Xaviera wanita berusia 25 tahun, seorang anak dan cucu dari keluarga konglomerat. Namun kehidupan sehari-harinya yang berkilau bagaikan berlian berbanding terbalik dengan kisah asmaranya.
Perjodohan silih berganti datang, Setiap pria tidak ada yang benar-benar tulus mencintainya. Menjadi selingkuhan bahkan istri kedua bukanlah keinginannya, melainkan suatu kesialan yang harus di hadapi. Sebuah sumpah dari mantan kekasihnya di masa lalu, membuatnya terjerat dalam siksaan.
Suatu hari, pertemuan dengan mantan kekasihnya, Rumie membuatnya mati-matian mengejarnya kembali demi ucapan permintaan maaf dan berharap kesialan itu hilang dalam hidupnya.
Akankah Xaviera bisa mendapatkan maaf yang tulus dari Rumie?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Dengan satu langkah, Xaviera mendekat, hingga hanya berjarak selembut napas. Keduanya saling menatap. Mata yang berbicara tanpa kata, memancarkan kerinduan mendalam yang telah lama terpendam, seolah waktu berhenti sejenak dalam kehangatan tatapan itu.
Xaviera mengeluarkan pena di balik jaketnya, menarik telapak tangan kanan Rumie. Kemudian, menuliskan nomor teleponnya.
Untuk saat ini Xaviera tidak bisa banyak bicara. Karena, pasti Jones akan mengetahui, jika keduanya berbincang cukup lama.
“Apa ini?” tanya Rumie, mencoba mengusap tulisan di telapak tangannya. Dengan cepat, Xaviera menahan dan menggelengkan kepalanya.
“Hubungi aku, aku akan menunggumu di depan Gerbang Brandenburg,” ucap Xaviera.
“Aku tidak akan datang,” ucap Rumie, dengan tatapan tajam.
Xaviera mendekat dan menepuk pipi kanan Rumie dengan lembut, “Itu tidak mungkin, kau akan datang.
Xaviera lalu menekan tombol lift, bersiap pergi.
“Aku tak akan datang menemuimu!” ucap Rumie dengan lantang.
Pintu lift terbuka, Xaviera tersenyum sebelum masuk ke dalam lift.
“Hei, wanita gila! Dasar bodoh, aku tidak akan datang!” Rumie mendekat ke arah pintu lift, namun pintu lift sudah tertutup.
Rumie menghapus tulisan di telapak tangannya dengan kesal, namun tinta itu tidak dengan mudah menghilang. Membuatnya mendengus kesal, dan kembali menuju kamarnya.
“Dia terlalu percaya diri, aku tidak mungkin berlari hanya untuk mengejar wanita seperti itu,” gerutu Rumie.
Rumie menarik tirai kamarnya, membuka pemandangan kota Berlin yang cerah di siang hari. Namun, tatapannya tidak tertuju pada gedung-gedung tinggi yang menjulang di luar jendela hotelnya, melainkan melayang ke langit biru yang tak terbatas, membawa pikirannya ke perjalanan waktu yang jauh ke masa lalu, dimana mencari tahu hubungan seperti apa yang ia jalani bersama Xaviera.
Sedangkan, Xaviera saat ini kembali ke rumah barunya yang baru saja diberikan oleh Jones sebagai hadiah.
Dua orang pelayan untuk mengurus keperluannya sedang berdiri di depannya, menunggu perintah pertama dari Xaviera.
“Sialan! Harusnya aku juga meminta Layra ikut denganku,” gerutu Xaviera, merasa kehilangan Layra, pelayan pribadinya.
“Nona, apa ada yang ada butuhkan?” tanya seorang pelayan.
“Siapkan air hangat, aku ingin berendam,” balas Xaviera, memberikan perintah.
Setelah berlarian dari rumah sakit ke hotel hanya untuk mencari Rumie, punggungnya terasa nyeri dan berfikir dengan berendam di bathtub akan membuatnya rileks.
Pelayan segera melaksanakan perintah, salah satu orang mengurus bathtub dan pelayanan satunya menyiapkan pakaian.
Sebuah pesan masuk di ponsel, “Aku akan kerumah jam 11 malam, pastikan kamu tidak kemanapun. Aku sudah mengirimkan hadiah untukmu. Aku sangat menyayangimu.” Pesan dari Jones, membuat Xaviera sadar, jika saat ini kebebasan itu tidak benar-benar ada.
