Kodasih perempuan pribumi menjadi gundik Tuan Hendrik Van Der Vliet. Dia hidup bahagia karena dengan menjadi gundik status ekonomi dan sosialnya meningkat. Apalagi dia menjadi gundik kesayangan.
Akan tetapi keadaan berubah setelah Tuan Hendrik Van Der Vliet, ditangkap dan dihukum mati.. Jiwa Tuan Hendrik tidak bisa lepas dari Kodasih yang menjeratnya.
Kodasih ketakutan masih ditambah munculnya Nyonya Wilhelmina isteri sah Tuan Hendrik yang ingin menjual seluruh harta kekayaan Tuan Hendrik
Tak ingin lagi hidup sengsara Kodasih pergi ke dukun yang menawarkan cinta, kekayaan dan hidup abadi namun dengan syarat yang berat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14.
Akhirnya, Kodasih bicara. Suaranya datar, perlahan namun kuat.
“Aku akan pulang. Tapi belum untuk ritual malam ini.”
Arjo menatapnya, sedikit kecewa, tapi mengangguk pelan.
“Baik.”
“Aku ingin bicara dengan Tuan Menir... sekali lagi. Sendiri. Tanpa mantra. Tanpa syarat. Hanya... sebagai dua roh yang dulu pernah saling mencintai.” Ucap Kodasih masih dengan suara datar.
“Dan setelah itu?” ucap Arjo menatap dengan ekspresi wajah yang ingin tahu.
“Setelah itu... baru aku tahu, apakah aku siap memilih. Atau memang harus tetap tersesat.” Ucap lirih Kodasih lalu melangkah meninggalkan Arjo.
Kodasih terus melangkah menuju ke Loji Tuan Menir.
Sesampainya di loji megah itu, Pak Karto, Mbok Piyah, dan para pegawai terlihat lega. Mereka sejak tadi gelisah, hati was-was. Pak Karto bahkan sempat memarahi Pak Sastro karena meninggalkan Nyi Kodasih di rumah Mbah Jati.
“Alhamdulillah... Nyi sudah sampai,” ucap Tiyem dengan ekspresi syukur.
“Mbok, siapkan nasi gurih, ayam ingkung, anglo kemenyan, dan kembang setaman. Taruh di loteng,” titah Kodasih tanpa menoleh.
Mbok Piyah yang berdiri di teras, di samping Tiyem, menunduk. Wajahnya sedikit pucat.
“Loteng, Nyi...? Bukankah itu tempa..”
“Lakukan saja, Mbok,” potong Kodasih. Lembut, tapi tegas.
Tanpa kata, Mbok Piyah pun pergi ke dapur, menggandeng dua pembantu muda. Tak ada yang berani membantah sore itu.
Kodasih melangkah masuk ke dalam loji, menyusuri lorong demi lorong yang penuh kenangan. Tangannya menggenggam erat gulungan lontar berbalut kain hitam. Surat dari Mbah Jati untuk Mbah Ranti, sang dukun darah kematian. Agar Mbah Ranti membantu ritual Kodasih, permohonan agar Tuan Menir tak murka jika Kodasih mencintai lelaki lain.
Dia terus melangkah menuju ke kamarnya.
Saat membuka pintu, aroma cerutu tua menyambutnya. Aroma itu bercampur asap kemenyan. Hangat, menusuk, seperti kenangan yang menolak dilupakan.
Di altar kecil, di bawah foto Tuan Menir yang tergantung di dinding, asap kemenyan masih mengepul dari anglo kecil. Bara hampir padam. Bunga di atas nampan tampak mulai layu. Lampu minyak menyala lemah, seolah menunggu sesuatu yang belum usai.
Kodasih bersimpuh.
“Tuan...” bisiknya pelan.
“Aku bingung... apa yang harus aku lakukan...”
“Aku tak ingin hidup sengsara, kehilangan semua yang telah Tuan berikan... Tapi... apakah aku kuat hidup tanpa cinta?”
Air mata jatuh satu-satu, menetes ke ujung jarik yang ia kenakan. Namun tak ada suara dari balik dinding waktu. Hanya desis angin, mungkin rindu yang belum sempat pulang.
Tiba-tiba, api lampu minyak berkedip... lalu membesar.
Kodasih menegakkan tubuhnya. Matanya menatap lurus ke foto Tuan Menir.
Dadanya berdebar saat kedua mata dalam foto itu... berubah memerah.
Tetesan air mengalir dari sana, bukan darah, tapi bening...
Air itu jatuh, satu-satu, tepat ke nampan bunga bunga yang hampir layu.
Hening.
Lalu terdengar suara. Berat, serak, namun akrab. Tak jelas dari mana datangnya. Tapi cukup untuk membuat hati Kodasih mencelos.
“Maafkan aku, Kodasih...
Andai anak dari cinta kita tak digugurkan, mungkin ia bisa membantumu sekarang...
Tapi semua sudah terlambat. Aku dan anak kita... sudah berada di alam lain.
Maaf... dan semua kini terserah padamu.”
Kodasih menahan napas. Seluruh tubuhnya menggigil. Tak ada angin masuk, tapi hawa dingin merasuk hingga ke tulang.
