Demi menikahi wanita yang dicintainya, Arhan Sanjaya mengorbankan segalanya, bahkan rela berhutang banyak dan memenuhi semua keinginan calon mertuanya. Terbelenggu hutang, Arhan nekat bekerja di negeri seberang. Namun, setelah dua tahun pengorbanan, ia justru dikhianati oleh istri dengan pria yang tak pernah dia sangka.
Kenyataan pahit itu membuat Arhan gelap mata. Amarah yang meledak justru membuatnya mendekam di balik jeruji besi, merenggut kebebasannya dan semua yang ia miliki.
Terperangkap dalam kegelapan, akankah Arhan menjadi pecundang yang hanya bisa menangisi nasib? Atau ia akan bangkit dari keterpurukan, membalaskan rasa sakitnya, dan menunjukkan kepada dunia bahwa orang yang terbuang pun bisa menjadi pemenang?
Karya ini berkolaborasi spesial dengan author Moms TZ.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. Interogasi
.
Ruangan interogasi terasa dingin dan pengap. Lampu neon yang menyala terang menyilaukan mata. Arhan duduk di kursi besi, kedua tangannya terborgol di belakang. Di hadapannya, seorang penyidik dengan wajah datar menatapnya tajam.
"Baik, Saudara Arhan Sanjaya," kata penyidik itu, membuka map di hadapannya. "Kami akan mengajukan beberapa pertanyaan terkait kasus penganiayaan terhadap Saudara Fadil Ramdani. Anda berhak untuk menjawab atau tidak. Tapi, perlu Anda ingat, setiap jawaban Anda akan dicatat dan dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan."
Arhan hanya mengangguk pelan, sama sekali tak ada raut takut di wajahnya.
"Pada tanggal 13 September 2025, pukul 15.00, Anda mendatangi rumah Anda dan mendapati istri Anda, Nurmala, sedang bersama Saudara Fadil Ramdani. Benar?" tanya penyidik itu, menatap Arhan dengan tatapan menyelidik.
"Benar," jawab Arhan singkat.
"Kemudian, Anda melakukan tindakan kekerasan terhadap Saudara Fadil Ramdani. Benar?"
"Saya melakukan itu karena melihat dia main kuda-kudaan dengan istri saya.” Arhan mencoba menjelaskan.
"Menurut keterangan saksi, Anda memukul Saudara Fadil Ramdani hingga babak belur. Bahkan, Saudara Fadil Ramdani mengalami luka memar di sekujur tubuhnya. Apa itu benar?"
Arhan terdiam sejenak, lalu mengangguk. Emosinya benar-benar meledak saat itu, sehingga memukul Fadil dengan membabi buta.
"Baiklah," kata penyidik itu, mencatat sesuatu di map-nya. "Kami akan melanjutkan pertanyaan lain. Menurut keterangan Saudari Nurmala, Anda sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Anda sering memukul dan mengancamnya. Apa itu benar?"
Arhan terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia tidak percaya Nurmala tega menuduhnya melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
"Itu tidak benar, Pak! Saya tidak pernah memukul Nurmala. Saya memang pernah marah padanya, dan benar saat itu saya menamparnya, tapi saya tidak pernah melakukan kekerasan fisik pada tubuh yang lain," bantah Arhan dengan nada tinggi.
"Kami punya bukti visum yang menunjukkan adanya luka memar di tubuh Saudari Nurmala. Luka itu diduga akibat kekerasan yang Anda lakukan," kata penyidik itu, menunjukkan selembar kertas.
Arhan menatap kertas itu dengan tatapan kosong. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah konspirasi yang dirancang untuk menghancurkannya.
"Saya tidak tahu apa-apa tentang luka itu, Pak. Saya tidak pernah melakukan kekerasan terhadap Nurmala," ulang Arhan, berusaha membela diri.
"Tapi bukti visum di sini asli bukan rekayasa,” ucap penyidik itu.
Arhan menggelengkan kepala. “Bagaimana mungkin ada tuduhan seperti itu, sementara saya baru saja pulang dari Korea setelah dua tahun?”
Penyidik itu menghela napas panjang. "Baiklah, Saudara Arhan Sanjaya. Kami sudah mencatat semua keterangan Anda. Anda akan ditahan untuk sementara waktu. Kasus ini akan kami limpahkan ke pengadilan.”
.
Malam itu, di balik dinginnya jeruji besi, Arhan termenung. Pikirannya berkecamuk, antara amarah, kecewa, dan penyesalan. Tiba-tiba, langkah kaki mendekat. Arhan mendongak, dan mendapati salah seorang petugas lapas berdiri di depan selnya.
