Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?
Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Resmi Menikah
Begitu Remy memerintahkan semua orang untuk keluar, bahkan Benny sama Big Jonny juga, aku pun tertinggal sendirian di ruang tamu bersama suami baruku.
Ya Tuhan, bukan begini maksud aku waktu bilang akan melakukan apa pun asal engkau bantu aku keluar dari jeratan Amilio.
Remy membuka tuksedonya, taruh di sandaran sofa, lalu bilang, “Duduk, Rainn.”
Aku jalan ke sisi lain meja kopi agar ada jarak di antara kita, terus duduk pelan di salah satu sofa hitam.
Cahaya dari cabang-cabang pohon di luar menciptakan bayangan aneh di langit-langit kaca, membuat bulu kudukku berdiri.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Bagaimana caranya aku mulai mencerna semua ini?
Pikiran aku keos, dadaku sesak, dan tiap detik yang berlalu cuma bikin kepanikanku makin parah.
Remy enggak langsung duduk. Dia malah jalan ke meja samping, ambil botol whisky, menuang cairan cokelat ke dua gelas, terus bawa satu buat aku.
“Minum. Habisin. Biar tenang.” Seakan dia peduli banget sama perasaan aku.
Aku teguk minumannya, panas banget, bikin tenggorokan terbakar sampai aku batuk dan mata berair.
Remy duduk di depanku, meja kopi jadi pembatas. Dia menyeruput whiskinya sebentar, lalu taruh gelas itu di pangkuannya. Tatapan tajamnya bikin dadaku deg-degan enggak karuan.
“Kita harus bicara beberapa hal,” katanya datar.
Dia lepas dasi kupu-kupu dari leher, lempar ke meja, terus bersandar santai di sofa, gaya paling rileks yang pernah aku lihat dari dia.
“Kamu bakal setia sama aku.”
Aku cuma bisa mengangguk.
Sudah jelas, kan?
“Dan aku juga bakal setia sama kamu.” Alisku langsung naik. Dia menyeringai, “Kamu kenapa?”
“Enggak.” Aku keluarkan napas panjang. “Aku cuma … merasa semua yang aku doakan enggak ada artinya. Selama ini, Aku enggak pernah punya pilihan.”
Yang bikin aku kaget, sudut bibirnya malah naik. Tersenyum nakal. “Kamu selalu punya pilihan, Rainn. Bahkan malam ini.”
Aku mendengus. “Iya. Pilihannya nikah sama kamu atau mati. Keren banget pilihannya.”
“Bukan itu yang aku maksud.” Dia condong ke depan, taruh gelasnya di meja, sikunya bertumpu di paha. “Kamu milih nikah sama aku atau membiarkan diri kamu diperawanin orang lain sebelum nikah.”
Perih banget rasanya dengar itu. Aku tahu betapa rendahnya Amilio, demi duit, dia rela jual siapa pun.
Ekspresi Remy berubah. Ada sesuatu di matanya, entah apa, tapi jelas bukan dingin. “Dengan nikahin kamu, aku udah nyelametin kamu dari nasib yang lebih busuk,” katanya pelan.
Aku menunduk, taruh gelas kosong di meja, terus tutup muka pakai tangan. Kalau saja Amilio dapat yang dia mau.
Aku geleng-geleng, mengusir pikiran itu. Dia memang benar, tapi aku enggak bisa untuk merasa bersyukur. Aku enggak punya alasan buat berterima kasih padanya.
Aku turunkan tangan dan melihat dia lagi. Tatapannya menancapku selama beberapa detik sebelum akhirnya dia bicara, “Kita bakal jalanin pernikahan ini secara normal.”
Normal?
Tidur seranjang?
Seks?
Otakku langsung nge-blank. Tangan refleks memeluk perut, napasku tertahan. Suaraku nyaris enggak keluar, “Haa?”
Mata Remy menyipit, tapi tiba-tiba, hal aneh banget terjadi, raut wajahnya melembut. Ada empati di situ. Dia geleng pelan. “Aku enggak bakal maksa kamu tidur sama aku.”
Lucunya, kalimat dingin itu malah bikin aku sedikit tenang. Aku punya pilihan, setidaknya kali ini.
Aku tatap dia dan berbisik, “Makasih.”
Keningnya berkerut. “Kenapa?”
“Karena kamu enggak maksa aku.”
Dia bersandar lagi.
Suka enggak suka, kami sudah sah. Dan kalau disuruh pilih antara kehilangan keperawanan sebelum menikah atau dipaksa tidur sama Remy, ya, aku pilih yang kedua.
Aku basahi bibir pakai lidah sebelum bilang, “Aku udah janji. Dan aku bakal tepati. Aku bakal jadi istri kamu, sepenuhnya.” Dia diam. Jadi aku menambahkan, “Tapi Aku punya satu permintaan.”
Dia miring sedikit. “Apa?”
“Jangan cium bibirku!”
Garis halus muncul di antara alis Remy waktu dia bergumam, “Kenapa?”
Aku menatap dia, terus bilang jujur, “Itu satu-satunya hal yang pingin aku simpan … sampai aku benaran punya perasaan buat kamu.”
Dia diam, seperti lagi memikirkan sesuatu, lalu akhirnya mengangguk. “Oke. Aku bakal hormati aturanmu. Enggak bakal ada ciuman.”
“Thanks,” balasku pelan.
