda yang ngefans berat sama lo.” Kenzie terkekeh. “Tiap hari nanya, ‘Kak Aluna kayaknya tegas ya aslinya?’ Gue bilang, ‘lebih dari itu’.”
Aluna tertawa renyah. “Ya ampun, jangan bocorin aib, deh, Bang.”
Langkah mereka terhenti di pinggir jalan kampus, tempat sebuah mobil Van hitam mengkilap sudah menunggu. Di kursi depan duduk Surya, mengenakan kacamata hitam, memainkan smartphone.
Saat melihat Aluna dan Kenzie mendekat, Surya turun dan langsung tersenyum.
“Al! Udah selesai? Eh, Kenzie?” Surya mengangkat tangan untuk tos singkat.
Kenzie membalas tos itu dengan hangat. “Masih sama Al aja, ya, Sur. Gak berubah.”
“Lo pikir gue bakal ninggalin perempuan yang udah gue urus sejak remaja?” Surya menyenggol bahu Aluna.
Aluna hanya menggeleng sambil menyimpan senyum. Ia menatap dua pria itu yang bicara seperti teman lama yang pernah memperjuangkan satu hal yang sama, dirinya.
“Tanpa kalian, gue nggak bakal berdiri di titik ini,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
“Makanya tetap jaga nama baik,” sahut Surya, cepat, membuat Aluna mencibir kecil.
Mereka bertiga tertawa sejenak sebelum Aluna masuk ke dalam mobil, meninggalkan kampus dengan suasana hangat yang belum tentu bisa dibeli dengan popularitas.
...***...
Setibanya di lokasi syuting.
Di tangan kiri Aluna, setengah sandwich masih tergenggam, gigitan terakhir masih tersisa di ujung bibir. Ia mengunyah sambil berjalan santai melewati jalur sempit menuju lokasi syuting. Rambutnya dikucir rendah, kemeja longgar dan celana jeans putih melengkapi tampilannya yang santai tapi tetap menarik perhatian kru yang bersiap.
Surya menyadari. Matanya menyipit, menatap bagian bawah wajah Aluna. “Itu bibir lo…” gumam Surya sambil menunjuk pelan.
Aluna menoleh cepat, menelan sandwich buru-buru. “Apa?”
“Agak bengkak ya? Padahal syuting terakhir kissing sama Kael itu udah berapa hari lalu. Hmm, masa efeknya tahan lama begitu?”
Aluna mendecak. “Surya!” Ia memukul lengan Surya dengan kotak sandwich kosongnya, membuat manajernya itu tertawa geli.
“Gue cuma nanya, kok lo langsung defensif sih?” Surya mengangkat kedua tangan pura-pura tak bersalah.
Aluna mengerucutkan bibir, tapi buru-buru berhenti saat sadar itu justru menonjolkan bengkaknya. Ia memalingkan wajah, berjalan menuju ruang make up.
“Ini ulah Alaric,” gumamnya lirih sambil menarik napas panjang.
Surya membuntuti sambil menaikkan alis. “Ooh, bukan Kael ya? Jadi, yang terakhir itu bukan di set, tapi di ranjang?”
“Surya!” seru Aluna, menoleh tajam. “Gue godain dia duluan, oke? Gue yang mulai.”
“Oh, makin menarik.” Surya sudah tak bisa menyembunyikan cengiran puasnya.
Aluna membuka pintu ruang ganti dan berbalik sejenak. “Satu kata lagi, gue laporin ke istri lo kalau lo masih sering suka nyinyirin make up artis-artis lain.”
Surya terdiam sejenak, lalu melambai. “Oke, gue diam.”
Pintu ditutup. Tapi senyum geli Aluna tetap tersisa, bahkan ketika make up artist menyapanya dan memintanya duduk. Meski perannya kali ini sebagai gadis polos, nyatanya kehidupan pribadinya jauh dari kata tenang.
...***...