“Saudara Arhan, ada yang mengunjungi Anda,” ucap petugas sambil membuka gembok yang tergantung di pintu sel.
Arhan mengerutkan kening, siapa yang mengunjunginya? Apakah keluarganya mendengar berita tentang penangkapan dirinya? Pria itu pun segera berdiri dan mengikuti langkah petugas menuju ruang tamu penghuni lapas.
Tangannya terkepal dengan gigi-gigi geraham yang saling beradu begitu ia sampai di tempat tamu dan mendapati Fadil duduk dengan senyum miring di sana.
Fadil berdiri di depan selnya, memasang wajah prihatin yang dibuat-buat. "Han, ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ucapnya pelan.
Arhan hanya menatapnya sinis, tanpa menjawab.
"Aku tahu kamu pasti marah padaku. Tapi, aku juga nggak mau kamu sampai masuk penjara," lanjut Fadil seraya menunjukkan wajah prihatin.
"Katakan saja apa maumu!" sahut Arhan, dengan nada dingin.
Fadil menarik napas dalam-dalam. "Gini, Han. Sebenarnya, aku bisa saja cabut tuntutan aku. Aku bisa bilang ke polisi kalau luka yang aku alami nggak terlalu parah, dan aku nggak mau memperpanjang masalah ini."
Arhan mengangkat sebelah alisnya, menunggu kelanjutan ucapan Fadil.
"Tapi, kamu juga harus ngerti posisiku. Aku sudah malu banget sama keluargaku, sama tetangga. Aku juga butuh biaya buat berobat," kata Fadil, dengan nada memelas.
Arhan tertawa sinis. "Jadi, intinya, kamu datang ke sini untuk mengemis, begitu?"
Sambil menahan geram dalam hatinya, Fadil mengangguk pelan. "Ya, terserah kamu bilang apa. Anggap saja ini ganti rugi atas perbuatan kamu. Kalau kamu mau memberikan ganti rugi, aku janji bakal cabut tuntutan. Kamu nggak perlu masuk penjara, Han."
Ha ha ha…
Fadil mengerutkan kening, karena arhan yang terbawa terbahak-bahak.
Setelah tawanya reda, Arhan menatap Fadil dengan tatapan merendahkan. Ia membayangkan semua uang yang selama ini ia hasilkan dengan susah payah, dihabiskan oleh Nurmala bersama selingkuhannya itu. Sekarang, Fadil dengan entengnya meminta uang lagi.
"Kamu benar-benar pecundang yang tidak tahu malu ya, Dil," ucap Arhan, dengan senyum miring. "Uang yang selama ini aku kasih ke Nurmala, sudah kamu nikmati juga kan? Sekarang, kamu mau minta lagi? Dasar pengemis!"
Fadil terdiam, wajahnya memerah karena malu sekaligus marah.
"Dengar ya, Dil," lanjut Arhan, dengan nada tegas. "Aku nggak akan kasih kamu sepeser pun. Kamu mau tuntut aku, silakan. Aku lebih baik masuk penjara daripada harus ngasih uang ke pengkhianat kayak kamu."
Fadil mengepalkan tangannya, menahan amarah. "Kamu pasti akan menyesal, Han. Kamu akan menyesal menolak tawaranku," ancamnya.
"Aku tidak takut sama ancaman kamu, Dil," balas Arhan, dengan tatapan menantang. "Aku percaya, kebenaran pasti akan terungkap. Dan kamu, cepat atau lambat, pasti akan menerima akibatnya."
Fadil mendengus kesal, lalu berbalik dan pergi meninggalkan Arhan.
Arhan hanya bisa tersenyum pahit, menatap punggung Fadil yang kian menjauh. Ia tahu, keputusannya ini akan membawa konsekuensi yang berat. Tapi, ia lebih memilih untuk mempertahankan harga dirinya, daripada harus tunduk dan membiarkan dirinya terus diinjak.
Arhan kembali duduk termenung di dalam selnya. Dulu, dia dan Fadil bersahabat. Hubungan mereka bahkan sudah seperti saudara. Lalu apa yang membuat Fadil tega mengkhianati dirinya. 1000 tanya yang tak pernah ia dapatkan jawabannya.
Gusti mboten sare...
orang tua macam apa seperti itu...
membiarkan anaknya melakukan dosa...🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
bukan malah menyalahkan org lain..
wah..minta dipecat dg tidak hormat nih istri...