Suasana jadi sunyi lagi. Aku mulai gelisah, merasa enggak nyaman sama kain sutra yang menempel di kulit aku. Tanganku sibuk memainkan lipatan rok, mataku melirik ke arah Remy yang masih saja memperhatikanku.
“Kamu yang beliin gaun ini buat aku?” tanyaku akhirnya.
Dia cuma geleng pelan. Tapi karena topiknya sudah terbuka, aku lanjut, “Berarti aku harus pindahin barang-barangku ke rumah kamu, ya?”
“Enggak perlu,” jawabnya santai. “Anak buahku udah ngurus semuanya. Barang kamu udah dipindahin ke kamar utama.”
Mataku langsung melebar. “Apa? Kapan?”
“Pas upacara tadi,” katanya datar. “Begitu kamu ninggalin rumah, mereka langsung berangkat.”
Gila.
Nih orang benar-benar enggak buang-buang waktu.
Aku cuma bisa mengangguk.
Sunyi lagi.
Mataku berkeliling ruangan, dan aku akhirnya berbisik, “Rumah kamu keren banget.”
“Itu rumah kamu juga sekarang,” jawab Remy sambil berdiri. Dia ambil jaket, keluarkan HP dari saku, dan bilang, “Anggep aja kayak di rumah sendiri kalau aku enggak ada.”
“Kamu mau pergi?” Aku duduk lebih tegak. “Di malam pernikahan kita, kamu serius?”
Dia buka kunci HP-nya dan jawab tenang, “Aku rasa kamu butuh waktu sendiri. Aku enggak bakal lama.”
Setelah bicara begitu, dia jalan ke arah pintu depan sambil menelepon seseorang.
Aku sempat melihat sekilas pistol yang menyelip di pinggang celananya, bikin aku refleks menelan ludah. Dadaku seperti diremas waktu dengar dia bicara pelan ke HP-nya, “Kita jalan.”
Pintu tertutup pelan.
Aku berdiri diam, bengong beberapa detik, sebelum kenyataan itu menyerangku.
Aku nikah sama Remy Arnold.
Gila.
Baru tadi pagi aku masih single, diinjak-injak Amilio pula.
Sekarang?
Aku jadi istri cowok paling menyeramkan di North District.
Tiba-tiba pintu depan terbuka lagi. Benny muncul di ambang pintu dengan senyum miring. “Hai, Nyonya Arnold. Mulai sekarang aku pengawalmu.”
Nyonya Arnold?
Nama itu saja sudah cukup bikin dadaku terasa aneh.
Aku berdiri, menyeringai tipis. “Kamu enggak perlu jagain aku. Aku enggak bakal kabur.”
Dia geleng. “Bukan buat ngawasin. Buat ngelindungin.”
“Oh.” Aku selipkan rambut ke belakang telinga, terus mengangguk canggung. “Oke, deh.”
Dia menunjuk tangga. “Santai aja. Anggap aku enggak ada.”
Mustahil.
Badannya saja sebesar lemari dua pintu.
Tapi aku cuma senyum dan menyeletuk pelan, “Kalau kamu kayak gunung gini, mana bisa.”
Dia tertawa. “Oke.”
Begitu dia duduk di sofa, aku meninggalkan ruangan. Aku memperhatikan patung marmer di lorong, lukisan di dinding, semuanya terlihat mahal. Terus aku naik ke lantai atas, mencari kamar utama.
Begitu menemukannya, aku langsung masuk dan mataku membelalak. Semua pakaianku sudah rapi banget di sisi kiri lemari. Di sisi kanan, ada jas-jas Remy berjajar dengan warna senada. Rapi banget, seperti di mall.
Aku keluarkan napas panjang, peluk diri sendiri. Remy benar. Aku butuh waktu buat sendirian.
Aku tenggelam di karpet tebal, memejamkan mata, dan cuma bisa berpikir.
Aku sudah menikah sama Remy Arnold.
Mulai sekarang sampai mati, aku adalah istrinya. Kita bakal punya anak. Tapi, apa dia bakal jadi suami yang baik?
Apa dia bisa cinta sama aku?
Dan yang paling penting, apa aku bisa cinta sama dia?
Aku berusaha membayangkan dia sebagai suami. Remy itu ganteng, berkarisma, tapi juga misterius. Mungkin saja hubungan kita bisa berjalan.
Aku butuh harapan, sekecil apa pun itu. Dia janji bakal setia, berarti aku enggak perlu khawatir kalau-kalau nanti dia selingkuh.
Pikiran itu malah bikin aku tambah bingung. Dahiku berkerut. Kayaknya aku harus jelasin dari awal. Aku enggak bakal ampuni masalah perselingkuhan.
Aku tarik napas panjang, buang pelan-pelan. Ingat kata-kata seseorang, "Kalau kamu ingin suami kamu enggak mencari perempuan lain, kamu harus bisa bikin dia puas."
Bagaimana caranya?
Aku bahkan enggak mengerti soal beginian.
Aku geleng kuat-kuat, mengusir pikiran itu. Daripada panik, aku memutuskan buat ambil gaun hijau muda di lemari sama pakaian dalam.
Aku harus mandi. Merelaksasi saraf, bersihkan pikiran, hadapi semuanya satu-satu.
Begitu masuk ke kamar mandi yang dindingnya dari batu hitam dan putih, aku langsung gugup.
Aneh rasanya berada di rumah Remy sendirian. Tapi karena ini sekarang rumahku juga, aku tetap jalani niat itu.
Makin cepat aku terbiasa sama tempat ini, makin cepat juga aku bisa tenang.