Asila Angelica, merutuki kebodohannya setelah berurusan dengan pemuda asing yang ditemuinya malam itu. Siapa sangka, niatnya ingin menolong malah membuatnya terjebak dalam cinta satu malam hingga membuatnya mengandung bayi kembar.
Akankah Asila mencari pemuda itu dan meminta pertanggungjawabannya? Atau sebaliknya, dia putuskan untuk merawat bayinya secara diam-diam tanpa status?
Penasaran dengan kisahnya? Yuk, simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. Penyesalan
"Loh, sayang! Kok kamu udah ada di sini? Kenapa nggak menghubungi aku kalau mau datang ke sini? Atau jangan-jangan lagi kangen ya? Ayo masuk sini."
Edgar terkejut mendapati Asila yang tiba-tiba datang ke kantornya. Sebelumnya tak ada kabar mengenai wanita itu, kini dia muncul di hadapannya.
"Ck! Kepedean amat! Siapa juga yang kangen sama orang kayak kamu! Ini aku diminta Bang Teddy buat nganterin berkas-berkas yang perlu kamu tandatangani. Lusa katanya kamu sama bang Teddy ada urusan di luar kota, dia ngajak barengan, sekalian ngecek bangunan di sana. Memangnya kalian ada proyek di luar kota?"
Asila menyodorkan beberapa dokumen di atas meja kerja Edgar, pria itu langsung mengeceknya.
"Iya, aku lagi ada proyek bareng abangmu, di sana kami menangani pembangunan swalayan. Nanti kalau tempatnya udah jadi aku bakalan mengajakmu ke sana."
Andai saja dari awal Edgar tahu Asila anak dari Wijaya mungkin dia lebih memilih bekerja sama dengannya dibandingkan dengan Teddy, setidaknya dia bisa menghabiskan waktu bersama di luar kota.
"Kenapa harus di luar kota? Kenapa nggak di daerah sini aja! Kalau di sini kan kalian bisa langsung pantau cara kinerjanya, kalau di luar kota kan agak susah. Memangnya kamu nggak ada curiga sama orang-orangmu yang kamu tugaskan di sana? Nggak semua orang bisa dipercaya, apalagi soal uang. Uang bisa melupakan segalanya, termasuk kepercayaan. Jangankan cuma teman, keluarga terdekat pun bisa lupa diri jika sudah berkaitan dengan yang namanya uang."
Edgar terkekeh dan bangkit dari kursi kerjanya. Dia menghampiri Asila yang berdiri di depan meja kerjanya.
"Soal itu kamu tenang saja, aku sudah atur semuanya. Natan aku tugaskan untuk mengawasi pembangunan di sana, dia nggak mungkin berani macam-macam sama denganku, apalagi memiliki keinginan untuk membodohiku. Semua asetnya aku yang pegang, kalau dia berani macam-macam, Aku pastikan dia gak bakalan dapat apa-apa."
"Nggak dapat apa-apa gimana? Dia kan saudara kandungmu. Jadi orang jangan tamak, nggak baik."
"Siapa juga yang tamak? Aku hanya ingin membantunya untuk mengelola aset yang diberikan papa untuknya. Selama dia masih plin plan Papa nggak izinkan dia untuk mengurusnya sendiri. Makanya aku kasih dia tugas untuk memantau pembangunan di sana, biar dia bisa belajar caranya berbisnis. Nanti setelah dia bisa mandiri baru aku akan menyerahkannya."
Edgar mendekatkan dirinya hingga tak berjarak. Tangannya menarik pinggang Asila hingga membuat wanita itu jatuh ke pelukannya. "Seriusan kamu nggak rindu sama aku? Bahkan aku sudah tidak sabar ingin segera menikahimu." Suara pria itu terdengar berat, mengingatkannya pada kejadian di masa lalu.
"Tolong jaga etikamu! Ini kantor. Kalau ada orang yang datang ke sini gimana? Apa nggak malu?"
"Kenapa aku harus malu, aku lagi melepas kerinduan bersama istriku," jawabnya dengan mengecup surai Asila tanpa meminta izin darinya.
Asila menyengir kuda. 'istri' kapan menikah udah dianggap sebagai istrinya? Terlalu percaya diri orang ini. Bahkan sampai sekarang dia masih juga santai nggak ada niat untuk segera mengurus surat-surat pernikahan,' gumamnya dalam hati.
Asila menggerutu kecewa. Inilah yang membuatnya ragu, bahkan sudah berhari hari Edgar berjanji untuk segera mengurus surat-surat pernikahan, tapi nyatanya sampai saat ini tak ada kabar beritanya, ia yakin pria itu hanya berniat untuk mempermainkan perasaannya.
"Oh ya, aku ada sesuatu untukmu. Tunggu sebentar, aku ambilkan."
