Di bawah rembulan yang dingin, seorang jenderal berdiri tegak, pedangnya berkilauan memantulkan cahaya. Bukan hanya musuh di medan perang yang harus ia hadapi, tetapi juga takdir yang telah digariskan untuknya. Terjebak antara kehormatan dan cinta, antara tugas dan keinginan, ia harus memilih jalan yang akan menentukan nasibnya—dan mungkin juga seluruh kerajaannya. Siapakah sebenarnya sosok jenderal ini, dan pengorbanan apa yang bersedia ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syifa Fha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Yu Zhang, yang dengan sekuat tenaga bertarung melawan seorang pria tua yang memiliki kemampuan yang tampak lebih berpengalaman dan kuat darinya. Yu Zhang berusaha keras menangkis serangan demi serangan, namun ia semakin terdesak. Pria tua itu tertawa sinis melihat kegigihan Yu Zhang, seolah-olah ia sedang bermain-main dengan seekor anak kucing.
Tepat ketika pria tua itu hendak melancarkan serangan mematikan, sebuah kilatan pedang menyambar di antara mereka. Kakek Liu muncul dengan kecepatan kilat, menangkis serangan pria tua itu dan mendorongnya mundur.
Pria tua itu tertawa melihat kedatangan Kakek Liu. "Lihat siapa yang datang," ejeknya. "Jenderal Liu Zhong yang legendaris. Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu."
Kakek Liu mengerutkan kening, mencoba mengingat wajah pria tua itu. Namun, pikirannya terasa kabur dan kacau. "Siapa kau?" tanya Kakek Liu dengan bingung. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?"
Pria tua itu tertawa terbahak-bahak. " Rupanya rumor itu benar,Kau benar-benar sudah gila, ya?" ejeknya. "Seorang jenderal yang dulunya disegani, kini menjadi orang gila yang bahkan tidak bisa mengingat wajah musuhnya sendiri."
Kakek Liu tidak terima diejek gila. Ia mengepalkan tangannya dan bersiap untuk menyerang. "Beraninya kau menghinaku!" geram Kakek Liu. "Aku akan membuktikan bahwa aku masih waras!"
Namun, sebelum pria tua sempat menyerang, ia tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Tawa itu terdengar aneh dan tidak wajar, membuat Yu Zhang dan pria tua itu merasa merinding.
Tiba-tiba, tawa Kakek Liu berhenti. Wajahnya berubah menjadi serius dan dingin. Matanya memancarkan tatapan dendam yang membara.
Pria tua itu tersenyum sinis. "Akhirnya kau ingat, ya?" ejeknya. "Aku kira kau sudah benar-benar lupa siapa aku. Kalau begitu, biar kubantu kau mengingatnya!"
Pria tua itu melancarkan serangan cepat ke arah Kakek Liu. Kakek Liu dengan sigap menangkis serangan itu, namun ia tampak sedikit terkejut.
"Feng Yan!" teriak Kakek Liu dengan suara bergetar.
Mendengar namanya disebut, Feng Yan tersenyum puas. "Akhirnya kau mengingatku," katanya. "Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu. Bagaimana kabarmu, Jenderal Liu Zhong?"
Kakek Liu menggeram marah. "Beraninya kau muncul di hadapanku!" teriaknya. "Setelah semua yang kau lakukan!"
Feng Yan tertawa sinis. "Apa maksudmu?" tanyanya. "Apakah kau masih marah karena tragedi di Kota Mingyue 18 tahun yang lalu? Ayolah, itu hanya sedikit pertumpahan darah. Tidak perlu terlalu dramatis."
Kakek Liu semakin murka mendengar perkataan Feng Yan. "Kau membantai seluruh penduduk Kota Mingyue!" teriaknya. "Kau membunuh putriku! Dan kau menjadikan cucuku sebagai kaki tanganmu!"
Feng Yan mengangkat bahunya dengan acuh tak acuh. "Itu semua demi kebaikan yang lebih besar," katanya. "Aku ingin menciptakan dunia yang lebih baik, dunia di mana hanya orang-orang yang kuat yang berhak untuk hidup."
"Kau gila!" teriak Kakek Liu. "Kau adalah monster yang tidak punya hati!"
"Mungkin," jawab Feng Yan dengan tenang. "Tapi aku adalah monster yang akan mengubah dunia. Dan kau, Jenderal Liu Zhong, tidak akan bisa menghentikanku."