Pelayan datang ke kamar, dengan sebuah kotak besar berpita.
“Nona, ini kiriman dari Tuan Jones,” ucap pelayan.
Xaviera penasaran dengan isi kotak itu, dia menarik pita dan membuka tutup kotak.
“Astaga,” gerutu Xaviera, terkejut dengan hadiah lingerie warna maroon yang diberikan Jones untuknya.
Dua pelayan yang berdiri di depannya, menahan senyum melihat hadiah kejutan itu. Xaviera segera menutup kotak itu, dengan dada yang berdebar.
“Sudah, kalian keluar saja!” perintah Xaviera pada kedua pelayannya.
Xaviera mendengus kesal, karena dua pelayannya jadi tahu isi hadiah sensitif pemberian Jones.
Xaviera melepaskan pakaiannya, dan masuk ke dalam bathtub. Menenangkan pikirannya yang kacau setelah membayangkan apa yang akan terjadi malam ini dengan Jones.
“Aku harus mencari cara, untuk menolaknya malam ini.”
“Tapi apa?”
Xaviera kebingungan memberikan alasan, untuk menolak sentuhan dari Jones.
“Ya Tuhan, apa salahku? Sampai semua jadi seperti ini.”
💙💙💙
Saat ini, Rumie dan Jones saling bertemu di kantor AIXZ. Kedatangan Rumie disambut hangat oleh Jones, yang kemudian memperkenalkannya kepada beberapa tim unggulan yang bekerja sama dengannya dalam mengembangkan perusahaan.
Dengan senyum ramah, Jones menjelaskan bahwa Rumie akan bergabung sebagai desainer produk teknologi baru di AIXZ, membawa ide-ide segar dan kreativitas untuk meningkatkan inovasi perusahaan. Keduanya pun menandatangani kontrak kerjasama.
Setelah pembahasan bisnis selesai, Rumie mulai mencari tahu tentang Xaviera dari Jones.
“Kau tahu wanita gila itu, maksudku wanita yang saat malam itu bersamamu, bernama Xaviera,” ujar Rumie.
“Bukankah kalian berteman?” jawab Jones, tersenyum mendengar Rumie menyebut Xaviera wanita gila.
“Berteman?” Jawaban itu sedikit berbeda, karena terlihat Xaviera mengatakan memiliki hubungan lebih dengannya di masa lalu.
“Iya, dia katakan itu padaku. Aku kira kemarin kalian bertemu,”
“Iya, kita bertemu … tapi,”
“Kenapa? Apa dia mengganggumu?” Jones bertanya dengan wajah penasaran.
Hah …
“Iya, dia sangat mengusikku,” jawab Rumie jujur.
“Dia memang sedikit berlebihan, mungkin dia terlalu semangat bertemu dengan satu-satunya teman lama dari Indonesia,” ujar Jones.
Rumie diam, mengangguk mencoba memahami ucapan Jones.
“Apa hubungan kalian?” tanya Rumie penasaran.
“Aku? Aku dan Xaviera … em, saling membutuhkan saja,” jawab Jones.
“Membutuhkan?”
“Ah, sudahlah. Kita bahas itu lain kali, hari ini aku ada rapat. Besok kita bertemu lagi,” kata Jones, bangkit dan mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat.
“Oke.” Rumie membalas jabat tangan itu, kemudian meninggalkan ruang kerja Jones.
Rumie melihat jam di pergelangan tangan kirinya, menunjukkan pukul 7.
“Ah, aku yakin dia juga tidak akan datang,” gumam Rumie. Setelah dari kantor Jones, dia kembali ke hotel.
Berusaha melupakan janji yang Xaviera buat. Karena merasa itu adalah paksaan.
Sementara itu, Xaviera tengah bersiap menuju lokasi dimana pertemuannya dengan Rumie.
Di depan cermin, Xaviera berbicara pada dirinya sendiri, “Aku akan meminta maaf dengan tulus. Akan aku katakan, jika menyesal telah meninggalkannya. Bahkan membunuh impiannya yang berharap memiliki putri kecil bersamaku.”
Dengan langkah sunyi, dia melewati gerbang belakang, menuju mobil pribadinya, dia tidak ingin sopir mengantarnya kali ini.
Gugup dan ketakutan menghimpit dadanya, seperti bayang-bayang yang tak kunjung pergi.
