Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 14
“Apa kau sudah baik-baik saja?” tanyanya akhirnya, suaranya lebih tenang tapi tetap kaku.
Alea mengangguk pelan, meski wajahnya masih pucat. “Hanya sedikit pusing…”
Untuk pertama kalinya sejak lama, ada jeda dalam sikap dingin Faizan. Ia menatap Alea cukup lama, seperti berusaha memahami sesuatu yang bahkan ia sendiri tak mengerti.
“Besok kita ke dokter,” ucapnya singkat, lalu berbalik meninggalkan kamar, menyisakan Alea dengan hati yang semakin tak menentu.
Alea menatap punggung Faizan yang perlahan menghilang di balik pintu. Perasaannya campur aduk—antara lega karena Faizan akhirnya berbicara padanya tanpa nada marah, dan bingung karena sikapnya tetap sulit ditebak.
Di luar kamar, Faizan berdiri sejenak di lorong. Tangannya mengepal, matanya terpejam. Ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak, tapi ia tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Selama ini ia selalu menjaga jarak, tapi dia tetap pada prinsip untuk tidak mencintai seorang wanita lagi.
Sementara itu, Alea menarik napas dalam-dalam. Kata-kata Faizan terngiang di kepalanya: Besok kita ke dokter. Ada kekhawatiran dalam nada suaranya, hal yang jarang sekali ia tunjukkan.
Malam itu, Alea sulit memejamkan mata. Ia memikirkan kemungkinan yang mungkin akan mereka dengar besok. Entah tentang kesehatannya… atau tentang masa depan yang belum pernah mereka bicarakan.
---
Keesokan harinya, mobil Faizan melaju sunyi menuju rumah sakit. Alea duduk di sampingnya, sesekali melirik Faizan yang fokus pada jalan. Hatinya berdebar. Ia tak tahu, apakah hasil pemeriksaan ini akan menjadi awal dari sesuatu yang baru di antara mereka, atau justru sebaliknya.
Di ruang dokter, ketegangan kian terasa. Faizan menggenggam erat tangannya—tanpa sadar. Alea menoleh, dan untuk pertama kalinya ia melihat sekilas sisi rapuh Faizan yang selalu ia kira tak pernah ada.
“Pak Faizan, Bu Alea…” suara dokter memecah keheningan, “hasilnya sudah keluar. Sepertinya ada yang perlu kita bicarakan.”
Dokter menatap mereka berdua, lalu membuka berkas hasil pemeriksaan. “Secara umum, kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan, tapi Alea butuh istirahat cukup dan mungkin beberapa pemeriksaan lanjutan untuk memastikan semuanya benar-benar baik.”
Alea mengangguk pelan, rasa lega sedikit mengalir di dadanya. Ia melirik Faizan, berharap melihat secercah kehangatan di wajah pria itu. Tapi yang ia temukan hanyalah ekspresi datar, nyaris tanpa emosi.
“Kalau begitu, saya akan atur jadwal pemeriksaan berikutnya,” tambah dokter.
“Baik,” jawab Faizan singkat. Suaranya terdengar dingin, seolah ia sedang berbicara pada orang asing.
Di luar ruang dokter, Alea melangkah pelan di samping Faizan. Hatinya terasa berat. Ia ingin berbicara, ingin bertanya kenapa Faizan begitu menjauh, tapi bibirnya terasa kelu.
“Terima kasih… sudah menemaniku,” ucap Alea lirih, mencoba memecah kebekuan.
Faizan tak langsung menjawab. Pandangannya lurus ke depan, langkahnya tetap mantap. “Hanya sekedar tanggung jawab. Itu saja,” katanya datar, tanpa menoleh.
Alea merasakan sesuatu di dadanya meremas kuat. Ia berharap keperdulian itu datang dari hati, bukan hanya dari rasa kewajiban. Tapi Faizan… tetap menjadi pria dengan dinding tinggi yang sulit ia tembus.
--
Setelah dari rumah sakit, mobil Faizan kembali melaju sunyi di jalanan. Tak ada percakapan di antara mereka. Alea hanya memandangi pemandangan di luar jendela, berusaha menyembunyikan perasaan yang terus berkecamuk.
Sesampainya di rumah, Faizan langsung melangkah masuk tanpa menunggu Alea.
“Aku ada pekerjaan. Jika Mama menanyakanku, katakan saja, aku ada diruang kerja.” ucapnya singkat sebelum menaiki tangga, tak sedikitpun menoleh ke arahnya.
Alea hanya berdiri di ruang tamu, memandang punggung Faizan yang menghilang di lantai atas. Ada rasa perih yang tak bisa ia jelaskan—seperti sedang berbicara dengan seseorang yang hatinya sudah lama tak bisa ia sentuh.