Feng Yan kembali menyerang Kakek Liu, dengan gerakan yang lebih cepat dan mematikan. Kakek Liu dengan sekuat tenaga menangkis serangan Feng Yan, namun ia merasa semakin terdesak.
"Kau tidak akan menang, Feng Yan!" teriak Kakek Liu. "Kembalikan Cucuku!".
Di tengah sengitnya pertarungan, di antara desingan pedang dan percikan api, Kakek Liu dengan lantang membeberkan fakta-fakta yang selama ini tersembunyi rapat. "Kau tahu, Feng Yan, cucuku Xin Lan adalah Keponakan mu! Dia adalah putri dari Jenderal Feng Tianming, pangeran yang kau khianati!"
Feng Yan tertawa sinis, tidak terpengaruh oleh ucapan Kakek Liu. "Oh, benarkah? Lalu kenapa? Apa itu membuatku merasa iba? Jangan bodoh, Liu Zhong. Aku tidak peduli dengan Kerabatku sendiri. Yang kupedulikan hanyalah kekuasaan!"
"Kau benar benar monster! Dia itu keponakanmu!" teriak Kakek Liu, amarahnya memuncak.
"Peduli?" jawab Feng Yan dengan tenang. "Tapi kau juga tidak lebih baik dariku, Liu Zhong. Kau tahu kenapa aku menjadi seperti ini? Karena putrimu! Karena Liu Mei Lan! Seandainya jika putrimu lebih memilihku dari pada adikku itu, mungkin pertumpahan darah ini tidak akan pernah terjadi"
Mendengar nama wanita yang sering dikatakan oleh kakek Liu disebut, Xin Lan yang pingsan di balik tumpukan jerami , tersadar dan terkejut yang membuatnya tanpa sadar melangkah maju.
"Apa maksudmu?" tanya Kakek Liu dengan nada bergetar.
"Putrimu yang menyebabkan semua ini!" teriak Feng Yan. Padahal aku lebih mencintainya ketimbang adik sialan itu! Dia yang membuatku menjadi monster seperti ini!"
Yu Zhang yang mendengar semua fakta itu, merasa tercengang. Ia tidak menyangka bahwa masa lalu Kakek Liu dan Pemilik organisasi Mo Hui begitu rumit dan penuh dengan tragedi.
Saat Yu Zhang menoleh ke belakang, ia melihat Xin Lan berdiri di sana, dengan ekspresi datar namun air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Ia mendengar semuanya, semua fakta yang keluar dari mulut gurunya sendiri, orang yang selama ini ia hormati dan kagumi.
"Xin Lan!" teriak Kakek Liu, menyadari keberadaan cucunya.
Kakek Liu berlari menghampiri Xin Lan, namun terlambat. Xin Lan sudah mendengar semuanya, dan ia tampak sangat terpukul.
"Kakek..." lirih Xin Lan dengan suara bergetar. "Apakah... apakah semua itu benar? Apakah kau benar-benar kakekku?"
Kakek Liu tidak menjawab. Ia tahu, ia tidak bisa menyembunyikan apapun lagi. Dengan tatapan penuh penyesalan, ia mengangguk.
"Maafkan aku, Xin Lan," ucap Kakek Liu dengan suara serak.
Xin Lan menggelengkan kepalanya, air matanya semakin deras mengalir. " kau tau? Ternyata Kau sudah tahu?! Kenapa? Tapi Kenapa kau menyembunyikan semua ini dariku?" tanyanya.
"Hai mantan jenderal ku..., Rupanya kau sudah bertemu dengan kakek Liu mu? Bagaimana perasaanmu?"
"Diam kau!!"Teriak Xin Lan
Kakek Liu tidak bisa menjawab. Ia merasa bersalah dan malu. Ia telah mengecewakan cucunya sendiri,Xin Lan yang marah hendak menyerang Feng yan namun....
"ini demi kebaikanmu."
Tiba-tiba, Kakek Liu bertindak cepat. Ia menyentuh titik meridian di tubuh Xin Lan, membuatnya tidak bisa bergerak.
"Yu Zhang!" perintah Kakek Liu dengan tegas. "Bawa Xin Lan pergi dari sini! Lindungi dia! Aku akan menyusul kalian nanti!"
Yu Zhang terkejut mendengar perintah Kakek Liu. "Tapi, Tuan..."
"Tidak ada tapi-tapian!" potong Kakek Liu. "Bawa dia pergi sekarang! Aku ingin menyelesaikan urusanku dengan Feng Yan!"
