"Aku hanya minta satu tahun, Jingga. Setelah melahirkan anak Langit, kau bebas pergi. Tapi jangan pernah berharap cinta darinya, karena hatinya hanya milikku.” – Nesya.
_______
Di balik senyumnya yang manis, tersimpan rahasia dan ambisi yang tak pernah ku duga. Suamiku terikat janji, dan aku hanyalah madu pilihan istrinya—bukan untuk dicinta, tapi untuk memenuhi kehendak dan keturunan.
Setiap hari adalah permainan hati, setiap kata adalah ujian kesetiaan. Aku belajar bahwa cinta tidak selalu adil, dan kebahagiaan bisa datang dari pilihan yang salah.
Apakah aku akan tetap menanggung belenggu ini… atau memberontak demi kebebasan hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Sakit Tapi Tak Berdarah
...0o0__0o0...
...Begitu pintu ruang VIP tertutup keras di belakangnya, Jingga melangkah cepat menyusuri koridor rumah sakit. Air matanya masih menetes tanpa bisa ia tahan. Dadanya terasa sesak, seakan ada beban besar yang menindih....
...Beberapa perawat yang berpapasan sempat menoleh heran, tapi Jingga terus berjalan tanpa peduli. Langkahnya membawa-nya ke mushola rumah sakit yang berada di ujung lorong....
...Begitu masuk, ia melepas alas kaki, lalu mengambil wudhu dengan tangan yang sedikit gemetar. Air wudhu yang menyentuh wajahnya membuat hatinya sedikit lebih ringan, seolah menghapus sisa-sisa panas dari pertengkaran barusan....
...Ia melangkah ke dalam mushola yang sepi. Hanya ada dua orang lain di sudut, khusyuk dengan bacaan masing-masing. Jingga mengambil sajadah, lalu berdiri....
...“Allahu Akbar…”...
...Suaranya lirih, nyaris bergetar....
...Setiap gerakan shalat Jingga lakukan dengan penuh kesungguhan, meski air matanya kembali jatuh di sela-sela sujud....
...Di dalam doa panjangnya, Jingga berbisik dalam hati:...
...“Ya Allah… kuatkan aku. Aku lelah menjadi pelarian, aku lelah hidup di bayang-bayang. Aku hanya ingin di cintai, bukan di kasihani…”...
...Selesai salam, Jingga menangkupkan kedua tangannya. Tangisnya pecah lebih deras, namun ia berusaha menahan suaranya agar tidak terdengar orang lain....
...“Jika memang aku harus melalui ini semua sendirian, berikan aku hati yang kuat. Jangan biarkan aku jatuh terlalu dalam pada lelaki yang bahkan tidak menaruh cinta padaku…” doanya lirih....
...Ia mengusap wajahnya, menarik napas panjang. Perlahan, hatinya sedikit lebih tenang. Namun luka di dadanya masih terasa jelas....
...Di sudut mushola itu, Jingga duduk bersandar ke dinding, memeluk lututnya sendiri. Ia menutup mata rapat-rapat, mencoba mengembalikan kekuatan yang tadi nyaris runtuh....
...0o0__0o0...
...Langit duduk di kursi samping ranjang mertuanya. Ia mencoba menenangkan diri, tapi semakin lama dada terasa semakin sesak. Tatapan kosongnya terus menembus pintu yang baru saja di banting Jingga....
...Beberapa menit ia bertahan, sampai akhirnya ia berdiri dengan gelisah....
...“Astaghfirullah… kalau terjadi apa-apa dengannya…” gumamnya, lalu buru-buru melangkah keluar ruangan....
...Langit menyusuri koridor rumah sakit. Tatapannya tajam ke segala arah, mencari sosok kecil istrinya. Ia bertanya pada perawat yang lewat, namun tak seorang pun tahu....
...Kakinya terus melangkah, hingga tiba di depan mushola. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, ia melihat sekilas sosok Jingga yang sedang duduk bersandar ke dinding, wajahnya sembab, matanya tertutup rapat....