“Tuan...” bisiknya, menatap foto yang kini kembali biasa. Tak ada lagi air, tak ada cahaya.
Kodasih menangis. Tubuhnya bergetar. Hatinya remuk oleh rasa sedih, bingung, juga sesal yang telah lama ia kubur.
Di bawahnya, bunga bunga di nampan tampak segar kembali. Seolah diberi minum oleh masa lalu yang belum rela pergi.
Kodasih menduduk, terkulai lemas di lantai ubin kelabu. Ia memegang kepalanya. Pusing. Berat. Dunia berputar.
“Diam. Menerima semua ini... aku pun tidak siap...” gumamnya.
Tok. Tok. Tok.
Suara pintu diketuk.
“Nyi... syarat yang diminta Nyi sudah siap...”
Suara parau Mbok Piyah terdengar dari balik pintu.
“Sudah kamu taruh di loteng?” tanya Kodasih, menghapus air mata.
“Belum, Nyi. Saya dan yang lain... tak berani. Di loteng... kadang terdengar suara tangis anak kecil...”
Pintu terbuka sedikit. Di tangan Mbok Piyah, nampan berisi nasi gurih bertabur kedelai hitam dan ayam ingkung. Di belakangnya, Tiyem dan Sanah membawa anglo dan cuwo (mangkok yang terbuat dari tanah liat) berisi kembang setaman.
Kodasih berdiri.
“Ayo. Sama aku.”
Mereka berjalan di lorong panjang menuju tangga loteng. Langkah langkah mereka pelan, seolah takut mengusik yang tak terlihat.
“Nyi... tapi... ada yang bilang... arwah bayi yang tak berdosa bisa jadi malaikat penolong orang tuanya...”
Suara lirih Tiyem terdengar, sangat hati hati.
“Aku memilih Tuan Menir yang menjagaku. Kata Mbah Jati... salah satu harus dilepas. Kalau tidak... aku yang tak kuat...”
Suara Kodasih datar. Hatinya sudah seperti tanah tua, retak dan tak bisa menyimpan air.
Mbok Piyah berbisik pelan di telinga Tiyem, "itu kalau tidak digugurkan Yem.."
"Tapi katanya yang berniat menggugurkan Tuan ..." bisik lirih Tiyem pula. Dia tidak berani melanjutkan kalimatnya karena angin tiba tiba berhembus.
Saat mereka tiba di kaki tangga menuju loteng, bau dupa dan kayu tua menyergap. Langit di luar mulai berwarna tembaga. Senja mengintip, menahan napas.
Tangga kayu itu berderit pelan saat diinjak. Kodasih naik lebih dulu, membawa nampan sesaji di tangannya sendiri. Mbok Piyah, Tiyem dan Sanah mengikuti di belakang, tubuh mereka gemetar.
Di puncak tangga, loteng itu gelap. Namun ada cahaya samar dari celah atap. Debu debu melayang seperti roh roh kecil yang belum sempat lahir.
Kodasih duduk bersila di tengah ruangan.
Ia menaruh nampan di depannya, menyalakan kembali anglo. Aroma kemenyan memenuhi udara.
Mulut Kodasih komat kamit berbicara tanpa suara dengan arwah anaknya yang belum sempat dilahirkan.
Saat ia mengucapkan kalimat terakhir, terdengar suara... tangisan anak kecil perempuan.
Pelan, jauh... tapi nyata.
Tiyem menjerit kecil. Sanah mundur satu langkah.
Kodasih tetap duduk tenang. Tangis anak kecil itu makin jelas, seolah berasal dari pojok ruangan. Sebuah bayangan kecil muncul samar, seperti kabut membentuk sosok mungil.
“Nak...” bisik Kodasih, tangan gemetar menjulur.
Bayangan itu tak mendekat. Tapi mata kecilnya menatap Kodasih seolah menunggu keputusan.
“Maafkan ibu... Aku memilih hidup, Nak. Maafkan...”
Bayangan itu tak bergerak. Tapi bunga bunga di nampan tiba tiba melayang pelan, menari-nari di udara. Lalu satu per satu jatuh... dan menghilang.
Tangisan anak kecil perlahan meredup. Berganti keheningan yang dalam.
Seketika... hawa hangat memenuhi ruangan. Tak lagi dingin. Tak lagi berat. Kodasih menunduk. Menangis..
Tangisan Kodasih berubah menjadi isak. Tubuhnya mulai berguncang, tapi ia tetap duduk bersila, memejamkan mata, mencoba meredam gejolak di dadanya.
Tapi sesuatu mulai terasa ganjil.
Denyut di pelipisnya menegang. Pandangannya mulai buram. Suara-suara dari dunia luar menghilang satu per satu, seperti daun-daun yang luruh tertiup angin.
“Nyi Kodasih?”
Suara Mbok Piyah terdengar jauh, seperti dari dasar sumur.
“Nyi... njenengan kenapa?”
....
...
Nyi Kodasih kenapa ya? 🤔
nahh dag dig duga lah kau tiyemm
ada apa ini yaaa
apa yg terjadi coba
jangan melihat ke cermin
krn yg ada nnti lihat yg bening2 segwr rekk