Xin Lan berteriak tidak terima. Ia baru saja mengenal kakeknya, dan sekarang ia harus berpisah dengannya karena keadaan yang mendesak.
"KAKEK! KAKEK!"Teriak Xin Lan.
"Kakek, jangan tinggalkan aku!" teriak Xin Lan, air matanya semakin deras mengalir. "Kakek! Beri tahu aku, kakek!"
Kakek Liu menatap Xin Lan dengan tatapan dan senyuman penuh kasih sayang.
Yu Zhang menggendong Xin Lan pergi, meninggalkan Kakek Liu sendirian di tengah arena pertarungan. Xin Lan terus berteriak sekeras-kerasnya, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Yu Zhang.
"Kakek! Jangan tinggalkan aku!" teriak Xin Lan. "Aku mohon!"
Namun, Kakek Liu tidak menjawab. Ia hanya menatap Xin Lan dengan tatapan penuh kasih sayang, hingga sosoknya menghilang dari pandangan.
"Mengharukan sekali bukan pertemuan dengan cucu mu? Seharusnya kau Berterima kasih padaku," kata Feng Yan dengan sinis. "Tapi hari ini akan kubuat kau bertemu dengan putrimu!"
Xin Lan ingin berontak, namun tubuhnya tidak bisa bergerak. Ia hanya bisa berteriak sekuat tenaga, melampiaskan semua kesedihan dan kemarahannya.
Pertarungan antara Kakek Liu dan Feng Yan kembali berlanjut, semakin sengit dan brutal. Keduanya saling menyerang dengan seluruh kekuatan yang mereka miliki, seolah-olah tidak ada hari esok.
Pedang Kakek Liu menari-nari dengan lincah, menebas dan menangkis serangan Feng Yan. Namun, Feng Yan juga bukan lawan yang mudah. Ia memiliki pengalaman dan kekuatan yang setara dengan Kakek Liu.
Di tengah pertarungan yang semakin memanas, Feng Yan berhasil menemukan celah dalam pertahanan Kakek Liu. Dengan gerakan cepat, ia menusukkan pedangnya tepat ke jantung Kakek Liu.
Kakek Liu terhuyung mundur, darah segar mengalir deras dari lukanya. Namun, dengan sisa kekuatannya, ia membalas serangan Feng Yan dengan menebaskan pedangnya ke arah leher lawannya.
Kepala Feng Yan terpenggal dari tubuhnya, jatuh ke tanah dengan suara yang mengerikan. Tubuh Feng Yan juga ambruk, tergeletak tak bernyawa di samping kepalanya.
Kakek Liu memegang kalung giok milik Xin Lan dengan erat, kalung yang sempat ia ambil saat duel bersama cucunya. Ia menoleh ke arah langit, melihat wajah putrinya yang tersenyum menyambutnya.
"Akhirnya..." bisik Kakek Liu dengan suara serak. "Kau aman, gadis kecilku, Xin Lan."
Tubuh Kakek Liu akhirnya ambruk ke tanah, matanya terpejam untuk selamanya. Ia telah menyelesaikan tugasnya. Ia telah melindungi cucunya dari bahaya. Ia telah membalaskan dendam Keluarganya dan putrinya. Ia telah menemukan kedamaian abadi.
Di kejauhan, Yu Zhang terus berlari sambil memapah Xin Lan yang masih tidak sadarkan diri. Hatinya hancur melihat tuan liu mengorbankan diri demi melindungi mereka. Ia tahu, Kakek Liu adalah sosok yang sangat berarti bagi Xin Lan, dan kehilangan ini akan menjadi pukulan yang sangat berat baginya.
"Maafkan aku, Xin Lan," bisik Yu Zhang dengan suara bergetar. "Aku hanya bisa melakukan ini untuk melindungimu."
Yu Zhang terus berlari, hingga ia tiba di sebuah hutan yang lebat. Ia memutuskan untuk berhenti sejenak, mencari tempat yang aman untuk beristirahat dan merawat Xin Lan.
Yu Zhang membaringkan tubuh Xin Lan di atas rerumputan yang lembut. Ia memeriksa lukanya dan memastikan bahwa tidak ada luka yang serius. Kemudian, ia membersihkan wajah Xin Lan yang penuh dengan air mata dan debu.
Yu Zhang terus memanggil nama Xin Lan, berharap ia akan segera sadar. Namun, Xin Lan tetap tidak bergerak.
Yu Zhang merasa putus asa. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa tidak berguna dan tidak berdaya.