Seharusnya dengan hilangnya ingatan Rumie, membuat dia tak peduli lagi dengan masa lalu. Namun, entah mengapa, ketika melihat Rumie, jiwanya terasa tenang, seolah-olah badai di dalam hatinya perlahan reda.
Xaviera berdiri didepan Gerbang Brandenburg, sesuai janjinya. Matanya menyapu sekeliling, masih ada beberapa orang yang lalu lalang untuk menikmati keindahan pilar-pilar besar dan relief yang berdiri di belakangnya.
“Sudah pukul 8, harusnya dia dalam perjalanan kesini. Atau, mungkin dia belum tahu lokasinya?” gumam Xaviera, “Ah, dia tidak sebodoh itu. Dia bisa meneleponku kalau tidak tahu jalan.”
Xaviera berkeliling, sambil ikut menikmati suasana malam yang cerah.
“Sudah lama, aku tidak keluar seperti ini.” Mengatur nafasnya yang tenang.
Namun, disisi lain. Rumie, masih berada di dalam kamar hotelnya. Menikmati secangkir teh hangat, dan membicarakan jadwal esok hari dengan asistennya.
Sesaat, menoleh ke luar jendela. Melihat senja mulai memudar berganti dengan awan biru tua.
“Apakah, Anda ada janji lain, Pak?” tanya asistennya.
Em …
Rumie menoleh, lalu menggelengkan kepalanya.
“Kau bisa pergi, aku ingin beristirahat,” ucap Rumie.
Asistennya keluar dari kamarnya, sedangkan Rumie mengangkat cangkirnya dan berdiri di depan jendela. Menatap keluar, lampu-lampu kota mulai menyala.
Langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba berubah menjadi abu-abu gelap, seperti bayangan gelisah di hatinya. Rintik hujan perlahan mulai terdengar, semakin keras dan deras hingga menjadi simfoni malam yang khas, mengiringi detak jantungnya yang berdebar kencang.
“Tidak mungkin dia begitu bodoh, masih menunggu disana," gumam Rumie, pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang semakin menguat.
Rumie meletakkan cangkir tehnya di atas meja, kemudian menutup tirai untuk menghalangi pandangan ke luar yang kini hanya dipenuhi oleh butiran hujan yang terus mengalir deras di kaca jendela.
Di balik tirai yang tertutup, Rumie mencoba untuk fokus pada dokumen-dokumen yang perlu dipelajari, tetapi pikirannya terus melayang pada Xaviera.
Suara hujan yang semakin deras diiringi dengan dentuman petir yang saling menyahut membuatnya semakin gelisah, seperti badai yang mengacaukan ketenangannya.
Perasaan kesal dan khawatir perlahan menguasai dirinya, membuat Rumie bangkit dari sofa.
“Rumie, kau jangan terpengaruh dengan ucapan wanita gila itu,” gumamnya. Sementara tatapannya melayang jauh.
Kemudian, dia mengambil jaket dan kunci mobilnya, dan dengan mendengus kesal, langkahnya maju mundur di depan pintu. “Sialan!” gerutunya.
Akhirnya, kakinya membuatnya berlari mengejar wanita gila dan bodoh itu, dengan perasaan khawatir yang semakin memuncak.
Rumie masuk kedalam mobil, melajukan mobilnya pergi.
Tepat di area parkir Gerbang Brandenburg. Rumie, keluar dari mobil dengan perasaan kesal.
“Lupa bawa payung, lagi.” Rumie akhirnya melepas jaketnya dan menjadikannya penutup kepala.
Berlari mengelilingi area Gerbang Brandenburg, mencari Xaviera.
Saat melihat seorang wanita berdiri di bawah pilar, dengan gaun hitam yang basah kuyup karena hujan, membuatnya semakin kesal. Wanita bodoh itu adalah Xaviera.
Sementara itu, Xaviera melihat kedatangan Rumie yang tak jauh darinya, membuatnya tersenyum lembut. Melambaikan tangan, seakan menunggu jemputan.
Rumie berlari dengan wajah kesal, “Apa kau bodoh?” suara gertakan yang menggetarkan dadanya.
“Sudah aku katakan, aku hanya wanita bodoh yang selalu mencintaimu,” jawab Xaviera, dengan senyum yang tetap menghiasi wajahnya.
Membuat hati Rumie berdebar lebih kencang.