Suasana lab tampak steril dan dingin. Lampu neon di langit-langit menyinari meja-meja uji coba yang dipenuhi botol kecil, tabung reaksi, dan alat pengukur tekanan udara.
Aluna mengenakan jas lab putih kebesaran yang lengan dan bahunya tampak kebesaran untuk tubuh mungilnya. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya sedikit tegang.
Tangannya menggenggam dokumen uji sterilitas, tapi ekspresinya ragu. Ia melangkah perlahan di antara meja-meja lab, sesekali melirik alat uji seperti orang yang tidak benar-benar paham, namun tidak berani bertanya.
Dan drama dimulai.
Langkah sepatu Oxford terdengar mendekat. Pintu lab terbuka dengan suara ‘cklek’. Kael masuk, mengenakan jas abu muda dan dasi navy. Tatapannya tajam, langkahnya mantap. CEO muda dan dingin itu langsung menatap Aluna yang berdiri canggung di dekat meja uji.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” Suaranya berat dan penuh tekanan.
Aluna mengangkat bahu, menjawab dengan suara kecil. "Saya, mencoba memahami metode uji sterilitas dari batch terakhir, Pak.”
Kael mengerutkan kening dan berjalan mendekat. Dengan satu gerakan cepat, ia merebut dokumen dari tangan Aluna, membolak-baliknya sebentar, lalu meletakkannya dengan kasar di meja.
“Kamu bahkan tidak tahu ini adalah laporan simulasi dari bulan lalu. Batch terakhir belum diuji, dan kamu berdiri di situ seolah tahu segalanya.”
Aluna menunduk, mencoba bicara, “Saya kira, saya—”
“Kalau tidak tahu, tanya!” Kael membentak, nadanya tinggi dan tegas. “Jangan pura-pura paham dan malah merusak sistem kerja di sini!”
Tubuh Aluna tampak menegang. Napasnya tercekat. Kedua tangannya meremas bagian bawah jas lab. Matanya memerah. Sekejap kemudian, setetes air mata jatuh, disusul yang lain. Dia tidak berkata apa pun, hanya diam.
Kael menatapnya sejenak, lalu menghela napas. Tapi tak sempat melanjutkan...
“Cut!” seru sutradara, berdiri dari kursinya dengan wajah puas.
Para kru bertepuk tangan.
“Aluna, bagus banget tadi. Air matamu alami banget, nggak kelihatan akting. Kamu makin matang. Kael, ekspresimu dingin dan tajam pas banget sama karakter.”
Aluna mengangkat tangannya, menyeka air mata yang tersisa. Ia menoleh ke arah Kael dan tertawa kecil, meski wajahnya masih terlihat sedikit rapuh. “Aku kira lo beneran mau bentak gue barusan.”
Kael tersenyum tipis. “Tadi lo bener-bener kelihatan kayak anak magang bego sih.”
“Eh!” Aluna menampar pelan lengan Kael, tapi suasana kembali ringan.
Kamera, rolling, action!
Aluna duduk sendirian di meja kantin set perusahaan. Ia sedang makan sandwich yang sudah agak lemas karena udara. Tatapannya kosong ke arah nampan, memerankan karakter mahasiswi magang yang sedang jenuh.
Asisten sutradara memberi isyarat tangan. Seorang kru menghampiri Aluna, berperan sebagai staf kantin.
“Pak Kael manggil Mbak ke ruangannya,” ucap sang staf dengan nada datar.
Aluna yang memerankan tokoh mahasiswi magang tampak gugup. Ia menyeka mulut dengan tisu, berdiri cepat, sedikit tergesa tapi tetap menjaga sikap.
Kamera bergerak pelan mengikuti Aluna yang masuk ruangan. Kael duduk di balik meja besar, memerankan CEO muda dingin nan karismatik. Ia tampak sibuk membaca dokumen, tidak langsung menyapa.
“Duduk.”
Nada suara Kael tegas tapi datar, khas karakter bos yang menjaga jarak.