Sepanjang sore, Alea tetap diam di kamarnya. Sesekali ia mendengar suara pintu ruang kerja Faizan terbuka dan tertutup, tapi tak ada langkah yang mengarah padanya.
Malam pun tiba. Saat makan malam, Faizan tetap tenang, menyuap makanannya tanpa banyak bicara.
“Kau sudah minum obatnya?” tanyanya akhirnya.
“Sudah,” jawab Alea pelan.
“Bagus.” Hanya itu. Tak ada pertanyaan lain, tak ada kalimat hangat yang Alea harapkan. Seolah Faizan menjaga jarak dengan tembok tak kasatmata yang sulit ditembus.
Di balik sikap dingin itu, Alea tak tahu—Faizan sebenarnya sedang berperang dengan dirinya sendiri. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi setiap kali ia mencoba, lidahnya terasa kelu, dan ia kembali bersembunyi di balik sikap tak pedulinya.
Meja makan malam itu terasa begitu hening. Hanya suara sendok dan garpu yang terdengar sesekali. Ibu Maisaroh berusaha memecah suasana sambil membawa masakan yang baru saja matang.
“Alea, coba cicipi sayur asem ini. Ibu masak khusus untukmu,” katanya sambil meletakkan semangkuk sayur di hadapan Alea.
“Terima kasih, Bu,” jawab Alea pelan, tersenyum kecil.
Faizan duduk di seberangnya, tenang, seperti biasa. Pandangannya hanya tertuju pada piringnya sendiri. Tak ada sepatah kata pun yang ia lontarkan.
“Faizan,” Ibu Maisaroh menatapnya, “setidaknya temani Alea bicara. Dia pasti butuh teman.”
Faizan mengangkat wajahnya sebentar, lalu berkata datar, “Aku di sini, Mah. Bukankah itu sudah cukup?”
Alea menunduk, menyembunyikan rasa perih di dadanya. Ia mengunyah pelan, tapi rasanya makanan di mulutnya hambar.
“Alea, kau harus makan banyak supaya bayi dalam kandunganmu sehat,” ucap Ibu Maisaroh lagi, berusaha menghidupkan suasana.
“Baik, Bu.” Alea tersenyum lagi, tapi senyumnya tak benar-benar sampai ke mata.
Di seberang, Faizan hanya diam. Sesekali ia melirik Alea, tapi segera kembali menunduk. Tak ada percakapan, tak ada sapaan hangat. Seolah jarak di antara mereka terlalu jauh untuk dijembatani oleh sekadar kata-kata.
Selesai makan, Faizan hanya berkata singkat, “Aku kembali ke ruang kerja,” lalu bangkit meninggalkan meja, tanpa menunggu atau menoleh pada Alea.
Ibu Maisaroh menghela napas panjang, menatap Alea dengan pandangan penuh iba. Sementara Alea hanya tersenyum samar, menahan perasaan yang makin tak menentu.
Setelah Faizan meninggalkan meja makan, suasana kembali hening. Alea menunduk, kembali menyibukkan diri dengan sendok dan piring kosong di depannya, meski sebenarnya tidak ada lagi yang bisa ia lakukan.
Ibu Maisaroh memandanginya dengan tatapan lembut. Perlahan ia berkata, “Nak… jangan terlalu dipikirkan sikap Faizan. Dia memang begitu sejak dulu.”
Alea menggeleng pelan. “Tapi… entah kenapa rasanya semakin menjauh, Bu. Seolah-olah… aku ini hanya orang asing di rumah ini.” Suaranya lirih, hampir bergetar.
Ibu Maisaroh menghela napas panjang. “Faizan itu anak yang keras kepala. Dia jarang mau menunjukkan perasaannya. Dingin di luar, tapi sebenarnya hatinya tidak sekeras yang terlihat.”
Alea menoleh, ragu. “Benarkah, Bu? Soalnya… setiap kali dia bicara, selalu datar. Bahkan hari ini… dia hanya menanyakan soal obat. Tidak lebih.”
Ibu Maisaroh tersenyum tipis, mencoba menenangkan. “Kau harus sabar, Alea. Kadang lelaki seperti Faizan butuh waktu untuk mengerti apa yang sebenarnya dia rasakan. Mungkin dia peduli, tapi tidak tahu cara menunjukkannya.”
Alea terdiam. Hatinya sedikit lega, tapi rasa sesak tetap ada. “Aku hanya berharap… suatu hari dia mau bicara jujur. Tentang apa pun. Bahkan kalau dia marah sekalipun… rasanya lebih baik daripada diam seperti ini.”
Ibu Maisaroh mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Alea. “Percayalah, Nak. Akan ada waktunya dia membuka hati. Kau hanya perlu bertahan sedikit lebih lama.”
Alea tersenyum tipis, meski dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan yang tak terucap tentang Faizan terus berputar, tak menemukan jawaban.
...----------------...
Bersambung...