Pria itu bergegas membuka laci meja kerjanya. Dia mengambil dokumen berwarna biru dan menyodorkannya pada Asila. Alis Asila terangkat, penasaran dengan isi dokumen tersebut.
"Ini apa?"
"Kamu buka aja."
Untuk mengurangi rasa penasarannya Asila pun langsung membukanya. Dia membacanya perlahan, seketika hatinya lega setelah tahu isi dari dokumen tersebut.
"Ini kamu sudah dapat surat-suratnya dari KUA? Kapan kamu mengurusnya?"
Asila pikir Edgar tak ada niatan untuk mengurusnya. Ia pikir Edgar hanya ingin mempermainkan perasaannya saja, tapi ternyata diam-diam dia sudah menyelesaikan tugasnya membuat surat izin untuk menikah.
"Kemarin suratnya baru jadi, dan aku masih belum ada waktu untuk menemuimu. Gimana? Apa sudah siap menjadi nyonya Pratama? Kamu maunya kita nikah di mana? Di hotel, di rumah atau~~
"Di KUA saja, aku nggak mau ada orang yang mengetahui pernikahan kita. Aku ingin menikah secara diam-diam, nggak perlu ada pesta ataupun resepsi. Nggak perlu ngundang banyak orang juga, cukup keluarga dekat yang jadi saksinya."
"Serius kamu nggak mau adakan pesta? Entar menyesal?Bukankah setiap wanita mendambakan pesta pernikahan yang mewah? Seorang wanita lebih menyukai barang-barang yang mewah, dan tentunya pernikahan yang megah. Bisa dibilang pernikahan itu hanya terjadi sekali dalam seumur hidup, masa kamu nggak ada keinginan menikah dengan mewah yang dihadiri oleh banyaknya tamu undangan?"
Sebenarnya Edgar sendiri kurang suka dengan yang namanya pesta. Ia hanya tidak ingin dibilang egois kalau meminta pernikahannya dilangsungkan secara diam-diam. Walaupun ia tak suka dengan pesta, ia tetap mengupayakan agar istrinya bisa menikmati momen indah di kehidupannya. Ternyata di situ Asila memiliki pemikiran yang sama, dia juga tak ingin pernikahannya diketahui oleh banyak orang.
"Aku tidak butuh semua itu. Aku sadar diri, aku sudah memiliki dua anak tanpa pernah menikah. Rasanya aku tidak pantas menikah dengan pesta yang mewah, lagi pula aku tidak ingin dihujat oleh banyak orang yang tidak menyukaiku. Keberadaan si kembar pasti akan dipertanyakan oleh tamu undangan yang datang. Aku tidak ingin melukai perasaan anak-anakku."
Dia memiliki keyakinan akan banyak orang yang akan menggunjingnya jika ia mengadakan pesta besar untuk pernikahannya, apalagi keberadaan si kembar yang semua orang tidak mengetahui siapa ayah kandungnya. Asila tak mau egois, ia hanya ingin menjaga kewarasan mental anak-anaknya.
"Yaudah, aku nggak bakalan maksa. Kalau kamu ingin menikah diam-diam di KUA, oke..., aku juga tak masalah. Sebenarnya aku sendiri juga nggak percaya diri untuk mengadakan resepsi, hanya saja aku tidak ingin egois, Aku hanya tidak ingin membuatmu kecewa. Tapi syukurlah kalau pemikiran kita sama, bukankah dengan begitu uangnya bisa di gunakan untuk keperluan yang lain."
"Hm... iya, uang bisa digunakan untuk keperluan lain. Kita menikah juga bukan untuk diri kita sendiri, tapi sudah ada anak-anak yang harus dipikirkan. Mereka butuh biaya banyak untuk sekolahnya, jadi nggak perlu menghamburkan uang hanya untuk kesenangan sesaat."
Edgar tersenyum dengan menatapnya dalam-dalam. Dulu ia pernah berpikir Asila hanyalah wanita murahan yang ingin mendapatkan uang dengan cara yang tak halal, buktinya saja dia berada di bar menjadi pelayan, makanya ia sempat kepikiran untuk bertanggung jawab dengan memberinya sejumlah uang. Ternyata penilaiannya salah, wanita itu sangat bijak dan sederhana. Bahkan di saat saat tersulitnya ia tak membutuhkan bantuan dari siapapun, dia mencari jalan hidupnya sendiri dengan pergi meninggalkan orang-orang terdekatnya.
"Maafkan aku sayang, selama ini kamu sudah berjuang sendirian. Aku menyesal kenapa malam itu melakukan hal bejat padamu. Kalau saja aku bisa mengontrol diri dengan baik mungkin kau tidak akan pernah hidup menderita. Aku sangat menyesal."