Aluna duduk perlahan. Tangannya mengusap jas lab yang tidak kusut tapi tetap ia rapikan, menunjukkan rasa canggung. Tatapannya gugup.
Kael menyelesaikan bacaannya, lalu menaruh berkas dan menatap Aluna.
“Aku mau bahas soal kejadian kita di motel waktu itu.”
Kamera menyorot wajah Aluna yang membelalak kecil, terkejut. Ia berusaha tenang tapi tatapannya mulai gelisah. Ada jeda dramatis.
“Aku, mabuk,” lanjut Kael pelan. “Itu bukan rencana. Aku minta maaf kalau kamu ngerasa dipaksa atau terganggu.”
Aluna memainkan jemarinya. “Nggak apa-apa, Pak. Saya nggak keberatan. Saya ngerti Bapak juga capek.”
Kael menyipitkan mata. “Kenapa kamu bisa nerima semua gitu aja?”
Aluna diam, lalu mendongak. “Karena saya juga nggak yakin itu semua salah. Lagian, saya nggak mungkin magang di tempat ini kalau nggak tahan tekanan.”
Kael menoleh sejenak ke arah jendela, lalu kembali menatap Aluna.
“Mulai sekarang, kalau aku kelewatan, kamu boleh ngomel.”
Aluna tersenyum kecil. “Baik, Pak.”
"Cut!"
Sutradara Anggara berdiri dari monitor. “Bagus! Natural banget ekspresinya. Chemistry-nya dapet. Adegan berikutnya!”
Kamera, rolling, action!
Kael berdiri dari kursinya setelah Aluna hendak pamit keluar ruangan. Suasana tegang menggantung. Ia menahan langkah Aluna dengan suara pelan namun tegas.
“Sebentar.”
Aluna menoleh, setengah bingung.
Kael berjalan pelan mengitari meja dan berdiri di hadapan Aluna. Jarak mereka sangat dekat. Kamera melakukan tracking shot perlahan dari samping.
“Aku mikir, mungkin kita harus ketemuan lagi. Bukan di kantor. Bukan buat kerja.”
Aluna mengernyit sedikit, ekspresi karakternya antara kaget dan penasaran.
“Maksud Bapak?” tanyanya, dengan suara pelan dan nafas sedikit terhenti.
Kael menatap dalam. Tatapannya penuh emosi yang terkunci rapat, kini mulai pecah.
“Sejak kejadian di motel, aku jadi mikir terus. Aku galak, karena itu satu-satunya cara ngelindungin diriku dari kamu. Tapi ternyata, nyakitin kamu juga nyakitin aku.”
Suasana hening. Kamera close-up ke wajah Aluna yang menunduk, tangan meremas sisi jas lab.
“Jadi, kita nge-date?” Aluna bertanya ragu, suaranya serak tapi tulus.
Kael tersenyum tipis, lalu menatap Aluna seakan waktu berhenti. “Kalau kamu mau.”
Aluna mengangguk pelan. Saat itulah Kael menyentuh dagunya dan mengangkat wajah gadis itu.
Ciuman dimulai perlahan, lalu mendalam. Kamera steady dengan pergerakan lambat ke arah kiri, menyorot siluet mereka dari jendela kaca.
Waktu berlalu.
"Cut!"
Namun mereka masih melanjutkan ciuman. Beberapa kru mulai menoleh.
Sutradara Anggara melangkah ke tengah set, memandangi mereka dan mengangkat tangan.
“Aluna! Kael!”
Baru setelah suara Anggara sedikit meninggi, Kael melepaskan ciumannya perlahan. Napas mereka memburu.
Aluna masih menunduk, pipinya memerah. Kael tersenyum kaku, melirik sutradara. “Sorry, kebawa….”
Sutradara menyipitkan mata tapi tertawa pelan. “Ya udah, break lima belas menit. Tapi next time, pas dibilang cut, ya cut! Ini bukan film dewasa beneran!”
Tawa kecil terdengar dari para kru.