Tiba-tiba, Yu Zhang merasakan tangan Xin Lan bergerak sedikit. Matanya membulat karena terkejut.
"Xin Lan?" panggil Yu Zhang dengan hati-hati. "Apa kau mendengarku?"
Perlahan, mata Xin Lan terbuka. Tatapannya kosong dan linglung, namun Yu Zhang bisa melihat sedikit kehidupan di sana.
"Yu... Zhang?" lirih Xin Lan dengan suara serak.
"Ya, ini aku, Xin Lan," jawab Yu Zhang dengan suara bergetar.
Xin Lan mencoba tersenyum, namun yang keluar hanyalah ringisan kesakitan. "Kakek..." bisiknya. "Di mana Kakek?"
"Dia..." Yu Zhang menggantungkan kalimatnya, mencari kata-kata yang tepat. "Dia... dia menyuruhku untuk membawamu pergi, Xin Lan."
Mendengar perkataan Yu Zhang, mata Xin Lan membelalak.
"Tidak..." isak Xin Lan. "Aku harus menyusul kakek!..."
Di tengah kesunyian hutan yang mencekam, tekad Xin Lan membara lebih terang dari api. Ia tidak bisa membiarkan Kakek Liu pergi begitu saja. Ia harus pergi untuk menyusulnya dan membantunya, Dengan sekuat tenaga, ia memaksakan dirinya menggunakan langkah angin, berlari secepat yang ia bisa kembali ke desa yang kini menjadi saksi bisu dari tragedi.
Jantung Xin Lan berdebar kencang, napasnya tersengal-sengal, namun ia tidak peduli. Ia terus berlari, mengabaikan rasa sakit dan kelelahan yang mendera tubuhnya. Ia hanya ingin sampai ke tempat Kakek Liu berada.
Syukurlah, jarak antara hutan dan desa tidak terlalu jauh. Dalam waktu singkat, Xin Lan tiba di gerbang desa yang hancur. Pemandangan yang menyambutnya membuatnya terhuyung mundur.
Desa itu tampak seperti Desa mati. Rumah-rumah hancur, jalanan dipenuhi dengan mayat, dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Xin Lan menelan ludah, mencoba menenangkan diri. Ia harus kuat. Ia harus menemukan Kakek Liu.
Dengan langkah gemetar, Xin Lan berjalan menuju tengah desa, tempat pertarungan terakhir terjadi. Ia mencari-cari sosok Kakek Liu diantara mayat yang berserakan, dengan harapan yang tersisa.
Tiba-tiba, matanya terpaku pada sebuah sosok yang tergeletak di tanah. Sosok itu mengenakan pakaian yang sama dengan yang dikenakan Kakek Liu.
Xin Lan berlari sekuat tenaga menghampiri sosok itu. Semakin dekat ia, semakin jelaslah bahwa itu adalah Kakek Liu.
Xin Lan terduduk lemas di samping tubuh Kakek Liu. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Ia tidak bisa menahan kesedihannya lagi.
Kakek Liu terkapar di tanah dengan bersimbah darah. Tangannya dengan erat memegang pedang pusakanya, dan tangan satunya memegang erat kalung giok miliknya yang sudah dilumuri darah.
Xin Lan meraih tangan Kakek Liu yang memegang kalung giok itu. Ia membuka jari-jari Kakek Liu dengan hati-hati, dan mengambil kalung giok itu. Kalung itu terasa dingin dan berat di tangannya.
Xin Lan memeluk tubuh Kakek Liu dengan erat, menenggelamkan wajahnya di dadanya yang tidak lagi berdetak. Ia menangis sejadi-jadinya, melampiaskan semua kesedihan dan kehilangan yang ia rasakan.
"Kakek..." isak Xin Lan dengan suara serak.
Xin Lan langsung teringat dengan berbagai memori bersama kakek liu yang terasa singkat, pada awalnya memori memori itu ia anggap menyebalkan namun kini malah membuatnya tersenyum.
Yu Zhang yang baru sampai di tempat itu, terkejut melihat Xin Lan yang menangis memeluk tubuh Kakek Liu. Ia terdiam sejenak, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
"Xin Lan..." panggil Yu Zhang dengan lembut.
Xin Lan tidak menjawab. Ia terus menangis, tidak peduli dengan kehadiran Yu Zhang.
Yu Zhang mendekati Xin Lan dan berlutut di sampingnya. Ia meletakkan tangannya di bahu Xin Lan, mencoba menenangkannya.
"Kakek." Ucapnya dalam isakan tangis.