...Langit terdiam di ambang pintu. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menghantam dadanya. Ia menghela napas panjang, lalu perlahan masuk tanpa suara....
...Jingga tidak menyadari kehadirannya. Tangannya masih memeluk lutut, bibirnya bergetar seolah sedang berdoa dalam hati....
...Langit berdiri beberapa langkah di hadapannya, bingung harus berkata apa. Untuk pertama kalinya, ia merasa kalah oleh egonya sendiri....
...“Jingga…” suaranya lirih, hampir tenggelam di udara mushola yang hening....
...Jingga tersentak, matanya terbuka. Begitu melihat Langit, ia buru-buru mengusap pipinya yang basah, lalu menunduk....
...“Apa yang kau lakukan di sini ? Bukankah harusnya kau kembali ke ruangan ayah ?” tanyanya datar, suaranya serak karena tangis....
...Langit melangkah mendekat, wajahnya menegang tapi matanya jelas penuh kegelisahan....
...“Aku… aku tidak tenang membiarkan mu pergi begitu saja,” ucapnya jujur, meski nadanya masih kaku....
...Jingga menghela napas panjang, menatap lantai. “Kau tidak perlu mencari ku, Kak. Aku bisa menjaga diriku sendiri.”...
...Langit berjongkok di depannya, mencoba menatap wajah istrinya. “Bukan itu masalahnya… Aku takut kehilangan mu.”...
...Jingga mendongak, terkejut. Matanya bergetar menatap Langit, mencoba mencari kesungguhan di balik kata-katanya....
...Jingga menatap Langit lama, matanya masih berkaca-kaca. Ucapan suaminya tadi seolah menusuk, tapi hatinya enggan percaya. Ia segera menggeleng pelan....
...“Takut kehilangan ?” ulangnya lirih, lalu menyeringai pahit. “Kau hanya takut egomu terluka, Kak. Kau tidak pernah benar-benar takut kehilangan aku.”...
...Langit terdiam, rahangnya mengeras. “Jingga, jangan bicara seakan kamu tahu isi hatiku.”...
...Jingga menegakkan tubuhnya, sorot matanya tajam meski basah oleh air mata....
...“Aku tahu cukup banyak. Kau mencintai istri pertama mu. Semua orang tahu itu. Lalu aku ? Aku hanya istri kedua yang kau nikahi karena keadaan. Aku bukan pilihan hatimu, Kak. Jadi jangan bohongi aku dengan kata-kata ‘takut kehilangan’.”...
...Langit menarik napas berat, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia ingin menyangkal, tapi lidahnya kelu....
...Jingga bangkit berdiri, merapikan kerudungnya dengan tangan yang gemetar....
...“Mulai hari ini, jangan lagi menyentuh ku dengan alasan melindungi. Jangan lagi mengikat ku dengan cemburu yang buta. Aku lelah, Kak… lelah jadi istri yang hanya hidup di bayang-bayang cintamu untuk kak Nesya.”...
...Langit ikut berdiri, menatap istrinya dengan wajah yang mulai retak. “Jingga… jangan pergi seperti ini. Kau tetap istriku, suka atau tidak.”...
...Jingga menatapnya sekali lagi, sorotnya tajam namun sarat luka. “Istri di mata mu, iya. Tapi di hati mu ? Aku tidak pernah ada. Itu perbedaan yang membuat ku hancur, Kak.”...
...Tanpa menunggu balasan, Jingga melangkah keluar dari mushola dengan wajah tetap tegak, meski hatinya bergetar hebat....
...Langit berdiri terpaku. Kata-kata Jingga menggema di kepalanya, menusuk lebih dalam dari yang ia sangka. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar kehilangan kendali....
...Langit masih terpaku di mushola yang kini kosong. Wangi karpet yang lembap oleh sujud jamaah sebelumnya menusuk hidungnya, menambah sesak di dadanya. ...
...Kata-kata Jingga masih terngiang jelas: “Aku tidak pernah ada di hatimu.”...
...Rahangnya menegang, tangan mengepal, namun bukan lagi karena marah pada orang lain—melainkan pada dirinya sendiri....
...Ia menghela napas panjang, lalu menunduk. Perlahan, ia melangkah menuju tempat wudhu. Air dingin yang membasuh wajahnya seakan menusuk sampai ke hati....
...Tak lama kemudian, Langit berdiri di atas sajadah. Ia mengangkat kedua tangannya, lalu menunduk penuh kepasrahan. Suara takbir lirih keluar dari bibirnya, berat dan gemetar....
...Sholat itu berjalan dengan air mata yang tak tertahan. Sujudnya terasa lebih lama, lebih dalam, seolah seluruh ego dan amarahnya ia hempaskan ke lantai mushola....
...Di akhir doa, suaranya bergetar pelan:...
...“Ya Allah… jika aku salah dalam memperlakukan istri kecilku, bukakan hatiku untuk memperbaiki. Aku hanya manusia yang di kuasai cemburu, tapi aku tidak ingin kehilangan dia… bukan karena egoku, tapi karena aku mulai takut… takut aku benar-benar mencintainya. Tunjukkan jalan terbaik, Ya Rabb… agar aku tidak lagi menyakitinya.”...
...Langit mengusap wajahnya dengan kedua tangan, dadanya berguncang menahan sesal....
...Namun ketika ia membuka mata, sajadah di depannya terasa begitu sunyi. Tidak ada Jingga di sana, hanya kesepian yang memeluk dirinya....
...Sajadah masih terhampar, namun Langit tak langsung beranjak. Kedua tangannya bertumpu di atas lutut, pandangan-nya kosong menatap karpet mushola yang berwarna hijau tua. Hatinya bergetar hebat....
...Keadilan. Kata itu terngiang-ngiang, seolah menampar kesadarannya....
...Ia mengingat awal mula pernikahan keduanya. Bukan karena cinta, bukan pula karena ambisi pribadi. Semua berawal dari istrinya yang pertama—wanita yang ia cintai sepenuh hati—yang dengan mata berkaca-kaca meminta: ...
...“Abi, nikahi wanita lain. Aku ingin kau punya keturunan. Aku ikhlas… Aku tidak mau terus-menerus tertekan karena tidak bisa kasih kamu anak.”...
...Langit menggenggam kepalanya, napasnya memburu....
...“Ya Allah… aku pikir aku sanggup. Aku pikir aku bisa berlaku adil. Tapi ternyata hatiku goyah… aku justru melukai Jingga.”...
...Bayangan wajah Jingga muncul dalam benaknya: tatapannya yang marah bercampur luka, ucapannya yang pedih, tubuhnya yang selalu menunduk ketika berada di dekatnya....
...“Dia masih sangat muda, polos… lalu aku seret dia masuk dalam lingkaran pernikahan yang penuh luka. Aku tidak pernah benar-benar memberi tempat di hatiku… tapi aku juga tidak rela jika dia pergi. Bukankah itu kejam ?” bisiknya pada diri sendiri....
...Langit menghela napas berat, menatap langit-langit mushola yang putih....
...“Bagaimana caranya aku bisa adil, Ya Rabb ? Bagaimana aku bisa mencintai dua wanita dalam rumah tangga yang Kau izinkan, tapi dengan hati yang penuh keterikatan pada satu orang ? Bukankah itu pengkhianatan pada perintah-Mu ?”...
...Air matanya menetes lagi, lebih dalam, lebih lirih....
...Untuk pertama kalinya, Langit benar-benar mengakui kelemahan-nya di hadapan Tuhan: ia bukan hanya seorang dokter yang dihormati, bukan hanya seorang suami yang berusaha kuat—tapi seorang lelaki yang masih belum paham cara mencintai dengan benar....
...0o0__0o0...
baca cerita poli²an tuh suka bikin gemes tp mau gk dibaca penasaran bgt 😂